BERTUAPOS.COM, PEKANBARU – Manusia, kata Aristoteles (seorang filsuf Yunani), adalah zoon politikon (makhluk berpolitik). Tetapi moralitas juga menjadi pandangan Aristoteles yang sangat penting, dalam melihat perkembangan politik. Tujuan politik sendiri menurut Aristoteles adalah menghantarkan manusia pada kehidupan yang baik. Bagi Aristoteles, tujuan politik lebih tinggi daripada memaksimalkan keuntungan (utilitas) atau memberikan aturan yang adil untuk mengejar kepentingan individu.
Nah, berangkat dari pandangan Aristoteles di atas, menjadi menarik jika kita mengintip apa yang sedang terjadi di kancah perpolitikan Riau melalui Pilgubrinya. Kita ambil contoh kasus orang ‘partai’ yang harus setia kepada partai dan melupakan ‘kesetiaan’ kepada pasangan politiknya, yang baru saja bermesraan di hadapan jutaan rakyatnya.
Ayat Cahyadi, yang kini menjabat sebagai Plt Walikota Pekanbaru, nyata ‘harus’ mendukung pasangan Syamsuar-Edy Natar dalam Pilgub Riau 2018, dan ini sudah dibuktikan dengan kehadiran Ayat dalam kampanye pasangan nomor satu ini.
Ayat tidak mendukung pasangan Firdaus-Rusli Effendi, meski Firdaus adalah calon petahana karena dia sebelumnya adalah Walikota Pekanbaru. Padahal, jika Firdaus kalah, maka Firdaus akan balik menjadi Walikota Pekanbaru dan Ayat Cahyadi masih akan tetap sebagai wakil Walikota Pekanbaru.
Memang, perkembangan politik demokrasi dewasa ini mengalami diskursus yang tak selesai-selesai. Ternyata demokrasi di Indonesia membawa pada kondisi yang para politikusnya berkesempatan membodohi rakyatnya. Politik malah menjadi hal membingungkan masyarakat banyak.
Dalam kasus Ayat ini, masyarakat, khususnya Pekanbaru, tiba-tiba menjadi bingung dan para pemilih pasangan Firdaus-Ayat juga menjadi ‘tiada arti’, karena mereka hanya dipertontonkan kenyataan, kemesraan itu hanya untuk tujuan sesaat, sampai terpilih, setelah itu, hanya menjadi kepentingan pribadi semata. Belum lagi usai memenuhi janji, masing-masing telah mengambil janlannya sendiri-sendiri.
Mungkin inilah ironi dari demokrasi Indonesia setelah sekian lama terjerumus pada totaliterianisme Orde baru. Peralihan antara totaliterianisme orde baru dan demokrasi reformasi belum menunjukan adanya itikad baik dari para politikus untuk memperlihatkan kepada rakyat, bahwa tujuan berpolitik adalah mendamaikan dan mensejahterakan rakyat, seperti dikatan Aristoteles tadi.
Upaya politikus terhadap partisipasi politik paling hanya digunakan pada saat pemilihan. Bagi mereka yang acuh pada pergolakan politik biasanya dikarenakan politik sebagai praktek kotor dan menggelikan serta rumit. Pada sisi yang lain, politik menjadi mengerikan dengan berbagai kepentingan masing-masing dan menjerumuskan manusia pada ketidaksantunan karena pandangan politik yang berbeda.***