BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Bank Indonesia (BI) melakukan sebuah kajian yang mengkolerasikan antara produksi migas dengan perekonomian Riau. Penurunan lifting sangat berdampak terhadap turunnya ekonomi daerah ini. Dan kondisi demikian sudah terlihat dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan.
Kepala Devisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi BI Kantor Perwakilan Riau, Irwan Mulawarman mengatakan sejak mulai beroperasi pada tahun 1952, migas menjadikan Riau sebagai salah satu backbone (tulang punggung) produksi minyak bumi nasonal. Sepanjang 2008 produksi minyak di Riau mencapai sekitar 143,8 juta barrel atau sekitar 42,3% produk minyak bumi nasional.
Namun seiring natural declining (penurunan secara alami) cadangan minyak bumi pada sumur-sumur di Riau, penurunan produksi minyak bumi terus terjadi. Sepanjang tahun 2018 produksi minyak bumi di Riau hanya mencapai 80,2 juta barrel, turun sekitar 44% dari pencapaian 2008, atau hanya sekitar 29,7% dari produksi minyak bumi nasional.
“Penurunan produksi minyak bumi di Riau tidak terjadi begitu saja tanpa ada intervensi. Sejumlah usaha telah dilakukan untuk tetap mempertahankan kinerja lifting minyak bumi Riau, diantara yang cukup dikenal melalui injeksi uap (steam flood) di lapangan Minas. Namun natural declining tetap tidak terelakkan,” ungkapnya.
Baca :Â Triwulan Pertama 2019 Ekonomi Riau Diprediski Tumbuh Positif, Ini Faktor Penyebabnya
Irwan menjelaskan, lifting yang terus menurun bukan tanpa konsekuensi. Riau harus menanggung sejumlah konsekuensi yang bermuara pada suatu kondisi. Yakni: meningkatnya risiko pertumbuhan ekonomi Riau dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Konsekuensi pertama, lifting migas yang terus menurun menyebabkan pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian di Riau, terutama sejak 2012, terkontraksi rata-rata 4,86% per tahun. Kontraksi di sektor ini kemudian mendorong turunnya sumbangsih sektor pertambangan dan penggalian di Riau dalam menyusun perekonomian daerah.
Sebagai gambaran, pada tahun 2010 sektor pertambangan dan penggalian di Riau menyumbang pertumbuhan ekonomi Riau sekitar 32,6%. Artinya ada sekitar 32,6% pendapatan masyarakat Riau (langsung dan tak langsung) dari sektor ini. Pada tahun 2018 sektor ini hanya memberikan sumbangsih hanya tinggal 19,1% saja.
Konsekuensi kedua, lifting migas yang terus menurun bersamaan dengan dinamika naik-turunnya harga minyak dunia mendorong pertumbuhan ekonomi Riau relatif rendah, terutama sejak 2012 lalu. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi Riau (2012-2018) hanya mencapai 2,35% per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah ini, pangsa volume ekonomi riil di Riau dalam menyusun ekonomi nasional juga terus menurun.Â
Gambarannya, pada tahun 2010 Riau menyumbang 5,7% volume ekonomi riil nasional. Tahun 2018 sumbangannya hanya tinggal sekitar 4,6%. “Ibarat pesawat terbang yang mempunyai beberapa mesin, mesin yang bernama “Riau” ini terus turun kinerjanya dalam memberikan daya angkat “peswat” nasional,” jelas Irwan Mulawarman.
Bahkan, lanjut dia, dalam perspektif yang lebih spasial, sejak 2016 Riau tak lagi menjadi provinsi dengan volume ekonomi riil terbedar di luar pulau Jawa. Dikarenakan sumbangannya dalam ekonomi nasional telah terlampaui oleh sumbangan ekonomi riil di Sumatera Utara. Dimana kontribusi provinsi tersebut terhadap ekonomi nasional pada 2010 sekitar 4,8%, meningkat menjadi 4,9% pada tahun 2018 dengan rata-rata pertumbuhan ekonominya 5,5% per tahun.
Konsekuensi ketiga, penurunan kinerja sektor pertambangan (migas) menyebabkan risiko pertumbuhan Riau dengan nasional menjadi membesar. Sejak 2012 selisih antara pertumbuhan Riau dengan nasional menunjukkan tren yang semakin melebar. Pada 2011, pertumbuhan ekonomi nasional 6,2% atau lebih tinggi 0,6% dibandingkan pertumbuhan Riau hanya 5,2 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Riau yang sekitar 2,3%.
Atas gambaran ini, upaya antisipasi dengan tidak bergantung pada migas, namun menedepankan sektor lain masih sangat terbuka lebar. Tapi sejauh ini belum dilakukan upaya maksimal. Misanya dengan mengangkat pariwisata sebagai sektor alternatif untuk mengatasi perekonomian daerah, namun tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai.Â
Kemudian mengedepankan sektor perkebunan kelapa sawit namun tidak ditopang dengan investasi pabrik hilirisasi. Termasuklah menangkal turunnya perekonomian daerah dengan mengangkat industri, jasa, dan perdagangan, namun tidak didukung dengan regulasi yang baik. Haruskan Provinsi Riau menjadi buram, hanya karena lifting migas kian curam? (bpc3)Â
Â