BERTUAHPOS.COM — Pengumuman lima program strategis Kementerian Kehutanan di akhir November menuai kritik dari WALHI. Lembaga lingkungan tersebut menilai program tersebut dirumuskan secara ambigu, penuh kontradiksi, dan cenderung menyederhanakan persoalan kompleks.
WALHI Riau juga menyoroti kurangnya komitmen pemerintah dalam melindungi hutan alam yang tersisa serta memastikan hak rakyat atas wilayah kelolanya di kawasan hutan. Digitalisasi Layanan: Transparansi, Akuntabilitas, Efektivitas, dan Efisiensi Tata merupakan program strategis pertama.
Sayangnya, dalam uraian tidak secara tegas menyebut aspek keterbukaan informasi publik dan partisipasi bermakna dalam proses pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan, hingga pelayanan masyarakat. Aspek ini sekedar membuka ruang penuh untuk kemudahan berbisnis korporasi dan peningkatan penerimaan negara.
Terkait program prioritas kedua, lagi-lagi Kementerian Kehutanan gagal memaknai dan menerjemahkan apa yang dimaksud dengan penguasaan berkeadilan. Penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan di kesampingkan dan perhutanan sosial digeser maknanya.
Penguasaan hutan yang berkeadilan malah dimaknai sebagai upaya Penyelesaian Kasus Sawit Ilegal di Kawasan Hutan, Penertiban/Pencabutan Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan, dan Audit & Pemberlakuan Sanksi PB-PSWA.
“Tidak ada yang berbeda program ini dari rezim sebelumnya. Artinya, presiden Prabowo tidak lebih berani dari presiden Jokowi untuk memimpin langsung penegakan hukum kepada perusahaan ilegal atau kegiatan merusak lainnya di kawasan hutan,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, dalam keterangan tertulisnya.
Sementara itu, terkait penertiban/pencabutan dan audit perizinan dalam kerangka aksi korektif juga tidak dijelaskan secara detail ke mana kebijakan ini diarahkan. Ada kekhawatiran apa yang pernah dilakukan pada pemerintah sebelumnya kembali diulang.
“Pencabutan izin dan penegakan hukum yang dilakukan tidak berkohesi langsung dengan upaya pemulihan lingkungan dan penyelesaian konflik agraria. Areal-areal kerja korporasi yang dicabut pada pemerintah sebelumnya malah mayoritasnya sekedar bertukar tuan,” tuturnya.
Pemutihan sawit dalam kawasan hutan adalah bukti nyata bagaimana negara tunduk pada kepentingan korporasi. Gelapnya proses pemutihan, pada akhirnya berakhir pada tindakan korupsi. Tentunya tidak lupa dari ingatan publik dua bulan lalu, kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan digeledah oleh Kejaksaan Agung terkait indikasi korupsi tata kelola sawit dalam kawasan hutan.
Even Sembiring, Direktur Eksekutif WALHI Riau menyebut sekitar 778.521,44 ha atau 79,54% dari total luasan perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan yang sedang diproses penyelesaiannya saat ini merupakan milik korporasi.
Fakta ini menunjukkan penyelesaian sawit di kawasan hutan yang digenjot pemerintah sesungguhnya merupakan kebijakan yang menguntungkan korporasi. Seharusnya sebelum memberikan insentif atas kebijakan tersebut, Menteri Kehutanan harus terlebih dahulu melakukan beberapa evaluasi proses ini.
“Pertama, terkait ketiadaan safeguard penyelesaian konflik, riwayat karhutla, dan aspek pencemaran berikut perusakan hutan lainnya. Penyelesaian sawit ilegal di kawasan hutan harus terlebih dahulu menyasar hal-hal tersebut,” katanya.
Hasil temuan dan analisis spasial WALHI Riau pada tiga kabupaten/kota di Provinsi Riau menunjukkan ±828,1 ha kawasan hutan telah dialih fungsikan untuk perkebunan kelapa sawit pasca UUCK. Angka ini berpotensi lebih besar mengingat angka alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan sepanjang 2020 hingga 2022 seluas ±49,1 ribu ha dan aktivitas ilegal ini terus berlanjut hingga sekarang.
“Janji untuk menindak tegas korporasi dan pelaku usaha besar yang terus melakukan aktivitas ilegal di kawasan hutan pasca UU CK tidak terbukti. Di awal masa jabatan ini, WALHI Riau menantang Menteri Kehutanan untuk melakukan penegakan hukum pidana secara tegas terhadap aktivitas-aktivitas perkebunan ilegal skala besar di kawasan hutan Riau,” tambah Even.
Maikel Peuki, Direktur Eksekutif WALHI Papua menyoroti turunan food estate program prioritas hutan sebagai sumber swasembada pangan. Dalam turunan tersebut dimuat food estate besar selual 1,6 juta hektar di Kabupaten Merauke.
“Rencana ini kontradiktif dengan apa yang kami Orang Asli Papua perjuangkan. Berjuang untuk daulat penuh atas tanah dan hutan adat. Rencana food estate ini jelas bentuk keangkuhan Jakarta. Dimana kami Orang Asli Papua seharusnya difasilitasi untuk memperoleh legalitas atas tanah, hutan, dan entitas sebagai masyarakat adat, malah dihadapkan dengan proyek besar yang akan menghancurkan hutan kami. Hutan yang menyediakan sumber pangan dan kebutuhan lain. Food estate jelas akan menghancurkan identitas adat hingga ketersediaan pangan lokal kami,” sebut Maikel.
Proyek food estate ini akan terintegrasi dengan PSN Merauke seluas lebih dari 2 juta hektare pada Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP). Kawasan ini tersebar di 13 distrik, seluruhnya berada di wilayah adat masyarakat adat Marind, Maklew, Khimaima, dan Yei.
Diperkirakan lebih dari 50 ribu penduduk asli yang berdiam di 40 kampung sekitar dan dalam lokasi proyek akan mengalami dampak buruk akibat PSN Merauke. Selain beberapa kementerian/lembaga yang akan mengimplementasikan rentetan proyek ini, tercatat terdapat beberapa nama pengusaha besar beserta perusahaannya.
Beberapa nama teresebut, seperti Martias Fangiono dan anaknya (First Resources Group dan FAP Fangiono Agro Plantation (FAP) Agri Group), Martua Sitorus (KPN Corp. Group), Haji Andi Syamsuddin Arsyad (Jhonlin Group).
“Proyek ini jelas akan menguntungkan pebisnis besar, Orang Asil Papua dan masyarakat adat yang telah lama menjaga hutan dan tanah tersebut akan jadi korban. Proses-proses ini hanya akan melanggengkan praktik perampasan harta kekayaan dan masa depan orang Papua. Menambah jejak pelanggaran HAM di tanah kami”, tambah Maikel.
Selain di Papua, food estate dalam kerangka program prioritas Kementerian Kehutanan akan tersebar di wilayah lain. Food Estate Sedang akan dilangsungkan di Kalimantan Tengah, Lampung, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, masing-masing +100.000 ha. Food Estate Kecil akan tersebar di beberapa provinsi lain dengan luas masing-masing 10.000-20.000 ha.
“Masifnya rencana pengembangan food estate ini jelas akan menjadi ancaman tersendiri bagi kelangsungan hutan dan kawasan hutan Indonesia,” tutur Uli.
WALHI juga mencatat beberapa kritik terhadap program prioritas lain. Seperti ambisi rehabilitasi lahan kritis seluas 12,7 juta hektar yang terdiri dari 7,4 juta hektar dalam kawasan hutan dan 5,3 juta. Kritik tersebut terkait di mana lokasi rehabilitasi.
Pertanyaan ini menjadi penting karena pada program prioritas lainnya ada lokasi yang disebut secara langsung. Selanjutnya, Kementerian Kehutanan juga sebaiknya harus lebih dahulu transparan menyampaikan kepada publik perkembangan dan capaian rehabilitasi hutan pada tahun-tahun sebelumnya.
“Guna memastikan rehabilitasi berjalan lebih maksimal. Terakhir, niat komoditifikasi dalam upaya rehabilitasi dikhawatirkan sekedar mengejar insentif ekonomi, tapi abai pada hakikat semangat pemulihan lingkungan,” katanya.***