Harga jual gambir sejak beberapa tahun belakangan benar-benar membuat petani gambir “sesak nafas.” Dengan nilai jual di tingkat pedagang pengumpul yang tak pernah melewati angka Rp20.000 –yang tersering malah antara Rp15.000 sampai Rp16.000/kg—upah yang diperoleh oleh setiap pekerja di ladang gambir setiap hari kerja hanya Rp60.0000.
‘’Bisa apa dengan upah sebanyak itu,’’ keluhnya lagi. Boleh jadi tak membeli beras, karena untuk kebutuhan itu diperoleh dengan mengelola areal persawahan, tapi dengan uang sebesar Rp60.000 apa yang bisa dilakukan untuk menghidupi sebuah keluarga—apalagi keluarga yang sudah terlanjur terlilit utang seperti mengkredit ini dan itu?
‘’Sejak zaman Jokowi ini harga gambir tidak pernah naik,’’ tambah Bardi, sejurus kemudian. ‘’Katanya Jokowi pro-rakyat, apa buktinya?’’
Bardi jelas tak paham apa yang dimaksud dengan mekanisme pasar, suplay dan demand, dan lainnya. Bahwa, anjloknya harga yang mungkin tidak ada hubungan langsung dengan presiden. Yang ia tahu, selama sekian kali pergantian generasi, gambir merupakan komoditas andalan masyarakat di kampungnya, yang seketika bisa mengubah nasib seseorang dari melarat menjadi punya banyak harta.
Sejumlah rumah konstruksi permanen di perkampungan itu sebagian besar di antaranya dibangun dari hasil ladang gambir, berikut sejumlah perabotan mahal yang ada di dalamnya. Begitu pun kendaraan yang lalu-lalang saban waktu, baik roda dua atau empat, juga diperoleh dari hasil ladang gambir. Boleh jadi untuk waktu tertentu harga gambir kurang baik, tapi seketika bisa naik tiba-tiba tanpa diduga.
Tapi sejak Jokowi menjadi Presiden di negeri ini, ‘’Harga gambir membaik serasa hanya mimpi,’’ ungkap Bardi. Ia lalu menceritakan di zaman republik ini dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). ‘’Benar-benar kita merasakan kemerdekaan yang sebenarnya, setidaknya di bidang ekonomi.’’
Dikatakan Bardi, di zaman Presiden SBY gambir pernah mencapai puncak harga tertinggi sepanjang sejarah, mencapai Rp125.000/kg di tingkat pedagang pengumpul. Julukan sebagai “emas cokelat’ yang pernah dilekatkan ke gambir, di zaman SBY seperti bersua ruas dengan buku.
“Betapa mudahnya mencari uang ketika itu,” ia melanjutkan. Tiga hari saja bekerja di ladang gambir, kenangnya, setidaknya bisa membawa pulang uang bersih Rp2 juta. ‘’Kalikan saja kalau dalam satu bulan kita penuh bekerja di ladang gambir.’’
Tidak hanya pekerja, semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan gambir juga kecipratan “berkah”-nya, mulai pemilik ladang, pedagang, pengrajin pembuat perlengkapan produksi gambir, kuli angkut, sopir, pekerja di ladang gambir, dan lainnya.
Masa keemasan gambir di zaman Presiden SBY, membuat banyak masyarakat –terutama yang terlibat dalam produksi dan pemasaran gambir—menikmati lompatan ekonomi yang ruaaar biasa. Bangunan-bangunan rumah megah, kendaraan –baik roda dua maupun empat—dari berbagai jenis dan merek tidak sulit dibeli. Tidak hanya melalui cara kreditan, tidak sedikit pula di antaranya dengan cara cash.
Hampir tiap hari bus antarwilayah, yang mengantarkan penduduk dari sejumlah perkampungan ke ibukota kabupaten, tampak lalu-lalang membawa petani gambir dan keluarganya untuk shoping di ibukota kabupaten. Para istri petani gambir ke ibukota kabupaten tak sekadar membeli bahan kebutuhan pokok dan kebutuhan sekunder lainnya, tapi juga memperbanyak koleksi emasnya yang juga sudah banyak.
“Ibaratnya kita mencuci muka dengan air mineral,’’ begitu petani membayangkan kondisi kemakmuran yang dirasakan saat itu. Ketika sejumlah pekerjaan lain untuk klasifikasi kasar paling banter hanya menjanjikan upah Rp100.000/hari kerja, menjadi kuli di ladang gambir kala itu bisa mengantongi upah minimal Rp500.000/hari.
Kalau seorang pekerja kasar di rumah produksi gambir mampu meraup upah antara Rp10 juta sampai Rp15 juta/bulan, hasil yang lebih tinggi akan diperoeh pemilik ladang gambir –yang biasanya langsung menjadi pekerja di lading gambir miliknya–, yaitu antara Rp20 juta sampai Rp30 juta/bulan. Coba, siapa yang tak tertolong dengan penghasilan sebanyak itu?