BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Kemelut PP nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut masih saja berlangsung hingga saat ini. Karena peraturan ini dilatarbelakangi dengan banyaknya kepentingan dari kementerian, lembaga, dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat.
Bahkan hingga saat ini masih dinilai sebuah gamang untuk diterapkan. Sehingga kademisi melihat ada peluang pemerintah akan merevisi PP 71 tentang pengelolaan lahan gambut di Riau.
Salah satunya diungkapkan Dosen Agroekologi Universitas Riau Suondo yang menyebutkan peluang bagi pemerintah untuk merevisi PP ini terbuka lebar. Hal tersebut dilihat dari keterbukaan Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup (LHK) RI untuk meminta masukan dari asosiasi perkebunan dan perusahaan. Sebab untuk merevisi sebuah aturan memang ada baiknya mendengarkan pendapat semua kalangan.
“Yang kita tahu PP 71 ini lebih banyak mengarahkan kebijakan pada pelestarian. Kemungkinan ke depan kebijakan ini akan diseimbangkan. Bukan berarti dihapus. Karena dampaknya untuk tanaman juga tidak bagus,” ujarnya, akhir pekan lalu.
Menurutnya, penerapan peratuan ini memang tidak cocok diterapkan pada sektor perkebunan sawit dan HTI. Namun revisi tersebut juga harus mengacu pada peraturan sebelumnya. Bahwa ketinggian air di tanah gambut berada pada posisi 0,6 sampai 0,8 meter.
Dia menyakini masukan dari sejumlah asosiasi dan pengusaha akan menjadi bagian penting bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan.
“Lantaran karena peraturan ini kemudian pengusaha tidak beroperasional, hitung-hitung kerugiannyakan jelas tadi. Saya rasa pemerintah juga tidak mungkin mengorbankan ekonomi masyarak at yang bergantu di sektor ini,” kata Suondo.
Smentara itu Sekretaris Jendral Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI Adi Daryanto menanggapi bahwa pihaknya akan tetap menunggu masukan dari sejulah asosiasi dan pengusaha sawit di Riau. Masukan ini nantinya akan menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat untuk mengambil sikap, terutama soal desakan merevisi PP gambut tersebut.
Dia menjelaskan dari sektor ekonomi, bukan hanya 360 ribu tenaga kerja yang akan dipangkas. Potensi devisa sawit sebesar Rp 136 triliun, dan ekspor US dolar 6 milyar juga akan hilang. Dilemanya, jika PP nomor 71 ini tetap dipertahankan, maka sektor kehutanan akan juga berpotensi kehilangan investasi Rp 103 triliun, lapangan pekerjaan sebanyak 300 ribu orang dan negara akan kehilangan devisa Rp 5,6 milyar.
“Makanya saya bilang. Dalam hal ini pemerintah sebagai simpul gedosiasi, antara pengusaha dan masyarakat. Kita minta mereka mendiskusikan dulu. Baru nanti masukannya dikasih tahu ke kita. Dari Pemerintah akan dapat mempertimbangkan bagaimana langkah selanjutnya. Masukkannya kita rangkum dulu. Baik dari pengusaha, LSM dan masyarakat adat,” sambungnya.
Peraturan yang ditandatangani mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 September lalu ini memang cukup menimbulkan polemik. Sebagai kado selamat datang bagi pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla, banyak kepentingan dari kementerian, lembaga, dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat sehingga aturan yang mulai dibahas sejak 2006 itu baru selesai di tahun 2014. (melba)