بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Sahabatku, betapa banyak orang yang tergelincir akibat membangga-banggakan ritual ibadahnya, mereka merasa bahwa dirinyalah pemegang pintu surga karena ibadahnya yang banyak, bangga dengan nasab dan menghinakan nasab yang lain. Nyaris mereka lupa bahwa seorang Nabi yang jelas-jelas muliapun tidak pernah menyandarkan kepada ibadahnya sebagaimana sabda beliau :
لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
“Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR Muslim)
Kiai Said Aqil Siradj pernah menyampaikan hal yang dialami oleh salah seorang tabiin pada masanya. Tabiin tersebut bernama Imam Hasan Al-Bashri (mursyid kami dalam bertarekat) dan bapaknya seorang Majusi namanya Yasar. Imam Hasan Al-Bashri lahir di Madinah, sementara hidupnya di Kota Bashro
“Suatu ketika ada orang menghina dengan berkata ‘kamu walaupun ulama besar Sayyidut Tabiin, tapi kamu hanyalah anaknya seorang tahanan perang atau budak”. Jawabnya Hasan Al-Bashri begini ‘Jangan menghina ayah saya ya, jelek-jelek ayah saya punya anak seperti saya, dan belum tentu saya punya anak seperti saya’,” ujarnya.
Saudaraku tercinta, banyak orang mengira bahwa banyaknya amal ibadah akan menjamin kebahagiaan akhirat dan masuk surga. Seolah mereka yang menentukan sebuah peradilan tertinggi Tuhan. Mereka mengabaikan kasih sayang (rahmat) Allah dalam setiap keputusan akhir nasib seorang manusia.
Lalu apakah asumsi setiap kita telah berada pada keputusan bahwa keselamatan kita pada peradilan tertinggi Tuhan ditentukan oleh banyaknya amal kita? Bukan bersandarkan pada rahmat Allah SWT?
Syaikh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandary telah memberikan sinyalemen, bahwa seseorang memiliki tanda ketika ia bersandar pada amalnya. Beliau berkata:
مِنْ عَلَامَةِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
“Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (kurangnya rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana.”
Ar-Raja’ adalah istilah khusus dalam terminologi agama Islam, yaitu Tasawwuf Islam, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta’ala.
Pasal Kitab Al-Hikam yang pertama ini bukan ditujukan ketika seseorang berbuat salah, gagal atau melakukan dosa. Karena ar-Raja’ lebih menyifati orang-orang yang mengharapkan kedekatan dengan Allah, untuk taqarrub.
Kalimat “wujuudi al-zalal“, artinya segala wujud akan hancur, atau alam ini fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu semua adalah wujuud al-zalal, wujud yang akan musnah.
Sedangkan seorang mukmin yang kuat tauhidnya, ia akan tetap bersandar kepada Allah, meskipun ia masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana ini. Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil.
Hal yang paling mahal dalam perjalanan menuju Allah (suluk) adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Kita hanya mencari dan berharap kepada Allah, bukan banyaknya amal dan membanggakannya. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas ar-Raja’ (harapan) kita kepada Allah Ta’ala.
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَنْ يَدْخُلَ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ، قَالُوْا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ؟ قَالَ: وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللّٰهُ بِرَحْمَتِهِ .
Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang masuk surga Allah dengan amalnya.” Ditanyakan oleh sahabat Nabi, “Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepada-ku.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Allah, meminta kepada Allah supaya berhasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang yang beramal itu bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah itu adalah Allah SWT. Sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Allah. Sehingga apabila berkurang pengharapan kepada rahmat Allah, maka amalnyapun akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.
Seharusnya, dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Allah. sedangkan diri kita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Allah. Kalimat “Laa ilaaha illaa Allaah” (tidak ada Tuhan selain Allah), berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Allah, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Allah.
Pada dasarnya, syari’at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari’at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Allah SWT saja.
Apabila kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan karunia Allah subhanahu wata’ala.
Kesimpulannya, bersandarlah hanya kepada Allah SWT, bukan bersandar kepada amal perbuatan kita. Bersandar pada amal perbuatan, berarti mengabaikan rahmat dan qudrat Allah SWT.
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita, agar seluruh amal ibadah dan kebaikan-kebaikan kita tidak mengenyampingkan kesadaran akan peran dan qudrat Allah SWT sehingga kita tidak terjebak pada klaim sebagai keberdayaan kita sendiri, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
_______________________________________________________
Oleh: Dr. Supardi, SH., MH.,
Kepala Kejaksaan Tinggi Riau
Als. Rd Mahmud Sirnadirasa