BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Soal perlindungan dan pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA), memang menjadi isu seksi—terutama di masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bahtera Alam mentaja sebuah diskusi mengangkat tema: Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Komunitas Lokal di Riau, digelar di D’A Kopi, Jalan Bayan, Kampung Melayu Sukajadi Pekanbaru, Selasa, 23 Agustus 2022 itu. Diskusi ini berjalan santai, dihadiri sejumlah akademisi, mahasiswa dari Universitas Riau dan awak media.
Narasumber berbagi informasi untuk memberikan pencerahan dan pemahaman tentang kebijakan pemerintah terkait pengakuan MHA, dan bagaimana kebijakan yang telah dibuat telah menghasilkan dampak positif bagi masyarakat adat.
Dalam diskusi itu Hari Novar Aktivis atau penggiat Pendamping Masyarakat Adat dari Bahtera Alam mengungkapkan, pemerintahan Jokowi telah menerbitkan banyak regulasi untuk tujuan memudahkan masyarakat adat mendapatkan kembali hak-hak mereka.
“Sebenarnya pada kesepakatan UNDRIP 2017 (United Nations Declaration on Right of Indigenous Peoples), yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia, pada pasal 3 jelas menyatakan Masyarakat Adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri,” tuturnya. “Berdasarkan hak tersebut, mereka secara bebas mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.”
Dijelaskan pula—selain UNDRIP—Indonesia punya regulasi jelas mengenai hal ini. Seperti UUD 1945 dan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Permendagri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Kedua payung hukum ini sejatinya telah jadi dasar kuat untuk jaminan perlindungan hak-hak sosial, budaya, lingkungan dan keberlanjutan ekologis, serta menjadi satu kesatuan dalam politik hukum yang lebih memberi perlindungan HAM bagi masyarakat adat secara universal.
“Kami berharap para akademisi dan media yang terlibat dalam diskusi ini bisa saling bahu membahu dalam membantu perlindungan dan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Dia menambahkan, Pemprov Riau telah hadir dan mendukung masyarakat adat untuk mendapatkan kembali hak-haknya sebagaimana amanat undang-undang atau peraturan Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Hal itu dibuktikan dengan komitmen dan pengakuan Gubernur Riau terhadap MHA Suku Sakai Bathin Sebanga, Bengkalis melalui Perda Provinsi Riau Nomor 10 tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Perda Riau Nomor 24 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat.
Hari Novar juga menyebutkan bahwa saat ini pengajuan untuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat Suku Asli Anak Rawa di Kampung Penyengat Kabupaten Siak sudah didukung oleh Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2015 serta diperkuat melalui SK Bupati Siak 2020. “Hal ini menunjukan Pemerintah daerah sangat mendukung perlindungan dan penghormatan hak masyarakat adat,” tuturnya.
Namun demikian, meski Riau juga telah menerima Surat Keputusan (SK) pengakuan atas dua Hutan Adat di Kampar yang diserahkan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo dua tahun yang lalu, Pemerintah Provinsi Riau sendiri belum maksimal memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang tersebar di sejumlah kabupaten di Riau.
Pandangan ini disampaikan oleh Direktur Bahtera Alam Harry Oktavian dalam diskusi itu. Dia menyebut, perampasan hak-hak masyarakat adat masih tetap terjadi hingga kini, dan konflik atas tanah atau tenurial di Riau tergolong tertinggi di Indonesia. Ini lah yang menjadi dasar bahwa komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap MHA masih belum maksimal.
“Komitmen pemerintah masih belum maksimal, walaupun hari ini ada banyak peluang tapi kepeduliannya masih kurang. Di Pemda saja penamaannya masih disebut komunitas adat dan terpencil, kesannya tak enak malah memunculkan stigma,” ujarnya.
Diketahui saat ini telah ada 306 komunitas adat yang terdata di Provinsi Riau—Data LAM Riau & Bahtera Alam. Dengan keberadaan komunitas adat ini, tentu pemerintah tidak dapat bekerja sendiri, butuh berbagai pihak untuk turut ambil andil dalam membantu Masyarakat Adat memperoleh hak mereka seutuhnya.
“Selain itu, pemerintah juga perlu jemput bola kepada pihak-pihak yang potensial dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang telah ada,” kata Harry.***