BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Greenpeace bersama Jaringan kerja penyelamat hutan Riau (Jikalahari), Wahana lingkungan hidup (WALHI) Riau dan Pusat Studi Bencana (PSB Universitas Riau) dalam konferensi persnya Rabu (11/6/2014) di Pekanbaru mengungkapkan hasil mengejutkan dari analisa peta titik api di Riau.
Peta analisis Greenpeace menunjukkan kebakaran hutan dan lahan di gambut terjadi lima kali lebih banyak dibandingkan di lahan non-gambut. Selain itu 75 persen dari total kebakaran gambut Indonesia terjadi di Riau saja.
“Perlindungan gambut adalah satu hal terpenting untuk memutus siklus bencana asap. Dan kepemimpinan Presiden SBY seharusnya diakhiri dengan kebijakan kongkrit perlindungan gambut secara menyeluruh dan janji penanganan kebakaran hutan ini terpenuhi dengan efektif. Termasuk janji penurunan emisi yang utamanya bersumber dari sektor kehutanan dan alih fungsi lahan hutan†ujar Yuyun Indradi, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.
Sementara itu, Jikalahari menilai keseriusan penegakkan hukum terhadap perusahaan yang ditemukan titik api di lahannya masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan sebagian dari 40 perusahaan yang seharusnya bertanggungjawab atas titik api di konsesinya sudah dihentikan penyidikannya.
“Sampai saat ini baru satu perusahaan yang disidang sementara 8 perusahaan lainnya yg tersangka pada tahun 2013 semakin tidak jelas. Hal ini semakin mengkawatirkan apakah 23 perusahaan yang terlibat tahun ini akan disidangkan atau malah akan lenyap sementara ratusan ribu masyarakat Riau kembali menanggung penderitaan akibat asap mereka,†kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari.
Menurut Walhi Riau akar persoalannya adalah rusaknya lahan gambut akibat pemberian izin secara luas untuk mengkonversi hutan rawa gambut. “Hampir 1,5 juta izin yang diberikan pemerintah untuk dua komoditas baik itu HTI dan perkebunan kelapa sawit di Riau dan ini yang menjadi sumber kenapa kebakaran hutan selalu terjadi setiap tahun di Riau,†tegas Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau.
Riko menambahkan logikanya kawasan hutan rawa gambut mustahil terbakar karena kawasan itu selalu basah. Apabila kering biasanya disebabkan pembuatan kanal dan proses land clearing hutan rawa gambut yang telah diberikan izin untuk sawit dan akasia. Pemerintah Malaysia dan Singapura juga dituntut bertanggungjawab untuk menghukuman perusahaan mereka yang beroperasi di Indonesia/Riau yang terbukti melakukan pelanggaran terkait dengan kebakaran hutan rawa gambut.
Sedangkan Dr Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau dan Sekretaris Satgas STBA UR menilai, bencana asap adalah indikasi gagalnya pendekatan pembangunan ekonomi terutama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya rawa gambut secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Terbakarnya hutan dan lahan gambut merupakan signal nyata ancaman hilangnya gambut basah di Riau.
“Kami mendesak segera mengevaluasi secara menyeluruh dan dilakukannya tindakan nyata untuk menyelamatkan gambut yang terbakar dan yang masih tersisa, selain itu juga pengetatan, perbaikan manajemen maupun pengaturan terhadap kanal-kanal pengeringan yang akan dibuat ataupun yang sudah ada,†ujar
Harris menambahkan, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar gambut harus didampingi, diberdayakan dan menjadi satu komponen penting penyelamatan gambut basah serta penangggulangan bencana asap yang meliputi pencegahan, tanggap darurat dan pemulihannya.
 “Perlu dibuat kantong-kantong air melalui penyekatan kanal-kanal dan sungai-sungai alami, pembuatan peraturan desa yang terkait dengan desa tangguh bencana, dan dimulainya restorasi lahan gambut terlantar dengan tanaman cepat tumbuh dan kayu asli habitat hutan tersebut,†tambahnya. (syawal)
Â