BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Sidang perkara korupsi alat kesehatan dengan terdakwa tiga dokter spesialis di RSUD Arifin Achmad dan dua rekanan, Senin 21 Januari 2019, kembali digelar. Dipersidangan terungkap kalau Direktur Utama RSUD Arifin Achmad ketika apel pagi sering menyampaikan kepada para dokter bahwa jika ingin melakukan operasi laksanakan saja, selanjutnya tanggungjawab manajemen.
Maksud tanggungjawab manajemen yang disebut Dirut RSUD Arifin Achmad inilah yang dipertanyakan saksi dan dinilai sebagai awal terjadinya korupsi.
Sesuai jadwal, terdakwa dr Welly Zulfikar, dr Kusnan Ambar dan drg Masrial beserta dua rekanan Yuni Efrianti SKp, Dirut CV Prima Mustika Raya (PMR) dan Muklis, staf CV PMR, kembali diadili. Kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan delapan orang saksi.
Dr Zuwirman, Ketua KSMF RSUD Arifin Achmad, mendapat giliran pertama untuk didengar kesaksiannya dihadapan majelis hakim yang diketuai Saut Martua Pasaribu, mengatakan setiap Apel Pagi Dirut mengatakan agar para dokter ingin melakukan operasi agar melaksanakan saja, selanjutnya manajemen yang bertanggung jawab.
“Tanggungjawab yang dimaksud inilah yang menjadi tanda tanya,” ujar saksi.
Namun akibat perintah yang disampaikan Dirut pada Apel Pagi ini, para dokter melaksanakan operasi. Jika alat-alat tidak tersedia di RSUD maka pakai alat yang dibawa dokter dulu. Selanjutnya baru diganti dengan uang oleh manajemen.
Sistem ini menurut saksi sangat membantu pasien. Saksi sempat menyatakan pembelaannya terhadap terdakwa dr Welli. “Dokter Welly misalnya, ia spesialis kepala leher. Jika ada pasien yang patah rahangnya sementara alat tidak ada, apakah akan dibiarkan saja pasien itu? Bisa mati pasiennya pak hakim. Syukurlah dokter Welly membantu dengan menggunakan alat miliknya, sehingga pasien bisa terbantu,” ujar saksi.
Hal ini memancing kemarahan hakim ketua Saut Martua, dengan menyebutkan saksi sangat pandai membuat narasi. “Saksi sangat pandai membuat narasi dengan alasan kemanusiaan. Kami majelis hakim ini tidak mempersoalkan dokter menggunakan dulu alat-alatnya. Kami sangat berterima kasih. Yang dipersiapkan itu adalah pengembaliannya yang dimarkup. Contoh ada alat yang digunakan dokter Welly hanya seharga Rp9 juta lebih, namun dalam pengembaliannya dibayar Rp17 juta lebih. Inikan mark up namanya, yang mengakibatkan biaya kesehatan semakin tinggi,” tegas hakim.
Hal ini membuat saksi terdiam. Bahkan hakim sempat bertanya kepada saksi apakah pernah menggunakan alat miliknya dulu baru dibayar? Lalu dijawab saksi pernah. Lalu hakim bertanya apakah alat tersebut diganti sesuai harga atau lebih tinggi, saksi menjawab lebih tinggi.
Hal ini membuat hakim terkejut dan bertanya kepada jaksa apakah penyidikan perkara ini masih berlangsung, lalu dijawab jaksa bahwa penyidikan saat ini masih berdasarkan pembukuan CV PMR dan tidak tertutup kemungkinan ke yang lainnya. (bpc17)