BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Riau daerah yang masih menyandang predikat daerah korup, zona merah korupsi, atau istilah lainnya daerah rawan korupsi berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK].
Versi KPK per 2020, berdasarkan jumlah kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, maka Riau menempati posisi urutan keempat terbanyak sejak tahun 2004 – 2020.
Bukan hanya itu, hasil survei penilaian integritas (SPI) KPK juga menunjukkan hal yang sama. Indek SPI Riau paling rendah dari 20 provinsi yang menjadi wilayah survei penilaian integritas tahun 2019.
SPI, untuk melihat sejauh mana nilai integritas dimiliki oleh penyelenggara pemerintah, swasta, dan masyarakat, yang berkaitan dengan korupsi di daerah.
“Data-data itu tentu belum termasuk kasus korupsi yang akan, sedang atau sudah ditangani oleh Alat Penegak Hukum [APH] lainnya di Riau. Seperti polisi dan kejaksaan. Tentu akan semakin banyak lagi kasus korupsi di Riau. Belum juga termasuk yang perilaku korupsi yang ‘tidak terdeteksi’. Mungkin masih sangat banyak lagi,” kata Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran [FITRA] Riau Triono Hadi kepada Bertuahpos.com, Senin, 26 April 2021.
Dia mengungkapkan, FITRA punya pandangan sama dengan KPK bahwa Riau masih masuk dalam kategori daerah sangat rawan korupsi, dengan beberapa alasan.
Catatan FITRA terkait Indikasi Korupsi di Riau
Pertama, belum ada tindakan dan upaya pencegahan yang serius dilakukan dari internal pemerintahan sendiri untuk meminimalisir korupsi di daerah.
Misalnya praktek keterbukaan informasi yang juga tergolong masih rendah, ruang partisipasi masyarakat yang juga rendah, serta masih banyak ruang yang menjadi ceruk untuk membuka kesempatan untuk melakukan korupsi.
Dalam hal ini, FITRA menilai indek keterbukaan informasi berbasis website di Riau, pada tahun 2020 secara umum Provinsi Riau dan 12 kabupaten/kota indek keterbukaan informasi berbasis website hanya 0,16.
“Bahkan kondisi itu menurun dari penilaian tahun 2018 dengan total skor rata-rata se Riau adalah 0,23,” ungkapnya.
Menurut Triono, keterbukaan informasi dalam teorinya memiliki pengaruh besar dengan akuntabilitas dan korupsi. Semakin kecil keterbukaan informasi maka akan semakin besar ruang korupsi dilakukan.
Sebaliknya, semakin besar keterbukaan maka ruang gelap akan semakin berkurang, “Sehingga sulit bagi mereka (para penjarah uang rakyat) akan melakukan aksinya,” jelasnya.
Dia menambahkan, di Riau rata-rata tindakan korupsi yang paling banyak adalah pada aspek pengadaan barang jasa, diikuti dengan perizinan.
Dalam hal pengadaan barang dan jasa sejauh ini belum ada perubahan yang signifikan. Sementara keterbukaan juga belum dilakukan secara maksimal.
Triono lalu mencontohkan dalam pengadaan barang dan jasa, meskipun telah dilakukan dengan sistem elektronik, namun belum semua mekanisme pengadaan terpublikasi secara utuh. Seperti pengadaan barang dengan penunjukan langsung, darurat, dan lain sebagainya.
Selain itu, pemerintah daerah juga dinilai belum menguatkan komitmennya untuk membuka informasi dokumen kontrak pengadaan barang dan jasa secara terbuka.
Padahal, menurut dia, keterbukaan pada sektor ini sangat penting untuk agar seluruh elemen masyarakat dapat melakukan pengawasan atas pekerjaan yang sedang dilakukan.
“Juga sebagai bentuk pencegahan agar pelaksana pengadaan dan penanggung jawab pengadaan tidak berani melakukan tindakan penyalahgunaan kewenangan,” sebutnya.
Alasan kedua, lanjut Triono Hadi, jika ada pejabat yang tertangkap dalam kasus korupsi, itu hanya dianggap sebuah kesialan oleh pejabat lain.
“Yang kena tangkap di anggap apes. kondisi ini menunjukkan pula bahwa penegakan hukum dalam penindakan korupsi belum serius ditangani. Praktik-praktik seperti saling melindungi, menyuap penegak hukum adalah hal yang sangat potensial untuk terjadi,” jelasnya.
“Misalnya ada tindakan dari Aparat Penegak Hukum yang justru dianggap mengganggu, karena melakukan pemerasan kepada misalnya, belakangan kasus penyuapan kepala sekolah kan,” tegasnya.
Ketiga, kata Triono Hadi, FITRA menyorot sistem pengawasan intern yang dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah (APIP) yang dinilai belum berjalan maksimal.
Padahal, peran pengawas intern seharusnya menjadi alat utama dalam melakukan pencegahan terhadap tindakan korupsi.
“Namun faktanya kan, belum maksimal dalam melakukan aktivitasnya, hal itu juga disebabkan karena seluruhnya adalah ASN yang juga ditetapkan oleh kepala daerah,” sambungnya.
Riau Predikat 4 Kasus Korupsi Terbanyak
Seperti banyak diberitakan sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkapkan ada 24 dari 36 provinsi sudah terjaring kasus korupsi sepanjang tahun 2004 hingga 2020.
Sementara Riau menempati urutan keempat kasus korupsi tertinggi di Indonesia dengan 64 kasus. “Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah itu pernah terlibat korupsi, ini memprihatinkan bagi kita,” kata Firli.
Komisaris Jenderal Polisi itu menguraikan, posisi tertinggi ditempati oleh Jawa Barat dengan 101 kasus tindak pidana korupsi. Kemudian diikuti Jawa Timur 93 kasus, Sumatera Utara 73 kasus, Riau dan Kepulauan Riau 64 kasus, serta DKI Jakarta 61 kasus.
“Ada delapan provinsi yang tidak ada kasus korupsi, mudah-mudahan ini adalah pencegahannya berjalan karena sesungguhnya ada intervensi KPK terkait pencegahan korupsi,” ucap Firli. (bpc2)