Hamparan sekitar 10 ribu keping fotovoltaik (PV Module) atau panel surya, seolah menyambut siapapun yang datang ke area Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) WK Rokan Duri Gate 1-1, Kabupaten Bengkalis, Riau. Saya dan beberapa jurnalis, mengunjunginya pada Kamis, 24 Oktober 2024. Panel surya ini terpasang dengan model ground mounted—berupa tonggak-tonggak kecil sebagai penopang—di atas lahan miring agak berbukit.
Hari menjelang siang saat saya tiba di kawasan ini. Kebetulan, cuaca sedang terik-teriknya. Papan panel itu berkali-kali memantulkan silau cahaya matahari, membuat saya harus menyipitkan mata, dan mengernyitkan dahi. Bikin pusing. Tapi, ini cuaca yang bagus untuk memanen listrik dari panel surya itu.
Pembangkit listrik ramah lingkungan ini diberi nama PLTS WK Rokan. Dibangun di tiga area utama; yakni di area Duri dengan luas 17,2 hektare berkapasitas 18,3 MWp, area Rumbai seluas 8 hektare berkapasitas 5,51 MWp dan area Dumai, di atas lahan seluas 2,2 hektare berkapasitas 1,99 MWp.
Di Gate 1-1 ini, hanya satu dari lima titik PLTS area Duri. Kapasitasnya 4,28 MWp, terdiri dari 17 pcs inverter 200 kVA dan 10.980 keping fotovoltaik. Lalu, di Gate 1-2 kapasitasnya sebesar 4,70 MWp dengan 15 pcs inverter dan 9.480 pcs papan panel.
Sisanya, ada di titik Sinabung. Kapasitasnya 3,96 MWp dengan 10.140 pcs papan panel. Kemudian di Singgalang 1 berkapasitas 3,16 MWp dan 8.100 pcs papan panel, serta di Singgalang 2, berkapasitas 2,20 MWp dengan 5.640 pcs papan panel.
Tak cuma itu, PLTS WK Rokan juga dibangun di Dumai berkapasitas 1,99 MWp dengan 5.100 pcs papan panel di atas lahan seluas 2,2 hektare.
Sedangkan di area Rumbai, Pekanbaru, PLTS itu dibangun di atas lahan seluas 8 hektare, di dua titik. Yakni PLTS Rumbai Groundmonted berkapasitas 4,81 MWp. Jumlah papan panelnya juga lebih banyak, 14.700 pcs dengan 23 inverter.
Lalu, PLTS Rumbai Rooftop berkapasitas 0,70 MWp sebanyak 1.885 pcs papan panel. Jika yang lain dipasang dengan model ground-mounted, di sini, panel surya dipasang di atap bangunan (camp) PHR, memanfaatkan keterbatasan ruang yang tersedia.
“Dari 25,7 MWp itu sekitar 26 MWp atau 99,06% energi listriknya disuplai dari PLTS model ground-mounted. Sisanya dari rooftop di Camp Rumbai. Semuanya sudah dioperasikan,” kata Team Manager Power System Operations, Ivran Amriadi.
PLTS ini dibangun oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) WK Rokan, berkolaborasi dengan PT Pertamina Power Indonesia (PPI). Sementara yang mengelolanya adalah Pertamina New & Renewable Energy. Total ada 60 ribu keping papan panel. Luas areanya 28 hektar. Adapun kapasitas terpasang 25,7 MWp. Sudah beroperasi sejak 2023 lalu.
Kata Ivran, seluruh energi listrik dari PLTS ini dilarikan ke pusat sistem kelistrikan perusahaan. Lalu, didistribusikan untuk seluruh kegiatan operasional PHR WK Rokan.
Sejak dioperasikan per 3 Juli 2023 hingga 22 Oktober 2024, PLTS ini sudah membangkitkan sebesar 39.670 MWh. Per 24 Oktober 2024, dari informasi tertera pada papan display realtime di Duri Area ini, menunjukkan angka yang lebih besar, yakni 44.653,437 KWp.
Untuk mendukung seluruh kegiatan operasional PHR, butuh daya sekitar 430 MW. Adapun PLTS, berkontribusi sebesar 25,7 MWp atau sekitar 7%. Walau masih kecil, penghematan dari sisi biaya cukup signifikan, sekitar Rp8,4 miliar per tahun.
“Kalau kita hitung-hitung, kapasitas dari PLTS ini cukup menyuplai kebutuhan listrik untuk 1.300 rumah dengan 1.200 KWh,” ujar Ivran.
Ke depan, memang ada rencana untuk memperbesar porsi dan kapasitasnya. Tapi masih dalam studi. Bisa dengan menambah jumlah PV Module-nya, atau mengoptimalkan daya tangkap radiasi panasnya.
“Selain PLTS, juga sangat mungkin menyasar ke sumber energi ramah lingkungan lainnya,” katanya.
Gas Turbin vs PLTS = Nol CO2
Sebelum ada PLTS ini, PHR WK Rokan memiliki 19 unit Gas Turbin di tiga area, yakni; di Duri berkapasitas 50 MW, North Duri (kini dioperasikan PLN) 300 MW, dan Minas dengan kapasitas 140 MW.
Sebenarnya, dari Gas Turbin ini saja sudah cukup memenuhi seluruh kebutuhan listrik untuk operasional perusahaan “Tapi, tentu saja tidak efisien jika dikonversikan dengan PLTS,” ujar Ivran.
Misalnya, dari komponen biaya untuk memproduksi energi listrik. Dengan adanya PLTS, dananya jadi lebih sedikit. Dari 19, kini hanya 17 Gas Turbin yang beroperasi.
Selain soal biaya, potensi penurunan emisi karbon juga menarik. Dari 17 Gas Turbin, ditaksir melepas sebesar 408 ribu ton CO2 Eq. Jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil (BBM dan batu bara), Gas Turbin lebih sedikit melepas CO2. Tapi, menjadi lebih efisien jika dibandingkan dengan PLTS. “Bahkan nol,” kata Ivran. Walaupun, PLTS itu baru mampu meng-cover dua Gas Turbin.
PHR WK Rokan sudah menghitung potensi penurunan emisi karbon dengan hadirnya PLTS ini. Angkanya sebesar 28,444 ton CO2 Eq per tahun. Setara 5.200 emisi yang dilepas oleh mobil, sama dengan menanam 3,2 juta pohon. Sedangkan angka yang saya lihat di papan display realtime, per 24 Oktober 2024, lebih besar. Mencapai 45,866 ton CO2 Eq.
“Jika tak ada PLTS, kami perlu menambah dua gas turbin untuk menambah kebutuhan listrik,” tambahnya.
Menurut Ivran, PLTS boleh dikatakan low maintenance. Daya tahan papan panel surya ini, unlimited. Asal dirawat, fotovoltaik tetap berfungsi dengan baik. Paling cuma dilap, untuk memastikan tak ada benda menghambat penyerapan energi.
Keunggulan lain, PLTS relatif lebih aman jika dibandingkan dengan Gas Turbin. Karena tak ada bagian yang bergerak, dan berpotensi menimbulkan risiko. “Selagi kita tahu mana bagian yang boleh dan tak boleh disentuh, pastinya sangat aman,” ujarnya.
Komitmen Transisi, Bauran Energi dan NZE, Apa yang Dilakukan PHR?
PLTS ini seperti mempertegas, bahwa sektor industri—khususnya Migas di Tanah Air—cukup serius dengan komitmen transisi dan bauran energi, serta menekan emisi karbon.
Bukan sebatas “niat” atau cuma “Pansos” lewat isu-isu trending. Tapi, ingin terlibat langsung. Bahkan PHR, ingin menjadi bagian dari itu.
Dalam Paris Agreement—perjanjian internasional yang mengikat secara hukum untuk mengatasi perubahan iklim—semua sudah sepakat bahwa masalah perubahan iklim harus ditangani serius dan melibatkan berbagai pihak.
Target angkanya cukup besar, yakni 23% transisi dan bauran energi dari energi baru terbarukan pada tahun depan (2025). 29% target Nett-zero Emission (NZE) pada 2060, dan 41% di tahun 2030.
Jika ditelisik ke belakang, komitmen ini tidak dimulai dengan membangun PLTS WK Rokan. Tapi, jauh sebelum itu. Berbagai program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) mereka sudah mengarah pada semangat NZE.
Misalnya di tahun 2022, PHR luncurkan program Desa Energi Berdikari (DEB) berbasis biogas di Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau.
Setahun berjalan program ini efektif dalam hal menyadarkan masyarakat untuk pindah dari gas konvensional, ke biogas dari limbah kotoran sapi. Sedangkan limbah dari biogasnya, bioslurry, memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai bahan baku pupuk organik.
“DEB itu kini menjadi DEB terbesar dari 28 DEB berbasis biogas se-Indonesia dengan total kapasitas reaktor mencapai 165 meter kubik,” kata Manager (CSR) PHR WK Rokan, Pinto Budi Bowo Laksono.
Tak cuma itu, program ini telah mencatatkan potensi reduksi emisi karbon hingga 56,8 ton CO2 Eq per tahun. 319,38 ton limbah organik terkelola dengan baik sepanjang tahun 2023.
Kata Pinto, program DEB ini berangkat dari hajat untuk mengurangi emisi karbon, percepatan transisi energi masyarakat, dan mendukung target pemerintah dari sisi NZE tahun 2060.
Contoh lainnya, adalah Edu Ekowisata Bandar Bakau Dumai, di Kota Dumai, Riau. PHR terlibat langsung menyediakan fasilitas infrastruktur di hutan mangrove seluas 24 hektare itu.
PHR menggandeng Rimba Satwa Foundation (RSF) dalam pengelolaannya. Dampaknya, tempat ini jadi pusat edukasi ekosistem pesisir, jumlah kunjungan meningkat, ekonomi masyarakat sekitar pun menggeliat.
Bahkan, hutan mangrove itu telah menarik perhatian wisatawan dan ilmuwan mancanegara untuk berbagai kepentingan. Menurut Ketua Tim RSF, Git Fernando, Bandar Bakau Dumai cukup unik, terutama kontribusinya terhadap penyerapan emisi karbon.
Dari 24 hektare luas hutan mangrove ini, perkiraan efektivitas penyerapan karbonnya mencapai 1,2 ton CO2 Eq per tahun. “Hampir empat kali lebih cepat dan lebih banyak dalam menyerap emisi karbon, jika dibandingkan dengan hutan tropis pada umumnya,” katanya.
Selain itu, PHR dan RSF juga mengembangkan program agroforestri. Lokasinya di jalur perlintasan Gajah Sumatra, lanskap koridor Balai Raja, Giam Siak Kecil, Riau.
Agroforestri hadir untuk meminimalisir konflik antara gajah dan manusia. Lahan perkebunan masyarakat di home-range dan perlintasan gajah, ditanam tumbuhan-tumbuhan yang tak disukai hewan bertubuh tambun itu.
Kata Git Fernando, luasnya sekitar 225 hektar. Potensi reduksi emisi karbonnya mencapai 1,25 ton CO2 Eq per tahunnya.
Di Pekanbaru, ada dua universitas yang dilibatkan dalam pengembangan Ekoriparian dan Taman Kehati Universitas Riau (Umri) dan Universitas Lancang Kuning (Unilak).
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), keduanya dibangun berkat kolaborasi dengan dunia usaha, yakni PHR WK Rokan.
Ekoriparian ini dapat mengolah air limbah dengan kapasitas 13.200 jiwa dan dapat menurunkan beban pencemaran sebesar 16,35 ton BOD per tahun, atau setara dengan emisi rumah kaca sekitar 206,04 CO2 Eq per tahun.
Selain itu, di kawasan operasional perusahaan PHR memiliki hutan seluas 420 hektar. Namanya Hutan Rumbai. Dirawat. Bahkan dikontrol setiap hari. Pohon-pohonnya tinggi menjulang. Flora dan faunanya beragam.
Field Manager FM MTCE Coordinator PHR, Erwan, mengatakan bahwa sudah teridentifikasi sebanyak 360 jenis pohon di hutan ini, dan ada empat di antaranya jenis pohon langka. Yakni; Saninten (Castanopsis argentea), Kulim (Scorodocarpus borneensis), Jelutung (Dyera costulata) dan Gaharu (Aquilaria malaccensis).
Belum lagi kalau bicara ratusan bank sampah yang dikelola secara kolaboratif, dan berbagai program TJSL lainnya, yang sengaja didesain agar tetap berkontribusi terhadap iklim positif.
Potensi Energi Surya, Semangat ESG dan Upaya Dekarbonisasi
Hampir di sepanjang Oktober ini, cuaca di Riau, khususnya di Kota Pekanbaru, terbilang lebih terik dari biasanya. Menurut analisa BMKG Stasiun Pekanbaru, rata-rata suhu udara berkisar di 32-34 derajat celcius. Penyebabnya karena pengaruh Siklon Tropis “Trami” di Filipina.
Di balik panas yang menyengat itu, Riau menjadi satu dari sekian daerah di Indonesia, yang menyimpan potensi energi surya melimpah. Menurut data dari Dewan Energi Nasional (DEN)—dalam Outlook Energi Indonesia 2022—potensi energi terbarukan di Bumi Lancang Kuning mencapai 3.643 GW.
Data lain yang dikeluarkan Kementerian ESDM (dipublikasikan oleh Renewable Energy Service Company) menyatakan per 2024, Riau menduduki peringkat pertama sebagai daerah dengan sumber energi matahari paling potensial. Angkanya mencapai 290 ribu MW. Mengalahkan Sumatera Selatan dan NTT.
Hal ini karena potensi penyinaran matahari di Riau sangat optimal, khususnya di Kota Pekanbaru. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekanbaru, menyatakan rata-rata penyinaran matahari sekitar 633 jam sepanjang tahun 2023. Adapun bulan puncak penyinaran terlama terjadi pada Juni, yakni 68 jam; lalu Mei, 65 jam; Juli dan September, masing-masing 62 jam.
Corporate Secretary PHR, Rudi Ariffianto, dalam berbagai kesempatan menegaskan, PHR telah melakukan upaya untuk mendukung pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim.
Menurutnya, PHR sadar betul bahwa industri Migas dihadapkan dengan berbagai tantangan. Terutama soal emisi karbon yang terus meningkat, walau bertahap. Oleh sebab itu, perlu upaya mitigasi yang serius, bersamaan dengan upaya mengejar target produksi Migas nasional (1 juta barel pada 2030).
“Komitmen itu sudah tertuang dalam HES Policy untuk menerapkan Environmental, Social dan Governance (ESG). Khususnya indikator yang berkaitan dengan penurunan emisi karbon,” kata Rudi.
Adapun upaya lainnya, PHR memanfaatkan associated gas untuk kebutuhan gas kompresor dan gas turbin, sehingga dapat mengurangi volume flaring (bakar suar). Potensinya mencapai 200.000 ton CO2 Eq dengan volume sekitar 5 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day).
Sementara itu, hadirnya PLTS WK Rokan sejalan dengan komitmen PT Pertamina (Persero), untuk menjadi perusahaan energi kelas dunia yang ramah lingkungan.
Rudi menyebut, dengan memanen energi surya, PHR menjadi salah satu kontributor dalam meningkatkan rating ESG Pertamina Group—yang mendapat peringkat 1 dunia dalam sub industri migas terintegrasi. PLTS ini merupakan bagian dari upaya dekarbonisasi di Pertamina Group.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM sudah punya roadmap pemanfaatan energi surya. Target PLTS terpasang di tahun 2025 sebesar 0,87 GW atau sekitar 50 MWp per tahun. Hal ini menjadi gambaran potensi besar dalam pengembangan energi surya di masa depan.
Targetkan Sumber Energi Terkoneksi
Setelah melihat PLTS WK Rokan Duri Gate 1-1, kami bergerak melihat sebuah ruangan tak begitu besar. Ini adalah ruang Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA).
Di dalamnya ada layar selebar dinding, memanjang. Terkoneksi dengan beberapa unit komputer di atas meja melengkung, persisi berhadapan dengan layar itu. Beberapa petugas berseragam putih di ruangan ini, tampak serius memperhatikan monitor.
Rangkaian rumit aliran listrik terlihat jelas di layar besar itu. Lengkap dengan informasi angka-angka hingga satuannya. Bentuknya seperti garis dan kotak warna warni. Tak mudah menerka maksud dari simbol-simbol itu. Masing-masing warna punya penjelasan sendiri.
Misal, kotak yang tak ada warnanya, berarti aliran listriknya mati. Kotak dan garis warna ungu, berarti tegangan tinggi. Kalau ada kotaknya kedap-kedip, berarti sedang ada masalah. Lebih kurang seperti itu penjelasan dari Manager PGT Operation, Wiranto.
Dari sini, listrik didistribusikan ke seluruh fasilitas operasional perusahaan. Dia menunjuk angka 430 MWp. Itulah total daya listrik yang ada saat itu. “Termasuk listrik dari PLTS, semua masuknya ke sini,” katanya.
Sistem kelistrikan ini dikontrol dalam dua shift. Siang dan malam. Jika ada masalah, bisa langsung terpantau. Jadi, dapat langsung diambil tindakan. Tapi, untuk membereskan masalahnya, tetap harus ada tim turun ke lapangan.
Penyebab utama gangguan kelistrikan di PHR, biasanya karena gangguan alam. “Kami tetap sisakan 10% daya untuk jaga-jaga (darurat),” ujarnya.
Wiranto juga bicara soal semangat mengurangi emisi karbon dengan hadirnya PLTS WK Rokan. Ini sudah menjadi komitmen perusahaan untuk memanfaatkan energi ramah lingkungan. Walau skalanya masih kecil.
Sejauh ini, memang ada keterbatasan bagi PHR. Namun ke depannya, akan ada sistem internal tambahan untuk mendukung daya.
Targetnya tak muluk-muluk. Sumber kelistrikan PHR bisa lewat pola interkoneksi dengan sumber kelistrikan milik PT PLN (Persero), baik itu PLTA, PLTS, dan lain-lainnya.
“Arahnya ke sana. Kami sedang menjajaki kerja sama itu. Targetnya di tahun 2025 atau 2026. Kalau pindah sepenuhnya ke energi ramah lingkungan, dalam waktu dekat, pastinya belum bisa,” katanya.***