BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Lihatlah. Anak-anak itu dekil, kumuh dan bau. Merangsek dari mobil ke mobil, dari motor ke motor. Seakan ada dua nyawa, mereka tak takut tersenggol atau pun tertabrak, menadahkan tangan, dengan mata liar ke sana kemari.
Apakah ini anak-anak yang terlahir dari zaman tak beradab, tanpa kasih sayang, tanpa tanggungjawab? Anak-anak alam yang tak tahu sopan santun tak tahu aturan hidup, juga tak paham bahwa dia punya hak untuk disayang, dikasihi dan dinafkahi.Â
Mereka seolah tercampak di lampu-lampu merah, di Simpang Empat Pasar Pagi Arengka atau Simpang Empat SKA, dan beberapa titik yang mereka anggap aman dan nyaman melakukan aksinya, memelas, mengemis dan mengasari jika mereka kesal karena tak diberi.
Petang entah pagi, siang ataupun senja hari, jalanan ini jadi ladang bermain mereka, sambil menadahkan tangan meminta-minta, atau juga sedikit mengancam dengan sudut mata, sambil mengelap kaca depan mobil dengan bulu ayam dan uang pun mengalir ke tangan-tangan mungil mereka. Seribu, dua ribu atau bahkan lima ratus perak, jadilah, karena jika dikumpulkan dalam satu hari, ratusan ribu juga mereka kantongi.
Jumlah yang sangat besar untuk anak-anak usia Sekolah Dasar (SD), bahkan masih ada yang di bawah itu usia mereka. Jangankan pakai seragam, mengenal buku dan alat tulis, ditanya dimana rumahnya pun mereka geleng kepala saja. Seolah-olah jalanan adalah rumahnya dan bisa juga, orang tua melarang mereka buka mulut, jika ada yang bertanya, meski maksudnya baik untuk memberi mereka perhatian.
Tiap hari jika penduduk kota yang katanya banyak kaya-kaya ini melalui Jalan Soekarno Hatta menuju Soebrantas, persis di lampu merah Pasar Pagi Arengka, akan menjumpai kanak-kanak ini. Juga di persimpangan Mal SKA. Mereka seperti lepas kendali, tiada ayah bunda lagi. Tapi terkadang mereka juga dalam lindungan orang yang lebih tua, dewasa, seolah-olah ibu dan anak. Hanya saja yang ini kadang sambil menggendong bayi atau manusia yang lebih kecil lagi dari kanak-kanak tadi.
Kelakuan mereka sama, menadahkan tangan, meminta-minta. Entahlah, badan mereka sehat, tulang kuat dan juga masih muda. Kanak-kanak itu demikian juga, sehat dan tak kurang suatu apa. Tapi lihatlah, mereka kadang menjadi liar, pandai memaki kita yang tak memberi. Bahkan juga usil, mencoleki gadis-gadis kecil yang ada diboncengan motor. Mata mereka liar, penuh curiga, bukan mata yang sayu oleh derita dunia.
“Sekolah nak?”
Jangankan menjawab, mendekatpun mereka ogah, jika kita sedikit perhatian. Sodorkan saja uang seribuan, cukup bagi mereka. Tegur sapa atau tatapan penuh kasih tak lagi mengusik hati mereka.
Ketika coba ditelusuri, sebagian kanak-kanak itu memang penduduk Pekanbaru dan tinggal masih dalam lingkaran kecamatan yang sama. Sebagian mereka memiliki orang tua dan justru mereka menjadi sapi perahan orang tua, dimana orang tua menikmati hasil jerih payah mengemis kanak-kanak ini. Bahkan sudah dieksploitasi, karena terkadang orang tua mereka juga ada dekat-dekat sana, memperhatikan anak-anaknya.
Entah orang tua macam apalah, yang tega menjadikan anaknya sampah masyarakat dan mereka tertawa-tawa, menikmatinya. Jangankan sekolah dan mengaji, mengajari anak-anaknya soal tegur sapa, sopan santun pun mereka lupa. Tak heran jika kanak-kanak ini cenderung liar dan tak terkendali. Bahkan dalam usia sedini itu mereka sudah bisa mengusili manusia dewasa.
Mereka, juga kanak-kanak ini tak suka disapa dan diperhatikan, karena dengan itu mereka justru akan terusik kemanusiaannya dan orang tua mereka yang alpa akan tanggungjawab seolah-olah senang, jika anaknya seperti sekarang, mengemis minta bantuan dan menjadi cemoohan orang.
Bagi mereka yang sekali-sekali lewat daerah itu memang akan timbul kasihan, memberi seribu atau dua ribu. Tapi bagi yang sudah tiap hari lewat, kanak-kanak ini tak lagi mendatangkan rasa iba, karena tiap hari mereka dalam tingkah yang sama, diperhatikan atau dibela, mereka tidak suka.
Kalau sudah begini tentunya harus menjadi urusan Pemko Pekanbaru, karena semakin hari jumlah mereka semakin banyak dan lebih banyak yang mendatangkan kekesalan oleh ulah mereka, ketimbang rasa iba.Â
Kepada masyarakat juga demikian, rasa hiba yang tak tepat sasaran menyuburkan rasa malas untuk bekerja dan berusaha, lalu memilih menjadi pengemis karena itulah profesi paling gampang sekali.Â
Maka Pekanbaru yang terus melaju menjadi kota metropolitan tidak akan bisa lepas dari soal-soal yang memalukan kota ini, selama tidak ada penanganan khusus terhadap kanak-kanak, yang meski kehilangan masa kanak mereka ternyata mereka nyaman-nyaman saja menjalaninya. ***Luzi Diamanda