BERTUAHPOS.COM – Sungguh sangat berbeda jauh antara mempelajari buku atau hadir dalam ceramah tasawuf dan bertasawuf yang sesungguhnya. Dampak dan pemahamannya bagai setetes air dibanding samudera.
Bertasawuf merupakan hubungan antara Guru dan Murid. Bertasawuf adalah melaksanakan dzikir yang diberikan Syaikhnya dan mengambil Mursyid dengan berbaiat. Bertasawuf adalah bersama para guru dalam suhbah (jamaah asosiasi) yang juga merupakan Wali Allah. Dengan demikian maka ia akan mendapatkan ilmu sekaligus Hikmah.
Hikmah hanya bisa didapatkan dari mendengarkan langsung dan bersama Wali Allah, sedangkan ilmu hanya berasal dari guru biasa, ustad biasa, ulama buku-buku, ulama Awroq. Sementara bertasawuf adalah mengenal dan mencicipi manisnya spiritual bersama Ulama Azwaq, Ulama Rasa.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Was-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
Kesuksesan seorang murid tidak lepas dari bimbingan seorang guru. Besarnya jasa seorang guru sehingga sudah selayaknya seorang murid untuk bisa mengormati guru. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam al-Kahfi ayat 65-70 tentang etika murid kepada guru.
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا ۞ قَالَ لَهٗ مُوْسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا ۞ قَالَ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا ۞ وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلٰى مَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ خُبْرًا ۞ قَالَ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ صَابِرًا وَّلَآ اَعْصِيْ لَكَ اَمْرًا ۞ قَالَ فَاِنِ اتَّبَعْتَنِيْ فَلَا تَسْـَٔلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ حَتّٰٓى اُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا ࣖ ۞
“(65) Lalu mereka dapati seorang dari hamba-hamba Kami yang telah kami kurniakan kepadanya rahmat dari Kami dan Kami telah mengajarnya sejenis ilmu; dari sisi Kami. (66) Musa berkata kepadanya: Bolehkah aku mengikutmu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk? (67) Dia menjawab: Sungguh, tidak akan sanggup sabar bersamaku. (68) Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? (69) Dia (Musa) berkata,“ Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.” (70) Dia berkata, “ jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu”
Kisah tersebut menceritakan perjalanan tahap kedua bagi seorang penuntut ilmu yaitu Nabi Musa as. setelah sebelumnya melakukan perjalanan tahap pertama yaitu berupa pencarian seorang guru dengan membawa bekal secukupnya dan meninggalkan harta bendanya.
Perjalanan tersebut adalah usaha seorang murid untuk membangun komitmen (mubãya’ah) kepada guru mursyidnya. Seorang murid harus mampu melaksanakan hal yang sudah disepakati dengan guru mursyidnya, hal tersebut wajib dilaksanakan karena merupakan janji (bai’at).
Pelaksanaan bai’at seperti itu juga yang dilaksanakan Rasulullah SAW. terhadap para sahabat, sebagai janji setia untuk mengikuti beliau sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surah al-Fath ayat 10:
اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ ۚ فَمَنْ نَّكَثَ فَاِنَّمَا يَنْكُثُ عَلٰى نَفْسِهٖۚ وَمَنْ اَوْفٰى بِمَا عٰهَدَ عَلَيْهُ اللّٰهَ فَسَيُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ ۞
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.
Nabi Musa yang kala itu merupakan murid bagi Nabi Khidir melakukan perjanjian sebelum nabi Musa mengikutinya dan belajar darinya. Allah mengabadikan hal tersebut dengan firman-Nya di atas (Q.S. Al-Kahfi [18]: 65-70).
Sedangkan kandungan makna ayat tersebut secara tafsiriyah dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Nabi Musa telah melaksanakan beberapa tatacara pelaksanaan akhlak al-karimah sebagai seorang murid kepada Nabi Khidir as. sebagai guru mursyidnya. Itu merupakan pelajaran yang sangat berharga yang diabadikan Allah Ta’ala di dalam kitab yang mulia, al-Qur’an al-Karim. Pelajaran tersebut harus dijadikan sebagai ‘uswah al-hasanah” oleh seorang murid untuk menuntut ilmu kepada guru mursyidnya. Diantaranya:
1) Nabi Musa menempatkan dirinya sebagai pengikut dan memohon izin untuk dapat mengikuti Nabi Khidir: “Hal Attabi’uka” (bolehkah aku mengikutimu?), itu menunjukkan pelaksanaan tawãdhu’ (rendah hati) yang sangat tinggi. Nabi Musa as. sebagai seorang Rasul dan Nabi, untuk menuntut ilmu pengetahuan, beliau tidak segan-segan merendahkan diri untuk menjadi pengikut guru mursyidnya, Nabi Khidir as. Ketika pelaksanaan “akhlak al-karimah” tersebut ditampilkan Allah di dalam kitab suci al-Qur’an, berarti yang demikian itu menjadi suatu keharusan yang harus mampu diikuti oleh umat Muhammad saw sebagai syarat dan tata cara menuntut ilmu pengetahuan dengan benar.
2) Nabi Musa berkata: “Alã an tu’ allimanî” (supaya engkau mengajariku ilmu), sebuah pernyataan dan pengakuan terhadap kebodohan diri atas ke’aliman seorang guru yang diikuti. Salah satu syarat mutlak untuk sampainya ilmu seorang guru kepada seorang murid ialah seorang murid harus merasa lebih bodoh daripada gurunya, seperti mengosongkan gelas, supaya air yang dituangkan dapat masuk ke dalamnya.
3) Nabi Musa berkata: “Mimmã ’ullimta” (sebagian dari apa yang sudah diajarkan kepadamu), ini juga menunjukkan pelaksanaan tingkat tawãdhu’ yang tinggi. Seolah Nabi Musa berkata: “Aku tidak mengharapkan engkau menjadikan aku sama ‘alimnya dengan dirimu, akan tetapi yang aku harapkan darimu hanya sebagian dari ilmumu”. Permintaan tersebut layaknya seperti permintaan orang fakir kepada orang kaya akan sebagian kecil hartanya. Sebagai bentuk pengagungan seorang murid kepada gurunya, murid tidak boleh berkeinginan mengungguli ilmu gurunya, baik perasaan dalam hati maupun yang terekspresikan melalui ucapan dan perbuatan.
4) Dari perkataan: “Mimmã ‘ullimta rusydã”. Mengandung suatu pengakuan terhadap apa-apa yang dimiliki oleh gurunya, seolah nabi Musa berkata: “Dari hal yang Allah mengajarkannya kepadamu, dengan itu barangkali menjadikan petunjuk di dalam urusanku untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal yang sholeh”. Pernyataan tersebut Mengandung pengakuan akan tingkat kualitas ilmu-ilmu yang dimiliki gurunya dan menunjukan kebutuhan dirinya akan kemanfaatan ilmu tersebut, yang demikian itu dapat menjadikan hati seorang guru tersanjung.
5) Nabi Musa berkata: “hal attabi’uka ’alã an tu’allimanî” (bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu?). Kalimat tersebut mengandung makna pada permulaannya seorang murid sepatutnya mengikuti gurunya, baru kemudian mempelajari ilmu darinya. Pengabdian seorang murid tersebut dapat mendatangkan ilmu laduni yang sesuai dengan kemampuan murid menampung ilmu tersebut, yang berasal dari keridhaan dan doa seorang guru kepada muridnya walaupun ilmu tersebut belum diajarkan.
b. Firman Allah SWT, “Kaifa tashbiru ‘alã mã lam tuhith bihî khubrã” (bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?), menunjukkan sangat tidak mungkin bagi seseorang untuk berbuat sabar sebelum terlebih dahulu ia mengetahui secara pasti akan suatu hikmah dan rahasia dalam setiap kejadian atau musibah yang sedang dihadapinya, walau ia telah memberikan kesanggupan yang kuat untuk berbuat sabar.
Di antara syarat seorang murid mendapatkan ilmu dari gurunya adalah “sabar” terhadap yang diperbuat oleh seorang guru sebagai tahapan ujian yang harus dijalani kepada dirinya. Ketika di ayat ini sabar dikaitkan dengan rahasia di balik kejadian yang dihadapi, berarti hakikat sabar itu adalah sebuah cara untuk menemukan hikmah di balik sebuah kejadian. Jika seorang murid tidak sabar dalam hal menuntut ilmu maupun menghadapi perilaku gurunya, maka kegiatan belajar akan mengalami kegagalan.
c. Firman Allah SWT, “Wa lã a’shî laka amrã” (dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu apapun), menunjukkan bahwa kesabaran seorang murid menghadapi ujian yang diberikan guru adalah hal yang wajib dilakukan yang akan menentukan keberhasilannya dalam menuntut ilmu. Artinya, pembelajaran yang dilakukan oleh gurunya harus diterima dengan lapang dada dan tidak dipertentangkan, dikarenakan menentang guru merupakan termasuk bentuk perbuatan durhaka.
d. Firman Allah SWT, “Qãla fa in ittaba’tanî falã tas’alnî ‘an syai’in hattã uhditsa laka minhu dzikrã” (jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu) atau bisa juga diartikan supaya Nabi Musa jangan meminta diterangkan rahasia-rahasia di balik ujian yang akan diberikan sebelum gurunya sendiri yang memberitahukan kepadanya.
Di saat seorang murid menjalani tes di sekolah saja, murid itu dilarang nyontek kepada temannya, apalagi bertanya kepada guru tentang jawaban materi test tersebut, yang demikian itu berarti tujuan ujian menjadi gagal dan bila guru itu menjawab berarti guru itu telah mengkhianati fungsinya sebagai penguji.
Apabila sesuatu yang bersifat materi saja tidak ada pemberitahuan jawaban terlebih dahulu, terlebih untuk menghadapi ujian hidup di lapangan. Seorang murid harus mampu memecahkan persoalan yang dihadapinya sendiri. Mereka harus mampu memadukan ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat, juga menyikapi kesulitan hidup sebagai tantangan.
Dengan didukung husnudz dzan yang kuat, penalaran seorang murid akan tumbuh dan berkembang dari dalam hatinya sendiri. Hal tersebut merupakan bentuk latihan yang efektif, terlebih ketika yang demikian itu terjadi berulang kali, hasilnya akan dapat mengasah akal dan pikiran manusia menjadi lebih cerdas.
Demikian pula Nabi Musa ketika masa ujian tiba, dia dilarang bertanya sesuatu kepada Nabi Khidir. Maksudnya ialah apabila seorang guru yang menjawab pertanyaan tersebut, maka jawabannya hanya yang disampaikan olehnya, akan tetapi ketika seorang murid diam dan berfikir untuk mencari tahu jawabannya dengan disertai prasangka yang baik, serta berharap mendapat petunjuk dari Allah, maka boleh jadi jawabannya menjadi berkembang.
Etika/adab seorang murid kepada gurunya juga berkaitan dengan masalah hati, sebagaimana yang disampaikan oleh Ahmad dalam bukunya Mukhtashar Minhãj al-Qãsidîn sebagai berikut:
أَمَّا الْمُتَعَلِّمُ فَيَنْبَغِيْ لَهُ تَقْدِيْمُ طَهَارَةِ النَّفْسِ عَنْ رَذَائِلِ الْأَخْلَاقِ وَمْذْمُوْمُ الصِّفَاتِ، إِذًا الْعِلْمُ عِبَادَةُ الْقَلْبِ، وَيَنْبَغِيْ لَهُ قَطْعُ الْعَلَائِقِ الشَّاغَلَةِ، فَإِنَّ الْفِكْرَةَ مَتَى تُوْزِعَتْ قُصِرَتْ عَنْ إِدْرَاكِ الْحَقَائِقِ .
Pelajar harus membersihkan hatinya dari keburukan akhlak dan kejelekan sifat, dikarenakan menuntut ilmu merupakan ibadah hati. Seseorang juga harus fokus dalam belajar, karena jika seseorang tidak fokus dalam belajar maka akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan ilmu yang diinginkan.
Hal ini sebagaimana diungkapkan juga oleh Ali Noer, dkk sebagaimana mengutip pendapat Imam al-Ghazali, terkait adab yang harus diamalkan dalam menuntut ilmu, yaitu:
Pertama, mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah, bukan yang dimaksud kebersihan pakaian, tetapi kebersihan hati. Maka selama batin tidak dibersihkan dari hal-hal keji, ia pun tidak menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak diterangi dengan cahaya ilmu.
Kedua, mengurangi kesenangan-kesenangan duniawi dan menjauh dari kampung halaman hingga hatinya terpusat untuk ilmu.
Ketiga, tidak sombong dan tidak membangkang kepada guru, tetapi memberikannya kebebasan, dikarenakan ilmu tidak akan mengalir kepada orang yang sombong seperti air yang tidak dapat mengalir ke tempat yang tinggi.
Keempat, menghindar dari mendengarkan perselisihan-perselisihan di antara manusia, karena hal tersebut dapat menimbulkan kebingungan.
Kelima, tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi ia menekuninya hingga mengetahui maksudnya. Jika waktunya tidak cukup, maka memilih ilmu yang paling penting, yaitu ilmu agama.
Keenam, hendaknya tujuan pelajar dalam masa sekarang ialah menghiasi batinnya dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah dan kepada derajat tertinggi di antara para Malaikat al-Muqarrabin (yang dekat dengan Allah), dan tidak mengharapkan hal lain yang bersifat duniawi dari ilmunya tersebut.
Berdasarkan penafsiran Al-Qur’an surah Al-Kahfi ayat 65-70 dan beberapa pendapat ulama berkaitan dengan etika murid dalam belajar, maka dapat diambil beberapa point penting berkaitan dengan hal tersebut, yaitu:
Niat yang baik menuntut ilmu, dikarenakan niat dapat mempengaruhi hasil belajar seseorang.
Memilih guru yang terbaik, yang dapat menunjukkan kepada kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Membersihkan diri dari akhlak dan sifat tercela yang dapat merusak dan mengganggu murid dalam belajar, seperti sifat sombong, su’udz dzan, dan putus asa.
Mementingkan dan menyibukkan diri dalam menuntut ilmu atau fokus, serta menjauhkan diri dari hal-hal lain yang dapat mengganggu konsentrasinya dalam belajar.
Patuh, tawãdhu’, dan tidak melakukan pembangkangan terhadap guru.
Tidak melakukan dan mempelajari hal-hal lain kecuali atas rekomendasi atau petunjuk dari gurunya.
Mempersiapkan materi pembelajaran yang akan dibahas di kelas.
Selanjutnya, untuk mempertajam kajian mengenai etika murid kepada guru, maka ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh murid.
Pertama, murid yang ingin menuntut ilmu harus memilih calon guru secara cermat. Pilihan musti di pertimbangkan hati-hati dengan kriteria, serta kelebihan dan kekurangan calon guru. Setelah pertimbangan memadai dan shalat istikharah, ia dapat mengambil kesimpulan.
Ia harus memilih guru yang dikenal baik akhlak, tinggi ilmu dan keahlian, berwibawa, santun dan penyayang. Ia tidak memilih guru yang tinggi ilmu namun kurang shaleh, tidak wara’, atau tercela akhlaknya. Ia tidak terpedaya kemasyhuran, sebab ulama yang baik memilih untuk tidak terkenal. Seorang murid dianjurkan supaya memilih guru seorang ulama yang memiliki pergaulan luas di kalangan ulama dan banyak berdiskusi dengan mereka.
Kedua, murid harus mengikuti dan mematuhi guru seperti orang sakit mengikuti nasehat dokter. Hal ini menekankan perlunya kehati-hatian dalam menentukan pilihan. Mengutip pernyataan al-Ghazali, ketika guru salah sekalipun, murid harus membiarkan dan mengikuti, sebab kesalahan guru masih lebih bermanfaat dari kebenaran murid.
Ketiga, murid harus mengagungkan guru dan meyakini kesempurnaan ilmunya. Orang yang berhasil hingga menjadi ulama besar, sama sekali tidak boleh berhenti menghormati guru. Banyak kasus yang menunjukkan besarnya rasa hormat murid kepada guru. Bahkan, rasa hormat itu melampaui masa belajar di bawah asuhan sang guru.
Keempat, murid harus mengingat hak guru atas dirinya sepanjang hayat dan setelah wafat. Ia menghormati sepanjang hayat hidup guru. Meski wafat, murid tetap mengamalkan dan mengembangkan ajaran guru, rajin
menziarahi kuburnya, mendo’akan, dan bersedekah atas namanya, dan memperhatikan kesejahteraan kerabat gurunya.
Kelima, murid harus sabar terhadap perlakuan kasar atau akhlak buruk guru. Hendaknya berusaha untuk memaafkan perlakuan kasar, serta memohon ampunan dan bertaubat untuk guru. Hal yang terpenting ia tidak membiarkan proses belajar terganggu oleh masalah tersebut. Kasih sayang terhadap guru pun tetap terpelihara. Guru yang kasar, tidak boleh membuat seorang penuntut ilmu melupakan tujuannya menuntut ilmu dan menggunakan kemanfaatannya untuk menghilangkan kebodohan.
Keenam, murid harus menunjukan rasa terima kasih terhadap ajaran guru. Melalui itulah, ia mengetahui apa yang harus dilakukan dan dihindari. Meskipun guru menyampaikan informasi yang sudah diketahui oleh murid, ia sepatutnya berperilaku seperti orang bodoh yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap informasi tersebut. Guru berbeda akan menyampaikan dengan penjelasan berbeda. Seorang murid dapat menambah jalur silsilah ilmu, sekaligus menyegarkan ingatan.
Ketujuh, murid tidak mendatangi guru tanpa izin terlebih dahulu, baik guru sedang sendiri atau bersama orang lain. Kecuali, dalam majelis umum. Jika telah meminta izin namun tidak diperolehnya, maka ia tidak mengulangi permintaan izin tersebut. Jika ragu apakah guru mendengar suaranya, ia bisa mengulang paling banyak tiga kali. Jika murid mengetuk pintu ruangan guru, hanya mengetuk tiga kali, lalu harus pergi bila tidak ada jawaban.
Kedelapan, harus duduk sopan di hadapan guru. Misalnya: duduk bersila dengan tawãdhu’, tenang, diam, posisi duduk sedapat mungkin berhadapan dengan guru, atentif terhadap perkataan guru sehingga tidak membuat guru mengulang perkataannya. Tidak dibenarkan berpaling atau menoleh tanpa keperluan jelas, terutama saat guru berbicara kepadanya.
Kesembilan, berkomunikasi dengan guru secara santun dan lemah lembut. Tidak banyak bertanya untuk perihal yang tidak penting.
Kesepuluh, jika guru mengungkapkan satu soal, atau kisah, atau sepenggal sya’ir yang sudah dihafal murid, ia harus tetap mendengarkan dengan antusias, seolah-olah belum pernah mendengar. Seorang murid tidak sepatutnya membuat pernyataan yang terkesan tidak membutuhkan ilmu dari gurunya.
Kesebelas, murid tidak boleh terburu menjawab pertanyaan guru atau majelis lain meskipun mengetahui, kecuali guru memberikan kesempatan.
Dari kesebelas etika yang baik dari seorang murid, apabila dilaksanakan dengan baik maka murid tersebut menjadi murid yang patuh kepada guru dan bisa menjadi teladan bagi murid yang lainnya. Selain itu, seorang guru juga harus selalu mengarahkan muridnya serta mengawasi akhlak murid untuk senantiasa terjaga akhlaknya menjadi murid yang membanggakan dan menjadi teladan.
Guru tidak hanya jarkoni tetapi ikut memberikan contoh disertai dengan tindakan yang nyata. Harmonisasi guru dengan murid dengan demikian akan terjaga dan tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
_____
Oleh: Waffa Ruhul Bakah
Source: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr, Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2020, “Etika Murid Kepada Guru Dalam Surah Al-Kahfi Ayat 65 -70 dan Implementasinya Pada Pendidikan Modern”, http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfikr