BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Penggiat lingkungan Bahtera Alam memandang perlu tercapainya pemahaman sama dari berbagai pihak tentang hak tenurial. Dengan begitu hak atas tanah, dalam hal mengakses, hak pakai untuk mengelola, eksekusi dan mengalihkannya, dapat dimengerti secara efektif.
Hal ini menjadi topik yang dibahas dalam diskusi bertajuk: Hak Tenurial, Masyarakat Hukum Adat pada Kawasan Hutan Tanaman Industri di Riau, pada Rabu, 6 Desember 2023 di Hotel Angkasa Garden, Jalan Setia Budi, Pekanbaru.
Sejumlah perwakilan dari masyarakat adat di Riau hadir dan ikut dalam diskusi ini, yakni perwakilan dari Suku Akit, Sakai Bathin Sobanga, Suku Asli Anak Rawa dan Suku Sakai Mandiangin di Siak. Dari NGO, ada FKKM Riau dan Kabut Riau, kemudian KPH Minas Tahura, KPH Bagansiapiapi, DLHK Provinsi Riau dan APP Group yang mewakili korporasi.
“Kami menyadari bahwa belum banyak masyarakat adat kita yang tahu dan mengerti tentang pembagian kewenangan negara terhadap kawasan hutan,” kata Direktur Bahtera Alam, Hari Octavian.
Sebelum ini, Bahtera Alam sempat melakukan kunjungan ke Kampung Adat Mandiangin, yang dihuni oleh masyarakat Suku Sakai (Kabupaten Siak) dan Kebatinan Sakai Sebanga (kelompok Bathin Solapan)—satu dari 13 kelompok masyarakat Sakai di Riau—untuk melihat bagaimana pemahaman mereka tentang hak tenurial.
Pada prinsipnya, hak ini juga diatur dalam regulasi dan dibebankan dalam perizinan, sehingga dalam pengaplikasiannya, kata Hari, “Menjadi salah satu pemicu konflik.”
“Konflik yang selama ini ‘mungkin’ hanya didinginkan, tapi tidak diselesaikan. Sehingga berpotensi mencuat kembali dengan adanya gesekan atas kepentingan tersebut. Apalagi di Riau ini ada 2 perusahaan pulp yang menguasai hampir 2 juta lahan dan sangat mungkin bersinggungan dengan hutan adat masyarakat,” jelasnya.
Hari menyebut, Bahtera Alam pada dasarnya ingin menghadirkan masyarakat adat yang bermartabat sehingga mereka tetap diperhitungkan keberadaannya, dalam setiap keputusan pemerintah. “Kami berharap dengan diskusi ini, biar kita punya persepsi yang sama,” tuturnya.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 660 letusan konflik agraria di Indonesia dari 2020 hingga 2023. Terperinci, 241 konflik terjadi pada 2020, 207 pada 2021, dan 212 pada 2022.
Di Riau, Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) melaporkan puluhan sengketa tenurial, dengan 80 lokasi yang mendesak penyelesaian menurut Pemerintah Provinsi Riau dan LAMR.
Sengketa ini, kata Hari, umumnya terkait izin perkebunan dan hutan tanaman industri, berdampak negatif terhadap lingkungan, ekonomi, dan hak asasi manusia.
Adapun 2 perusahaan HTI yang besar di Riau menguasai luas tanah, mencapai sekitar 338.536 Ha dan sekitar 296.373,94 Ha. Dampaknya melibatkan hilangnya akses masyarakat adat terhadap sumber daya vital, merusak tradisi, dan mengurangi ruang hidup.
Sengketa tenurial antara masyarakat adat dan perusahaan HTI telah mencatatkan konflik berkepanjangan. Oleh sebab itu, pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat adat dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan harus diakui oleh pemerintah, masyarakat adat, dan perusahaan.
“Dialog bersama merupakan langkah kunci untuk mencapai pemahaman bersama, kesepakatan adil, dan solusi berkelanjutan. Diharapkan pemahaman yang lebih baik dan fokus pada pembangunan masyarakat, khususnya Masyarakat Hukum Adat,” ungkapnya.
“Adapun outputnya, membangun kesepahaman bersama antara pemerintah dan masyarakat adat terkait dengan pengakuan hak atas tanah; masyarakat menyerahkan atau memberi masukan poin-poin substansial terkait persoalan tenurial antara masyarakat adat dengan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di masing-masing kampung/desa,” ujarnya.***