BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Terkait judicial review terhadap usia Capres dan Cawapres yang digugat oleh sejumlah partai politik ke MK, hanya dianggap sebagai intrik politik yang terjadi menjelang pemilu 2023, menurut pandangan politisi PDIP, Kapitra Ampera.
Dia melihat ketiga agenda politik muncul—terlebih saat ini waktunya sudah dekat dengan puncak kegiatan politik lima tahunan—maka akan selalu ada intrik politik, salah satunya menggaungkan satu dari 20 syarat tentang Capres dan Cawapres.
“Ini judicial review yang sebenarnya adalah konstitusional review terhadap aturan usia Capres Cawapres. Usia itu syarat ke-16 dari 20 syarat untuk maju Capres dan Cawapres. Ini muncul tak lebih dari intrik politik,” kata Kapitra Ampera saat menjadi narasumber dalam program Kontroversi Metro TV seperti dilihat Bertuahpos.com, Jumat, 11 Agustus 2023.
Menurut Kapitra, UU dibuat memang untuk membatasi hak asasi seseorang agar tercipta harmonisasi dalam kehidupan bernegara. Sebagai contoh, kata dia, siapapun punya asasi untuk membuka pakaian, namun jika pakaian dibuka di jalan raya itu melanggar Undang-Undang.
“Artinya asasi itu dirampas, nah sama halnya dengan pembatasan usia Capres dan Cawapres yang dianggap membatasi hak milenial, artinya ada banyak profesi lain yang juga membatasi milenial (bukan cuma soal syarat Capres dan Cawapres),” ucapnya.
Kapitra Ampera melihat, dari kasus adanya judicial review terhadap syarat usia Capres dan Cawapres di pemilu 2023, menandakan begitu seksinya jabatan Capres dan Cawapres tersebut. Apakah 40 juta milenial yang ada di Indonesia ini merebutkan jabatan itu?.
“Kan banyak segmen lain yang mana generasi milenial ini bisa berperan. Jadi tak heran kalau ada asumsi bahwa ada intrik politik yang besar dibawa oleh arus, di balik gugatan syarat usia Capres dan Cawapres ini. Apa motivasinya, itu bisa ditemukan di belakang,” kata Kapitra Ampera.
Dia menambahkan, bahwa PDIP melihat masalah ini lebih luas tentang bangsa dan kebangsaan, bukan tentang bangsa dan kekuasaan yang menurutnya, selama ini dipersempit ruang kebangsaan itu dengan kekuasaan.
“Bulshit ada anak muda masuk menjadi pemimpin bangsa dengan menggugat syarat ini. Ada banyak cara. Ada banyak tempat untuk milenial. Karena hanya satu anak muda kalau memang mau jadi Presiden atau Wakil Presiden, yang lainnya ke mana?”
Menurut Kapitra, hanya akan ada satu pasang pemimpin bangsa, dengan kata lain, jika pun direkrut untuk elektoral politik, hanya ada satu orang milenial yang bisa masuk. “Apa pasar milenial itu laku dijual, belum tentu juga,” ujarnya.
“Saya tidak katakan ‘bulshit anak muda bisa menjadi pemimpin bangsa.’ Saya katakan segmen anak muda untuk menjadi pemimpin itu terbuka, tapi kalau masuk ke ranah Capres dan Cawapres cuma satu orang. Itupun kalau mau, ya harus diakomodir,” sambungnya.
Kapitra menilai, intrik politik yang dilakukan menjadi tidak original yang dikin menjadi turbulensi politik sehingga ada kegaduhan. “Kalau memang ada dasar dan pertimbangan untuk dikembalikan ke aturan sebelumnya, kenapa gugatan seperti ini tidak ditayangkan di tahun 2018 lalu?” katanya.
Salah satu partai yang turut melakukan gugatan terhadap syarat usia Capres dan Cawapres ini, adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PSI menilai pada Pilpres tahun 2003 dan 2008, syarat Capres dan Cawapres masih membolehkan di usia 35 tahun. Namun setelah itu, diubah menjadi 40 tahun.
Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie mengungkapkan bahwa pengajuan uji materi terhadap aturan syarat usia Capres dan Cawapres karena dasar diubah menjadi 40 tahun tidak diikuti dengan alasan yang jelas, tanpa ada basis yuridis dan saintifik yang bisa dipertanggung jawabkan.
“Alasan yang dipakai karena di bawah 40 tahun masih labil. Saya sudah bincang dengan pakar Psikologi UI dan dia mengonfirmasi bahwa tak ada perbedaan kematangan dari segi usia. Jadi dasar diubah apa? Kembalikan,” kata Grace.***