PEKANBARU – Pengamat Kebijakan Anggaran Publik Triono Hadi mengapresiasi Gubernur Riau Abdul Wahid yang dinilai konsisten memperjuangkan hak-hak fiskal daerah dari pemerintah pusat.
Menurutnya, keberanian kepala daerah dalam memberikan masukan terhadap skema alokasi Transfer ke Daerah (TKD), khususnya Dana Bagi Hasil (DBH), patut diapresiasi sebagai bentuk kepedulian terhadap keadilan fiskal.
“Langkah Gubernur Riau menunjukkan komitmen untuk mengoptimalkan keuangan daerah. Tapi ini tidak cukup, perlu gerakan politik daerah yang lebih kuat agar distribusi keuangan antara pusat dan daerah menjadi lebih adil,” ujar Triono, Senin, 5 Mei 2025, kepada Bertuahpos.
Dia mengungkapkan bahwa alokasi anggaran pusat saat ini masih sangat timpang. Sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan untuk belanja pusat, sementara jatah transfer ke daerah sangat kecil. Berdasarkan Perpres APBN 2025 (sebelum penyesuaian), alokasi TKD masih di bawah 25% dari total anggaran nasional.
Lebih lanjut, Triono menyoroti bahwa skema pembagian dana transfer telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). UU ini merinci porsi pembagian secara nasional, namun ironisnya justru menyulitkan daerah-daerah penghasil untuk mendapat bagian yang proporsional.
“Contohnya pada DBH Migas. Proporsinya untuk daerah penghasil masih tetap 15,5%, yang kemudian harus dibagi lagi dengan daerah sekitar dan daerah pengelola. Ini tentu memangkas bagian provinsi penghasil,” jelas Triono. Ia menambahkan, kebijakan ini berlaku sejak dua dekade lalu dan belum pernah mendapatkan penolakan tegas dari daerah.
Hal yang sama juga terjadi pada DBH Sawit yang diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2023. Menurut Triono, regulasi ini tidak memberikan kepastian berapa jumlah dana yang dialokasikan untuk daerah. Angkanya sangat bergantung pada “kemampuan pusat”, yang maknanya bisa sangat fleksibel dan tidak menguntungkan daerah.
Untuk mengatasi masalah ini, Triono mendorong kepala daerah agar lebih serius dalam memperjuangkan keadilan fiskal. Salah satunya dengan mendorong pengurangan belanja pemerintah pusat dan menguatkan konsolidasi politik agar lebih banyak program kementerian dapat dijalankan langsung oleh daerah.
Ia juga menekankan pentingnya penguatan data di level daerah. Menurutnya, daerah selama ini tidak memiliki data tandingan yang kuat dalam menghitung potensi riil produksi migas dan sawit yang menjadi dasar pemberian DBH.
“Ini pekerjaan rumah penting. Jangan sampai ada daerah dengan produksi dan luas lahan sawit yang lebih kecil justru menerima alokasi DBH lebih besar. Tapi kita tidak bisa komplain karena tidak punya data pembanding,” ungkap Triono.
Terakhir, ia mengingatkan bahwa validitas data produksi migas juga harus menjadi fokus pemerintah daerah. Tanpa data yang jelas dan akurat, daerah penghasil akan terus berada di posisi lemah dalam setiap proses penetapan alokasi anggaran dari pusat.***