SKOTLANDIA, 11 MEI 2022
Alangkah sangat baik jika ingin mengetahui gambaran politik di dunia internasional, dengan melihat tindak tanduk negara-negara di dunia lewat kebijakan-kebijakan luar negeri yang mereka gagas. Sederhananya, kebijakan politik itu mereka buat semata-mata untuk mempertahankan influence di sisi lain.
Coba lihat bagaimana Amerika Serikat—dan negara-negara yang dianggap adidaya—baik secara ekonomi dan militer berinteraksi terhadap negara sekutunya. Amerika pascaperang dingin berhasil mengguritakan paham demokrasi barat ke seantero negeri [dalam kategorinya adalah third world countries/nations atau negara/bangsa dunia ketiga].
Terma negara dunia ketiga ini—selama saya belajar di Universitas Stirling—selalu dianggap sebagai kategori negara/bangsa yang backward. Itu salah. Tapi, dalam perspektif berbeda dengan melacak historisnya, pandangan itu mungkin benar. Terutama kalau dilihat dari bagaimana negara-negara barat dalam world view-nya memandang negara lain sebagai “terbelakang” via kekuatan sumber daya manusia, ekonomi dan bahkan militer.
Memang bukan hal bohong kalau masyarakat barat—secara historical—memiliki anggapan, bahwa manusia dengan kategori kulit berwarna itu sebagai orang terbelakang, the darkerst, the uncivilised. Fakta sejarah ini bisa dilihat bagaimana masyarakat Eropa [kulit putih] membawa, bahkan menjual orang-orang Afrika [kulit berwarna] sebagai budak di Amerika.
Perlakukan ini menunjukan ekpresi masyarakat Eropa terdahulu, mendegradasi manusia lain hanya karena faktor warna kulit, sebagai dampak dari penjajahan yang mereka lakukan. Jangan heran kalau hal tersebut masih terasa hingga kini. Lihatlah bagaimana sentimen rasial yang terbangun. Meski menjadi PR besar negara barat yang belum selesai, namun mereka menganggap ini yang paling beradab. Hingga bertahun-tahun lamanya orang Afrika Amerika, berjuang untuk sebuah kesetaraan.
Coba kita lihat lebih jauh, bagaimana negara-negara adidaya bersikap dalam membangun relasinya ke negara lain. Amerika, misalnya. Negara paling dikenal suka mengancam negara lain yang dianggap lemah, tapi “bandel”, negara yang tak bisa diatur hanya dengan “what to do“, ngara yang ogah untuk manut, anti dengan hegemoni barat, maka dalam sekejap akan dijatuhi sanksi, bahkan invasi.
Pretext yang bergema pastilah “kebebasan berdemokrasi” atau negara tersebut otoriter terhadap masyarakatnya. Dalam hal ini kita bisa belajar dari cara Amerika memperlakukan salah satu negara di Asia Tenggara, Laos, misalnya. Pada 1964-1973, Amerika Serikat meledakkan lebih dari 2 juta ton bom secara massal di sana, hanya atas satu alasan “komunisme”—kebetulan paham itu sama dengan USSR dan Vietnam kala itu.
Meski Laos tergolong negara netral, Amerika Serikat seolah tak ambil pusing. Laos pun luluh lantah sehingga begitu membekas pada masyarakatnya sampai kini. Jangan tanya bagaimana dampak lain, misalnya efek kimia, psikologi dan lain-lain. Parahnya lagi, promosi decommunization Amerika via pemerintahan proxy di Laos pada tahun-tahun kelam itu, tidak berdampak terhadap masyarakatnya. Toh, warga Laos hingga kini masih tetap memelihara paham komunis.
Anehnya kegagalan Amerika dalam meng-impose kehendak terhadap negara lain telah memberikan dampak luas terhadap manusia yang “dibunuh”, terutama masyarakat yang tidak memiliki peran apapun dalam konflik.
Invasi Amerika di tahun 1989-1990 terhadap salah satu negara kecil di Amerika Latin bernama Panama, adalah salah satu contoh yang lain. Presiden Manuel Noriega dianggap menjadi dalang terhadap drug trafficking dan melakukan pengekangan terhadap masyarakat terkait demokrasi, yang berujung pada penangkapan Manuel Noriega dan dimasukan kedalam tansi selama 40 tahun.
Meskipun Noriega tadinya merupakan pemimpin De facto Panama dan pernah menjadi ‘teman’ yang menguntungkan bagi Amerika—terutama G.W Bush—Amerika dengan operasi militer Just Cause-nya berhasil menggulingkan Presiden Panama dan menggantikannya dengan Guillermo Andara.
Pengambil-alihan kekuasaan yang dilakukan secara militer ini tentu tidak bisa diterima, sebagaimana yang pernah dinayatakan oleh PBB terkait kudeta militer Ang San Su Kyi di Myanmar.
Melakukan list terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang berdampak terhadap apa yang mereka sebut dengan third world countries itu, tentu saja sangat Panjang.
“Demokrasi” kebebasan yang digengungkan Amerika Serikat untuk melakukan invasi terhadap negara-negara lain yang pada kenyataannya gagal, bukan membantu agar negara dunia ketiga itu menganut demokrasi sebagai value yang dianggap menjanjikan itu, malah membelah dan/atau bahkan mengnhancurkan mereka.
Libya salah satu contohnya, setelah invasi Amerika dibawah kepemimpinan Obama di negara tersebut, Libya bukan malah menjadi lebih sejahtera sebagaimana ketika dipimpin oleh Muammar Qadafi, negara tersebut malah terbelah menjadi dua.
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Libya—untuk membebaskan masyarakatnya dari pemimpin yang diktator—malah memiskinkan warga Libya. Sebagai negara yang memiliki sumber daya minyak terbaik, Libya saat ini terbelah dua dalam konflik berkepanjangan.
Menjadi sangat pelik ketika melihat Amerika Serikat sebagai pusat demokrasi dan kebebasan dunia dalam intervensi politik luar negerinya, tapi malah mendukung Jendral Militer Haftar dari tentara Nasional Libya (LNA)—salah satu pemimpin dari dualisme kepemimpinan di Libya. Walau di saat yang sama, kubu lain yang terpilih secara demokrtis—Government General Accord (GNA) di bawah kepemimpinan Fayez Al- Sarraj—di back-up dan diinisiasi oleh PBB.
“Senjata” dari paham demokrasi yang menggaung, dibangga-banggakan Amerika Serikat, lagi-lagi membuahkan pertanyaan, apa yang diinginkan oleh negara ‘beradab’ nan adidaya itu?. Sampai kini tak ada konsep dan paradigma jelas untuk memahami keinginan barat. Yang tampak hanya setiap kebijakan internasional yang mereka lakukan, untuk pleasing dari apa yang mereka inginkan.
Dengan demikian, resolusi apapun yang dibuat dalam dunia yang anarki ini, sejatinya adalah “perang pengaruh”, siapa yang mengatur, apa dan siapa yang rela diatur.
Filusuf perancis, Michele Foucault pernah berujar, bahwa “…manusia sejatinya adalah subjek dari kekuatan dan kesadaran itu sendiri. Manusialah yang secara konstruktif dan sadar untuk mengetahui apakah kita yang diatur oleh kesadaran subjek yang lain. Atau, kitalah yang berjalan dengan kesadaran diri kita sendiri, sehingga tidak ada subjek lain yang dapat mempengaruhi kesadaran kita.”
Sebuah refleksi – apa hikmah yang harus diambil bagi masyarakat Indonesia?
Sebagai negara yang dalam fakta historisnya tidak luput dari tangan-tangan asing, Indonesia harus banyak berkaca pada momen-momen politik di beberapa negara [sebagaimana penjabatan di atas]. Indonesia harus mampu menjaga integritas politik dalam negeri dan seluruh kawasannya.
Kita pernah pernah merasakan dijajah asing, kita sudah merasakan rasanya merdeka, bahkan setelah kemerdekaan bangsa kita juga digegerkan dengan penyadapan negara asing terhadap kepala negara kita. Maka, kalau bicara soal kedaulatan bangsa, tentu hal tersebut tidak bisa diterima, dan jangan sampai terulang.
Dalam dunia yang anarki, percaya diri sendiri lebih dari apapun. Itu adalah esensi dari keberadaan sebuah negara, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang dianggap strategis—dalam kaitan luas wilayah serta kapasitas sumber daya manusia dan alamnya—Indonesia patut mengambil pelajaran dari gerak-gerik arah masa depan negara, dan dunia. Jika ingin Indonesia Gemilang.
Peta politik seharusnya tak lagi berfokus pada pertikaian kepentingan politik internal—apakah itu perpolitikkan yang membawa isu ras, agama dan perbedaan etnis-etnis yang ada di dalam negeri atau pertikaian politik untuk memecah kebhinekaan kita. Sebab belajar dari konflik internasional hari ini, perang ideologi, agama yang selama ini kita pahami menjadi dalang dari semua masalah, ternyata semua itu tidak benar. Hanya sebuah kibulan.
Rusia, Nato, Amerika adalah contoh nyata. Konflik di Timur Tengah dengan keberadaan Amerika di dalamnya, cukup jadi contoh bagi masyarakat Indonesia untuk memahami pertikaian dunia hari ini dan masa mendatang. Indonesia tentunya harus sadar dan eling. Sebagai masyarakat, cara pikir harus terbuka luas, pemerintah abaikan kepentingan pribadi dala bekerja sebab hakikat sebuah negara seutuhnya untuk rakyat, bukan untuk siapa-siapa, apalagi asing.
Tatkala salah melangkah, ada lebih dari 200 juta jiwa orang Indonesia yang turut menderita [dampak kemiskinan, ketidakpercayaan, ketidakpatuhan dan dampak-dampak sistemik lainnya].
Sudah waktunya kita melek, terrorisme yang didengungkan selama ini bukan esensi dari keberadaaan konflik internasional, melainkan hanya instrument alat untuk mengecoh rakyat. Dengan demikian pula dengan hilangnya rasa Pancasila, hilangnya rasa untuk meyakini nilai keesaan, serta hilangnya ke-Indonesia-an.
Sebab itu, jangan heran kalau propaganda aksi terrorisme yang terjadi di beberapa kawasan di Timur Tengah, hanyalah sebuah skema atau skenario internasional, untuk meyakinkan kalau mereka berpengaruh, dan masyarakat Indonesia yang ikut dalam kelompok terrorisme menjadi small fractures dan jadi pion baru untuk diorbankan demi sebuah paham, “yang sejatinya keliru.”
Indonesia dengannya, harus menjaga masyarakat dengan memberikan pengertian dan pengetahuan yang sejatinya harus firm dalam melihat kejadian-kejadian internasional, sebab apa yang terjadi di belahan dunia lain, pasti berdampak terhadap Indonesia [abaikan dulu seberapa besar atau kecil dampak itu]. Kebebasan informasi dan akses terhadap fakta-fakta historis yang didapat masyarakat saat ini haruslah dicerna secara dalam.
Assange, seorang pesakitan dan wartawan yang membokar konspirasi negara-negara barat terhadap apa yang mereka sebut dengan ‘masyarakat dunia ketiga’, sejatinya tidak luput dari bagaimana informasi yang tersuguh di media masa, mengecoh masyarakat dunia terkait fakta, dan realitas konflik di internasional.
Masyarakat harus jelas dalam mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesatuan bangsa Indonesia. Pemerintahan harus idealis bekerja bukan untuk dollar, yen atau euro, melainkan bekerja untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus bekerja untuk mengangkat derjat masyarakat dan bangsa ini, sebab bukan hanya kita dianggap sebagai masyarakat dunia ketiga yang dalam artian hakikinya adalah penghinaan terhadap masyarakat kulit berwarna, derogatory term tersebut masih saja menjadi pekerjaan rumah bangsa bangsa barat dalam memahami makna multikulturalisme.
Dalam pergolakan politik dunianya, Indonesia harus mementingkan bangsa, rakyat dan negaranya di atas kepentingan apapun. Ini demi kokoh-berdirinya Bumi Pertiwi, untuk Indonesia yang jaya, untuk sebuah bangsa yang hakikatnya “pemersatu”, punya kiblat sendiri yaitu kebenaran, yang mana kebenaran itulah kemenangan yang ingin dicapai.***
*Penulis adalah mahasiswa MSc International Conflict and Cooperation – University of Stirling, Scotland, United Kingdom.
- Seluruh materi dalam tulisan ini adalah tanggung jawab penulis.
- Redaksi menerima tulisan artikel lepas untuk dipublikasikan di website www.bertuahpos.com.