بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Allah SWT berfiman:
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ۞
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua” (QS. Al-Hijr [15]: 92)
Begitu banyak ayat Al-Qur’an dan al-Hadits yang mengutamakan orang-orang yang berdzikir, meskipun demikian sedikit sekali orang-orang yang mengerjakannya. Tidak mengherankan jika orang-orang yang berdzikir itu mendapatkan keistimewaan. Ini sebuah bukti bahwa sesuatu yang bersifat istimewa berjumlah sedikit walaupun mempunyai fadhilah yang banyak, seperti sebuah ayat didalam Al Qur’an yang menyatakan bahwa ‘Amat sedikitlah kamu bersyukur.’ (QS Al-A’raf [7]: 10) walaupun balasan syukur ini adalah bertambah-tambah nikmat dari-Nya dan sebaliknya ancaman bagi orang-orang yang tidak bersyukur adalah azab. (QS Ibrahim [14]: 7).
Demikian pula dikatakan bahwa orang-orang yang tidak berdzikir itu adalah golongan yang melampaui batas sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ۞
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28)
Dalam perjalanan mengaji dari Bogor ke Jakarta, Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) menyampaikan penjelasan berkenaan dengan ayat diatas, bahwasanya seseorang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah suatu kelak akan dimintai pertanggung jawaban, apakah ia telah mengucapkannya dengan tulus dan telah mengamalkan semua tuntutannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Kebaikan para pemilik Laa Ilaaha Illallaah senantiasa diterima, sementara kesalahan mereka selalu diampuni dan mereka senantiasa dihindarkan dari musibah berkat Laa Ilaaha Illallaah yang mereka ucapkan, selama mereka tidak berpaling kepada urusan dunia yang dapat mengurangi kesempurnaan agama mereka. Jika mereka berpaling, maka ucapan Laa Ilaaha Illallaah ditolak oleh para malaikat, yang kemudian berkata kepada mereka: ‘Kalian telah berdusta. Kalian bukan ahli Laa Ilaaha Illallaah, kalian mengucapkannya tanpa ketulusan dan tidak benar.’”
Ketulusan berarti, melindunginya dari perkara-perkara yang diharamkan, tidak rakus akan dunia, kikir dan menumpuk-numpuk harta, serta berucap dengan ucapan para ulama namun berbuat dengan perbuatan para pendosa.
Murid-murid yang mendengar hanya terdiam, seakan-akan kehidupannya berhenti, karena tak satu pun yang mampu memelihara amanah kalimat laa ilaaha illallaah yang telah mereka ucap. Semakin banyak dzikir yang dilakukan maka semakin besar pula kebohongan yang telah dibuatnya. Bukankah ini sebuah tanda kemunafikan?
Sedangkan di suatu kesempatan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa untuk mengikis kemunafikan adalah dengan banyak menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Perjalanan menuju kepada-Nya mestilah didahului oleh sebuah hidayah, dan diperlukan seorang pemandu, karena perjalanannya sangat sulit, licin dan terjal serta banyak musuh menghadang. Manusia tidak ada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya, termasuk di dalamnya ketaatan, riydadhah dan mujahadah.
Syaikhuna (semoga Allah merhamatinya) berkata: ‘Tidak ada satu pun jalan untuk menuju kepada-Nya, melainkan dengan menafikan atau meniadakan segala sesuatu ciptaan (Lã Ilãha) dan mengitsbatkan atau mengkukuhkan Allah saja (Illallãh) di dalam hati, Lã Ilãha Illallãh.’ Oleh karenanya, tidak ada jalan lain, para murid wajib mendawamkan dzikir ini dengan sekuat tenaganya, setelah itu berjuang untuk memelihara ketulusannya dan berserah kepada-Nya. Terbunuh selagi di medan juang adalah syuhada, dan sebaliknya berserah tanpa didahului oleh upaya yang gigih adalah kebohongan belaka.
Inilah satu-satunya kalimat yang menembus ciptaan-ciptaan dan sampai bersih kepada Sang Pencipta. Lã Ilãha Illallãh, segala sesuatu selain Allah adalah realitas palsu, dari dahulu hingga kini dan akan tetap demikian adanya sampai kapanpun, bahkan sebelum waktu itu ada dan sampai dengan waktu itu tidak ada, yang ada hanya Dia. Lã Ilãha Illallãh, segala sesuatu selain Allah adalah tabir-tabir, atau hijab-hijab. Lã Ilãha Illallãh, segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan (kosmos) dan kosmos meliputi langit dan bumi beserta isinya, baik yang terinderawi maupun yang tidak, baik berupa alam-alam ghaib, makhluk-makhluk ghaib ataupun alam nyata dan makhluk nyata, termasuk gerak gerik lahiriyah maupun batiniyah. Dzat yang mempunyai sifat Wujud, Qidam dan Baqa hanyalah Allah saja, selainnya hanyalah fenomena.
Betapa kalimat thayyibah ini mempunyai makna yang sedemikian tinggi dan tuntutan yang sedemikian beratnya. Si pengucap harus bermujadah terus menerus sampai ajal menjemputnya, melawan dengan sungguh-sungguh tabiat alamiahnya, memberhangus nafs dan syahwatnya, agar fana darinya, agar merasa ‘tiada’, dan bersatu dengan-Nya laksana sungai yang bermuara ke lautan.
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) nyaris tak sadarkan diri tatkala memberikan taushiyah tentang tauhid, tiba-tiba beliau berhenti berkata-kata dan memekik Hû… Hû… Hû… tubuhnya gemetar dan terlihat terhuyung-huyung, nyaris pingsan. Keadaan atau maqom kebersatuan ini sangat sulit dicapai, namun bukan hal yang mustahil, pintu untuk memasukinya sangat jelas namun sekilas, laksana kilat di malam hari.
Pintu satu-satunya untuk mencapai kedudukan ruhaniyah yang sedemikian tingginya itu, mewajibkan menyebut-nyebut kalimat Lã Ilãha Illallãh dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya dan pada setiap kesempatan serta berperang melawan hawa nafsu sepanjang kehidupannya. Menyebutnya dimulai dengan lidah, lalu bersama-sama antara lidah dengan hati, lalu hati saja dan pada akhirnya seluruh unsur yang ada pada sosok manusia (kullu jasad), baik yang lahir maupun batin, semua menyebut kalimat terbaik dialam semesta ini, Lã Ilãha Illallãh.
Analoginya, seseorang yang tinggal di sebuah desa selalu berkata dengan lantangnya bahwa, tidak ada seorang raja pun di atas dunia kecuali engkau. Mendengar dari menterinya bahwa ada seseorang yang selalu berkata seperti itu, sang raja ingin menguji kebenaran ucapannya, dengan memberikan hadiah berupa sebuah pedang, seekor kuda dan sebuah kitab yang berisi perintah dan larangan sebagai bekal untuk mencapai istana raja. Semakin sering orang itu menyebut-nyebutnya maka semakin tajam pedangnya dan semakin gagah kudanya. Meskipun sang raja mengetahui dengan pasti, apakah orang itu berdusta dengan banyak berbuat maksiat, apakah pedang dan kudanya itu digunakan untuk mengikuti hawa nafsunya, apakah pedangnya itu telah digunakan untuk merobek-robek kitab yang diterimanya dan kudanya digunakan untuk menginjak-injaknya, atau sebaliknya, yakni digunakan untuk menebas semua alang-alang, membunuh semua penghadang di jalannya guna mencapai istana raja.
Semua ikrar yang diucap dibutuhkan bukti-bukti, karena ikrar yang tidak diikuti oleh bukti tindakan yang mendukungnya adalah kepalsuan belaka. Begitu pula ikrar Lã Ilãha Illallãh. Bukti ikrar pada tingkat pemula adalah bahwa seluruh jawarihnya tidak digunakan untuk menentang perintah-Nya, lalu tidak melanggar semua yang dilarang-Nya. Sedangkan pada tahapan tertentu, bukti ikrarnya berupa ketenangan dalam menghadapi qadha dan qadar-Nya. Sehingga diharapkan kematiannya dalam keadaan tenang pula, demikian yang dimaksud dengan sabda Rasulullah SAW: ‘Siapa yang mengucapkan Lã Ilãha Illallãh dengan tulus ikhlas, niscaya ia masuk surga,’ dan ‘Barangsiapa di akhir perkataannya Lã Ilãha Illallãh, maka ia masuk surga,’ dan ‘Lã Ilãha Illallãh adalah kunci surga.’
Jika penafiannya sempurna, maka siaplah hati untuk dipahat sedikit demi sedikit dengan ismu dzat “Allãh … Allãh … Allãh…”, sebagaimana firman-Nya : ‘Katakanlah, Allah saja, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.’ (QS 006 : 91). Imam Sybli, RA, mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang mengatakan Allah melainkan Allah sendiri. Dikarenakan setiap orang yang mengatakannya telah mengikuti ucapannya sesuai dengan tingkat intelektualitasnya sesuai dengan maqomnya, sedangkan esensinya jauh sekali dari yang dapat dicapai oleh pendapat pribadinya. Dzikir makhluk kepada-Nya tidak sebagaimana dzikir Allah kepada Dzat-Nya sendiri Yang Maha Suci.
Imam Junaid RA pernah berkata kepada Imam Nuri Nuri : ‘Wahai Aba al-Husain, cobalah anda teliti apakah ucapanmu (Allãh… Allãh… Allãh…) itu dengan Allah ataukah dengan perkataanmu sendiri? Jika dengan Allah berarti bukanlah anda yang mengatakan kepada-Nya, dan jika dengan perkataanmu, berarti untuk dirimu dan seharusnyalah anda bersama dirimu.’
Namun demikian Syaikh Abu Sa’id al-Kharaz RA berkata: ‘Di antara orang-orang yang berdzikir ada yang melampaui kadar dirinya hingga mencapai tingkat sirna diri (fana) dan lupa ingatan, menyatu kepada Allah Yang Maha Tinggi, lupa pada kebutuhan dirinya, karena berhadapan dengan Yang Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan. Hingga seandainya tiap-tiap anggota tubuhnya dapat berkata-kata, tentu saja yang diucapkannya ialah Allãh… Allãh… Allãh…. Keadaan ini pernah menimpa seorang yang kejatuhan batu besar hingga kepalanya mengucurkan darah. Darah tersebut menggenang di tanah membentuk tulisan Allah.’
Di suatu kesempatan beliau bertanya kepada sebagian sufi: ‘Apakah kesudahan persoalan itu?’ dijawab: ‘Allah.’ Lalu apakah makna jawabanmu (Allah) itu?’ mereka menerangkan: ‘Ya Allah, bimbinglah aku kepada-Mu dan jadikanlah agar aku berada disisi-Mu, dan jangan Engkau jadikan aku termasuk orang-orang yang rela dengan sesuatu selain-Mu sebagai pengganti-Mu, dan tetapkanlah hatiku disisi pertemuan-Mu.’
_________________________________
Oleh: Dr. Supardi, SH., MH.,
Kepala Kejaksaan Tinggi Riau
Als. Rd Mahmud Sirnadirasa