BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Gerakan Pemajuan Kebudayaan Riau (GPKR) mendesak Gubernur Riau membuka ruang partisipasi, bermakna dalam proses pembahasan kebijakan pemajuan kebudayaan di Riau, salah satunya membuka dan menyebarkan luaskan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pemajuan Kebudayaan Melayu Riau.
Dari catatan GPKR, UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mengamanatkan Pemerintah Daerah menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) sebagai bagian dari Strategi Kebudayaan Nasional.
Meskipun informasi bahwa Pemerintah Provinsi Riau telah memiliki Ranperda Pemajuan Kebudayaan Melayu Riau dan Rancangan Induk Pemajuan Kebudayaan Melayu Riau 2019-2023, namun pelibatan publik secara bermakna tidak pernah dibuka ruangnya oleh Gubernur Riau.
“Termasuk Gubernur Syamsuar yang berkomitmen memajukan kebudayaan Melayu Riau,” ujar Benie Riaw, seniman yang mengkoordinir GPKR.
Pelibatan masyarakat dalam upaya memajukan kebudayaan juga menjadi mandat Undang-undang Pemajuan Kebudayaan sebagai bagian dari strategi pemajuan kebudayaan.
Pasal 44, poin H, I, dan J Undang Undang Pemajuan Kebudayaan (UUPK) menyebutkan Pemerintah Daerah bertugas: membentuk mekanisme pelibatan masyarakat dalam Pemajuan Kebudayaan; mendorong peran aktif dan inisiatif masyarakat dalam Pemajuan Kebudayaan; dan menghidupkan dan menjaga ekosistem Kebudayaan yang berkelanjutan.
“PPKD dapat dianggap tidak sah apabila tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya,” tambahnya.
Sebagai bagian dari GPKR, Kunni Masrohanti mengatakan, dalam proses perkembangan Ranperda dan Rancangan Induk Pemajuan Kebudayaan Melayu, GPKR minta Pemprov Riau melibatkan masyarakat terdampak, maupun yang mempunyai kepentingan, sebagai wujud partisipasi bermakna, karena Kebudayaan Provinsi Riau bersumber pada kehidupan masyarakat adat dan ruang ekologis.
“Maka yang terdampak tentu saja masyarakat adat, ruang ekologis serta seniman dan budayawan,” kata Kunni Masrohanti, seniman Riau.
Mekanisme pelibatan masyarakat dalam penyusunan perundang-undangan tidak hanya termaktub dalam UU Pemajuan Kebudayaan.
Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 salah satu pertimbangannya Pemerintah perlu memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga prasyarat: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Pasal 96 ayat 1, 2 dan 3 UU No 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebut masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan/tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pemberian masukan masyarakat dilakukan secara daring atau luring. Masyarakat merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi rancangan peraturan perundang-undangan.
“Yang dimaksud dengan ‘sekelompok orang’ adalah kelompok/organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat yang terdaftar di kementerian berwenang, masyarakat hukum adat, dan penyandang disabilitas,” ujar Fachri Yasin menegaskan pentingnya Undang Undang ini.
Pascaputusan MK, terbit UU No 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada 16 Juni 2022.
Undang-undang ini memperjelas “asas keterbukaan” yang bermakna pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan).
Koordinator Jikalahari, Made Ali mengatakan, advokasi GPKR dalam upaya implementasi UU Pemajuan Kebudayaan di Riau sejalan dengan advokasi Undang Undang Provinsi Riau yang diperjuangkan Alm Datuk Seri al Azhar bersama aktivis dan pelaku seni budaya di Riau.
Terbitnya UU No 19 Tahun 2022 tentang Provinsi Riau dalam Pasal 5 menyebut Propinsi Riau memiliki karakteristik:
Pertama, kewilayahan dengan ciri geografis utama kawasan gambut, daerah aliran sungai, pesisir dan pantai, kawasan daratan tinggi berupa perbukitan, kawasan taman nasional, kawasan lindung dan konservasi serta kawasan kepulauan.
Kedua, Potensi sumberdaya alam berupa kelautan dan perikanan, pertanian terutama perkebunan, kehutanan, pertambangan, energi dan sumberdaya mineral, serta potensi pariwisata dan industri pengolahan.
Ketiga, adat dan budaya melayu Riau terdiri dari keragaman suku, kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan berbudaya sekaligus menjunjung tinggi adat istiadat masyarakat dan kelestarian lingkungan.
“Melihat komitmen Pemerintah terhadap kondisi ekologi dan kebudayaan di Riau hari ini, sinkronisasi dan implementasi UU Provinsi Riau dan UU Pemajuan Kebudayaan menjadi mendesak implementasinya sebagai amanat perjuangan Datuk Seri Al Azhar yang harus terus dilanjutkan. Dan ini harus dikawal dengan ketat,” ujar Made Ali, aktivis lingkungan yang turut dalam tim penyusunan UU Provinsi Riau.
Didasari gejala di atas, Gerakan Pemajuan Kebudayaan Riau mendesak Pemerintah Provinsi Riau membuka ruang partisipasi publik secara bermakna dengan melibatkan entitas kebudayaan, ruang ekologis dan masyarakat adat sebagai wujud UU Provinsi Riau.***