BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Para kepala daerah terpilih di Riau [beberapa sudah dilantik] terpaksa harus memikul beban besar yang menjadi ‘pekerjaan rumah’ untuk diselesaikan, terkait ‘label korupsi’ yang melekat pada Provinsi Riau.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkapkan ada 24 dari 36 provinsi sudah terjaring kasus korupsi sepanjang tahun 2004 hingga 2020.
Sementara Riau menempati urutan keempat kasus korupsi tertinggi di Indonesia dengan 64 kasus. “Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah itu pernah terlibat korupsi, ini memprihatinkan bagi kita,” kata Firli.
Komisaris Jenderal Polisi itu menguraikan, posisi tertinggi ditempati oleh Jawa Barat dengan 101 kasus tindak pidana korupsi. Kemudian diikuti Jawa Timur 93 kasus, Sumatera Utara 73 kasus, Riau dan Kepulauan Riau 64 kasus, serta DKI Jakarta 61 kasus.
“Perlu kerja keras agar Riau bisa terbebas dari predikat daerah korup di Indonesia,” kata Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran [FITRA] Riau Triono Hadi kepada Bertuahpos.com, Senin, 26 April 2021.
Dia mengungkapkan, pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota harus menyusun langkah strategis untuk menanggalkan ‘label korupsi’ dari Riau yang telah melekat sangat lama.
“Saat ini ada 9 daerah dengan kepala daerah yang baru. maka upaya mencegah korupsi harus menjadi prioritas dalam perbaikan tata kelola pemerintahan,” tegasnya.
Menurut Triono, salah satu upaya yang perlu disegerakan, yakni memberikan ruang keterbukaan informasi kepada publik secara luas dan transparan terhadap perencanaan dan pengelolaan tata pemerintahan.
“Memastikan keterbukaan informasi berjalan, Informasi harus dipublikasi secara luas kepada masyarakat. Itu salah satu bagian yang sangat penting untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi di pemerintahan,” terangnya.
Dalam teorinya, ujar Triono, semakin tertutup suatu instansi atau pemerintah maka semakin besar peluang korupsi terjadi di lingkungan itu.
Sebaliknya, keterbukaan memungkinkan masyarakat untuk mengakses segala informasi yang bersifat publik sehingga langka kontrol atau pengawasan bisa dilakukan secara luas. Hal ini pastinya akan menutup ruang adanya tindakan-tindakan korupsi.
“Membuka dokumen kontrak pengadaan barang jasa kepada publik diminta atau tidak diminta. Melakukan rekruitmen dan penempatan pejabat daerah yang sesuai dengan skil serta dengan track record yang baik. Jangan sampai pejabat yang sedang memiliki masalah dengan hukum diangkat menjadi penanggung jawab,” ungkapnya. (bpc2)