BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Masa depan pendidikan ilmu politik di Indonesia kini diuji ketika dua kekuatan politik berseteru dalam Pilpres 2019 (antara kubu Presiden Jokowi Ma’aruf dengan Prabowo Sandi), kini bersatu dalam kekuatan eksekutif. Prabowo menjabat Menhan, sementara baru-baru ini Sandiaga Uno dilantik Presiden Jokowi sebagai Menparekfraf.
“Mana simbol kekuatan oposisi lagi?”, kata Rocky Gerung dalam cuitan twitter-nya. Senada Rocky, Fadli Zon berucap”, Kini tidak ada lagi oposisi, lalu bagaimana dengan pendukung yang dikhianati?”, kata aktivis 98 ini dalam cuitannya.
“Menurut saya, masa depan pendidikan ilmu politik tidak ditentukan konflik-konflik atau kompromi antar aktor politik, tetapi lebih ditentukan keseriusan pengelola lembaga-lembaga pendidikan ilmu politik seperti FISIP dan IPDN, mengembangkan kajian-kajian fenomena politik, termasuk kecenderungan otoritarian realitas politik Indonesia akhir-akhir ini”, kata DR Hasanuddin, pakar politik lokal dan nasional Universitas Riau yang dihubungi via ponsel beberapa waktu lalu.
keputusan KPU pemenang pilpres
Menurut hemat dosen asal Bima NTB ini, keseriusan di sini bermakna mendorong komunitas akademik (dosen dan mahasiswa) meneliti dan mengadakan forum kajian yang membahas deskripsi dan eksplanasi kecenderungan rezim. Sehingga, masa depan pendidikan politik tetap terjaga. Korelasinya tentu terkait anggaran.
“Kondisi ini akan terlihat pada ketersediaan dana penelitian dan dana menyelenggarakan forum akademik seperti seminar, simposium, dan lain-lain”, aku dosen yang sekampung tokoh politik nasional Din Syamsuddin ini.
Sehingga, menurut Hasan dampaknya dalam realitas keseharian lembaga pendidikan ilmu politik senantiasa dipenuhi perbincangan akademik menggambarkan dan menjelaskan fenomena politik. Justru fenomena yang terjadi menjadi “gizi” bagi kajian ilmu politik itu sendiri.
Lalu apa gunanya lembaga pendidikan ilmu politik seperti FISIP dan STPDN, kalau pada akhirnya kita disuguhkan ilmu politik yang melahirkan dan membentuk “pemilihan umum hanya menjadi sandiwara politik saja” dan kondisi politik “yang carut marut ?
“Pemilihan umum yang hanya menjadi ajang sandiwara politik dan kondisi politik yang carut marut, tidak dilahirkan dan dibentuk oleh ilmu politik, tetapi dilahirkan dan dibentuk oleh para aktor politik. Di satu sisi konflik atau kontestasi seperti yang berlangsung pada pemilu dan kompromi politik pasca pemilihan umum, juga kondisi politik yang carut marut merupakan realitas politik”, tekannya.
“Disisi lain, Ilmu politik berada dalam posisi menggambarkan dan menjelaskan sistematis bagaimana dan mengapa serta apa akibat realitas politik. Contoh real pada konflik/kontestasi antara kubu Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf Amin pada pemilu 2019 dan kompromi politik sesudahnya”, yakin doktor ilmu politik yang hobi beternak ayam dan bebek ini.
Hasan meyakini kalau realitas politik yang dipengaruhi oleh para aktor yang terlibat di dalamnya, bukan oleh ilmu politik. Tugas ilmu politik justru menggambarkan dan menjelaskan konflik/kontestasi yang berlangsung antara kedua kubu pada saat pemilu dan kompromi sesudahnya. Contoh lain kata Hasan pada kecenderungan otoritarian rezim Jokowi menahan aktivis dan pembunuhan anggota FPI oleh polisi serta pembubaran ormas melalui perpu yang dipandang mengancam kebebasan rakyat.
“Kecenderungan otoritarian adalah konsep dalam ilmu politik, tetapi peristiwa terbentuknya kecenderungan otoritarian adalah hasil kerja rezim, bukan bentukan ilmu politik”, kata Hasan berusaha netral.
Rekrutmen Politik
Terkait perilaku tokoh politik, satu lagi pesan Hasan, kalau Ilmu politik tidak pada domain mengarahkan rekrutmen politik santun atau beretika. Tetapi lebih sebagai pemberi prasyarat terbentuknya mekanisme rekrutmen politik santun atau beretika. Begitu pula masalah mentalitas pejabat politik.
“Ilmu politik tidak pada posisi menyarankan jangan menunjuk pemimpin yg bodoh, tidak beretika, korupsi dan sebagainya, tetapi memberikan kerangka teoritik. Kalau menunjuk pemimpin politik bodoh, korup, tidak beretika maka akan berakibat carut marutnya kehidupan politik”, tambahnya. Lalu, dimana peran lembaga pendidikan ilmu politik membentuk etika politik ? “Saya berpandangan, perannya sama dengan komponen-komponen bangsa yang lain, sama-sama menguatkan moralitas bangsa”, simpulnya serhana. (bpc2)
Sumber: https://www.salisma.com/26463/masa-depan-pendidikan-ilmu-politik-indonesia-hadapi-masa-surammasa-sih