BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Sami Afriani Saputri, bocah berusia 8 tahun itu hanya terduduk lesu di sebuah kursi kayu di ruang kelas I C, Sekolah Dasar Negeri 91 Pekanbaru. Dia mengenakan seragam pramuka lusuh, dengan sepatu hitam sobek di bagian depannya. Menjelang jam sekolah usai. Dia sudah menggendong sebuah tas ransel warna hijau tua.
Ada yang aneh dari muka bocah yang biasa dipanggil Ami itu. Pelipis mata sebelah kanannya terlihat sedikit bengkak membiru. Dengan nada bicara polos dan tatapan kosong, Ia mengatakan bahwa bengkak di sekitaran bagian matanya itu karena dipukul ibunya.
“Kalau tak dapat duit banyak, dipukul,” katanya saat berbincang dengan bertuahpos.com, Kamis (31/03/2016).
Hampir setiap hari, usai pulang sekolah Ami melakoni pekerjaan sebagai pengemis di lampu merah di Pekanbaru. Usai makan siang di rumah, ibunya biasa mengantarkan Ami dan seorang kakak laki-lakinya bernama Nur Ahmad Brasa ke beberapa titik lampu merah di Pekanbaru. Misalnya saja di pertigaan lampu merah Jalan Sekolah Rumbai, perempatan Mall SKA, atau di pertigaan lampu merah di Pandau.
“Perginya habis pulang sekolah, ganti baju, makan siang, langsung diantar mamak. Di lampu merah, disuruh minta-minta. Abang dapat duit 100 ribu. Ami dapat duit cuma 60 ribu, kena pukul,” ujar Ami dengan polosnya.
Dia bercerita selalu pergi ketika usai pulang sekolah. Uang yang mereka bawa pulang harus banyak supaya tidak kena pukul. Tidak jarang Ami kadang pulang jam 01.00 WIB malam, berjalan kaki dari tempat dia mengemis ke rumahnya. Bahkan pulang selarut itu dari panam ke rumbai seorang diri.
“Tadi malam Ami di lampu merah Pandau. Pulangnya juga jam 01.00 malam jalan kaki,” tutur bocah 8 delapan tahun. Dia mengakui bahwa biasanya dia membawa uang sampai Rp 60 ribu sampai Rp 90 ribu ke rumah. Itu pun dia harus bersiap – siap menerima serangan sang ibu saat sampai di rumah.
Ami bersama keluarganya tinggal di Jalan Nelayan, Gang Tirtonadi, Rumbai. Dari pengakuan Ami, sang ibu tidak ada pekerjaan di rumah. Sementara ayah hanya bekerja serabutan mengumpulkan botol plastik (kara-kara).
Minimal, bocah yang masih duduk dibangku sekolah dasar itu harus membawa uang Rp 100 ribu untuk disetorkan kepada sang ibu. “Kalau bawa uang 100 ribu tidak kena pukul. Kalau kurang, kena pukul,” sambungnya.
Tindakan kekerasan seperti itu bukan sekali dua dia alami. Candra, salah seorang guru Ami di SD 91, Pekanbaru itu hampir setiap hari menaruh rasa iba kepada anak didiknya ini. Pernah suatu hari, Ami tertidur pulas di kelas.
“Sulit sekali dibangunkan. Sampai ngences. Kalau dibangun sebentar, terus tidur lagi,” ujarnya.
Ketika itu, Candra menyuruh Ami untuk pindah tidur ke ruang UKS sekolah. Sampai di sana, pada saat ingin berbaring, Ami mengeluh kesakitan. Candra melepas sepatunya dan melihat telapak kaki Ami melepuh.
“Saya tanya kenapa kaki kamu. Dia cerita kalau malanya dia pulang dari Panam ke Rumbai jalan kaki tanpa sendal atau alas kaki apapun. Iba saya melihatnya,” sambungnya.
Pihak sekolah sudah beberapa kali memanggil orang tua Ami untuk menghadap Kepala Sekolah. Dari pengakuan sang ibu, dia tidak pernah membawa Ami untuk meminta di lampu merah. Tapi kepada sekolah dia mengakui bahwa membawa Nur Ahmad Brasa untuk meminta-minta di lampu merah.
Pihak sekolah sudah melaporkan kasus ini ke pihak Dinas Sosial Kota Pekanbaru. Pemerintah pernah memberinya sejumlah bantuan agar Ami dan kakaknya tidak lagi pergi meminta-minta di lampu merah. Tapi tetap saja sampai saat ini tidak ada perubahan.
Selain itu, pihak sekolah selalu merekomkan nama Sami Afriani Saputri, dalam daftar beasiswa. Dan selalu keluar. Tapi tetap saja sampai saat ini tidak ada perubahan. Ami tetap disuruh ibunya meminta-minta di lampu merah.
“Kami tak tahu lagi harus mengadu kemana. Kami para guru di sini kasihan, anak sekecil itu disuru melakukan pekerjaan mengemis. Padahal ibunya masih kuat,” sambung Candra.
Guru Mata Pelajaran Olahraga itu juga bercerita. Bahwa suatu ketika, wali kelasnya melihat sepatu Ami yang sobek. Sambil bercerita kecil, wali kelasnya bilang, “Minta belikan sepatu sama ibu ya,” ujar Candra menirukan ungkapan wali kelasnya. Namun tetap saja sampai sekarang, sepatu yang Ami kenakan adalah sepatu lama, sobek di bagian depannya.
“Padahal uang bantuan beasiswa itukan untuk keperluan sekolah anaknya,” sambung Candra. Kini pihak sekolah sudah mengaku kesulitan untuk memberikan penjelasan kepada orang tua Ami. Tidak ada yang berubah sedikit pun dari bocah itu.
Ami sudah satu kali tidak naik kelas, karena aktifitas belajarnya terganggu. Di kelas, dia hanya bisa tertidur pulas tanpa memperdulikan mata pelajaran. Tidak sekali dua, Candra menjumpai Ami mengelu menahan bekas pukulan dibagian tubuhnya.
“Sampai sekarang dia masih sering tidur di kelas,” tambahnya.
Penulis: Melba