BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Masyarakat Bali telah mengenal tajen (sabungn ayam) sejak ribuan tahun silam. Dan adat Bali membenarkan adanya tabuh rah (tiga kali aduan) atau dikenal dengan istilah tlung seet.
Masalah tabuh rah ini, telah ada sejak zaman Bali Kuno (abad ke-8 Masehi). Penjelasan mengenai sabungan ayam itu tertuang dalam prasasti Sukawana tahun 804 Saka (882 M). Pada prasasti ini dikenal dengan istilah blindarah.
Ada prasasti lain yakni prasasti Abang A I tahun 933 Saka (1011 Masehi) menyebutnya tiga sehet (makantang tlung prahatan). Sabungan ayam jenis ini, memang tidak memerlukan izin dari kepolisian atau pemerintah.
Selain itu, juga masih ada prasasti Batuan tahun 944 Saka (1022 masehi). Dalam prasasti ini disebutkan, mengadu ayam hanya tiga sehet tidak dikenakan pajak.
Perkembangan kehidupan dalam prasasti lain menyebutkan adanya sabungan ayam, seperti masyarakat Bali sekarang. Ini yang justru terjadi pergeseran, dari yang mulanya ritual bersifat sakral ke judi berdalih tabuh rah.
Sabungan ayam berkembang di mana-mana. Klasifikasinya bukan tabuh rah yang dilegalisir sejumlah prasasti itu, tetapi sudah mengarah judi. Taruhan uang dalam jumlah besar sudah terjadi di arena sabungan ayam.
Menurut pemerhati weda Dr Made Titib, jelas-jelas ini tidak dibenarkan agama. Bukan saja agama yang tidak membenarkan, tetapi Undang Undang pun tidak mengizinkan adanya judi.
Sabung ayam yang berkembang belakangan ini di Bali, menurut Dr Titib, patut diantisipasi pemerintah dan polisi. Jika tidak, ke depannya, bisa menghancurkan masa depan generasi penerus. (rai/jss)