BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Bencana kebakaran lahan dan hutan yang terjadi Riau tahun 2015 lalu, cukup sudah menjadi pengalaman berharga. Namun demikian upaya agar bencana itu tidak terulang kembali, hanya dalam bentuk konsep antisipasi.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Willem Rampangilei, menjelaskan mengapa Riau menjadi contoh daerah bencana asap. Alasannya, tidak lain, Provinsi Riau punya 2 kali musim asap selama setahun.
“Dari pengalaman ditahu-tahun sebelumnya seperti itu. Awal tahun dan menjelang akhir tahun. Kami sudah melakukan pertemua dengan Pak Presiden. Sejak awal Riau dan daerah di Pulau Sumatera lainnya menjadi contoh soal bencana ini,” katanya.
Dia menambahkan, berpijak pada dasar hukum UU 24 tahun 2010. BNPB punya fungsi untuk mengkoordinasi terhada perosoalan ini. Dengan fungsi koordinasi, komando dan pelaksanaan penanggulangan. Tindak lanjut arahan residen. Bagaimana kesiapan meminta Willem untuk mengkoordinasikan soal pencegahan Karhutla. Salah satu konsep yang ditawarkan adalah penerapan sistem pemberdayaan desa cegah karhutla di Riau.
Bisakah upaya ini menjamin masalah karhutla di Riau tidak terjadi lagi. “Saya kira efektif,” sambungnya pada saat memberikan pidato di Ruang Melati, Kantor Gubernur Riau, Rabu (27/01/2015).
Berangkat dari pengalaman tahun 2015 lalu, dia menyebutkan bahwa upaya pencegahan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Riau terhadap bencana Karhutla tidak efektif. Diperkirakan kerugian total secara keseluruhan di Indonesia mencapai Rp 221 triliun.
“Itu belum terbasuk biaya untuk pencegahan dan belum dihitung dari sisi kerugian kesehatan, pendidikan dan lain-lain” sambungnya.
Kejadian kebakaran hutan dan lahan ditahun 1997, dokumen internasional mencatat bahwa tanah air disebut sebagai penyumbang CO2 terbesar. Dia meyakini jika masalah kebakaran hutan dan lahan tidak segera diantisipasi maka dikhawatirkan akan merusak hubungan baik antar negara.
Selain itu, dia meyakini salah satu penyebab bahwa musibah asap dan bencana kebakaran hutan dan lahan di Riau masih terjadi, karena kemampuan perusahaan dalam pencegahan tidak memadai.
“Kalau memadai tentu tidak terbakar. Pendekatan hukum juga belum memberikan efek jera. Pemadaman hanya bergantung pada hujan buatan dan ketersediaan awan. Serta setuasi politik lokal sangat berpengaruh terhadap upaya pencegahan kerhutla,” ujarnya. (Melba)