BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Tahun 1980, Seorang bocah kelas 6 SD begitu hobi menatap siaran televisi nasional. Program televisi kesukaannya itu bukan film pendekar Jaka Sembung, Siluman Buaya Putih atau film horor Indonesia yang biasa tayang di tengah malam, lewat layar kaca hitam putih itu. Bocah itu menunggu program Dunia dalam Berita. Ada satu sesi dari bagian berita itu yang membuatnya selalu lekat menatap layar kaca, yakni ketika, sang presenter menjelaskan tentang pergerakan saham, dan jumlah di Pasar Modal Bursa Efek Indoneia (BEI), yang ketika itu masih dikenal dengan Bursa Efek Jakarta atau BEJ.
Mata si bocah lekat melihat aktifitas orang-orang berdasi dengan jas hitam, berpenampilan necis dalam televisi itu. Dia terpikat dengan pekerjaan yang satu ini. Daya imajinernya menangkap bahwa menjadi bagian dari orang yang telibat dalam pasar modal adalah suatu pekerjaan yang mengagumkan. Bocah kelas 6 SD itu bernama, Emon Sulaeman.
Sekelumit kisah masa kecilnya itu dia ceritakan di ruangan kerjanya, saat bertuahpos.com berkunjung ke kantor BEI Kantor Perwakilan Riau, Jalan Jendral Sudarman Pekanbaru, Riau, Kamis (10/12/2015).
Pagi itu Emon mengenakan kemeja merah bermotif garis-garis. Dia duduk di balik meja dengan sebuah laptop dan sebuah tablet. Di ruangan berukukan lebih kurang 3 x 3 meter itu, Emon bisa memantau pergerakan saham setiap harinya. Di sebuah meja panjang sebelah kiri pintu masuk, terlihat beragam jenis penghargaan dan buah tangan kenang-kenangan. Sebingkai karikatur dengan warna mencolok juga terpajang di dinding dalam ruangan itu. “Cita-cita anak-anak, tergantung dari apa yang dia ketahui saat itu,” katanya. “Makanya saya ingin sekali bekerja di Pasar Modal.”
Kegemarannya menyaksikan aktifitas hiruk pikuk di Pasar Modal berlanjut hingga dia menamatkan pendidikan di bangku SMA pada tahun 1993. Saat menjajaki dunia perkuliahan, bapak dua anak ini mulai terlibat dalam jual beli saham di BEI. Ketika itu paradigma yang muncul di tengah masyarakat bahwa investasi saham adalah judi, dia justru berfikir terbalik. Peminatnya sangat sedikit. “Dan mahal sekali,” ujarnya. Ketika selesai kuliah di bekerja di salah satu perusahaan tekstil Pan Brother. Perusahaan tempatnya mencari nafkah itu ternyata juga sudah go publik.
Tahun 2003, ketika BEJ melakukan ekspansi besar-besaran ke daerah, Emon kembali menaruh ketertarikannya pada dunia pasar modal. Kini, aktifitas kesibukan orang berpenampilan rapi di layar kaca hitam putih itu, tidak lagi dia saksikan, justri dia alami langsung.
Tahun 2003 BEI membuka kantor wilayah regional di Sumatra. Emon akan berada di Riau pada awal generasi millenium itu. Hanya ada satu kata di benaknya tentang Riau saat itu. “Kaya”. Ibukota mengenal daerah Riau adalah wilayah yang banyak menyimpan potensi cadangan minyak.
“Setelah ke Riau saya sadar. Bahwa tidak semua daerah kaya, pendidikannya mumpuni. Saya kaget saat tiba disini. Semua strategi yang sudah kami susun ternyata berubah setelah melihat kondisi dan situasi masyarakat di Riau. Masih awam sekali tentang pasar modal,” kata Emon.
Sebagai Kepala Pasar Modal, kesulitan yang dialaminya adalah faktor internal dari perubahannya. Dia ingat betul ketika itu anggaran yang dikucurkan untuk Pasar Modal di daerah masih sangat terbatas, karena pergerakan bursa ditahun itu belum sebesar sekarang. Saat itu, jutru masyarakat mengenal saham dengan definisi berbeda. Belum lagi menghadapi masyarakat yang sudah pernah mengalami investasi bodong. “Itulah yang harus kami lawan.”
Trik pertama yang sangat mungkin bisa dilakukan adalah memberikan edukasi kepada masyarakat dan mahasiswa. Dia bersama tim berusaha mendekati mata rantau utama untuk bisa memberikan pemahaman sadar saham kepada masyarakat Riau, salah satunya menggaet organisasi dan asosiasi pengusaha, mendekati tokoh masyarakat yang dianggap memiliki peran sentral. “Termasuk, Pak Fadlah Sulaina, yang banyak membantu kami dalam sosialisasi,” sambungnya dan masih banyak tokoh-tokoh Riau lainnya.
Seiring berjalan waktu, tingkat kesadaran masyarakat di Riau kian terbuka. Pertumbuhan investor di BEI pun semakin menunjukkan pergerakan ke arah yang positif. Setelah awalnya sempat melakukan MoU dengan Universitas Riau, ekspansi melibatkan lembaga pendidikan resmi semakin gencar. Yakni dengan membuka Pojok BEI di Kampus UIN Suska Riau di tahun 2007. Ini adalah salah satu bukti bahwa stigma awal, dan persepsi buruk masyarakat tentang investasi saham di BEI perlahan mulai terkikis.
12 tahun sudah waktu berjalan, Emon di Pasar Modal tetaplah sebagai pekerja. Tekanan pekerjaan tetap muncul silih berganti. Untung ada si Bintang dan Lintang yang sudah menunggunya di rumah. Kedua buah hatinya itu, seketika merubah nuansa tekanan kerja menjadi keceriaan dalam sebuah keluarga kecil yang tak tergantikan. Bagi Emon, pekerjaan adalah tanggungjawab. Keluarga adalah tujuan. Sama seperti ayah-ayah yang lain, dia juga punya pengalaman tak tergantikan bersama kelurgannya.
“Saya bekerja untuk keluarga. Percuma jadi pekerja keras kalau kelurga berantakan. Tapi keluargalah yang membuat saya bisa bekerja keras. Saya rasa, ini juga dilakukan oleh ayah-ayah yang lain. Bekerja untuk anak dan istrinya,” sambung Emon.
Keluarga kecil Emon ternyata punya kebiasaan unik. Dia dan istrinya Sonya Fitrianie memang tidak pernah teken kontrak di atas matrai tentang sebuah komitmen yang sudah mereka sepakati. Keluarga kecilnya punya “tombol on off” yang harus mereka tekan setiap hari. Ketika masuk jam kerja saat pagi, tombol rumah sudah di off. Tidak ada masalah keluarga yang masuk dalam urusan kantornya. Demikian sebaliknya, pada jam pulang kerja, saat itulah tombol kantor untuk di off, dan tidak ada urusan kantor yang akan mengganggu kebahagiaan rumah tangganya. Hal sama juga dilakukan oleh sang istri.
“Saya dan istri sama-sama bekerja, untuk Bintang dan Lintang,” katanya. (Melba)