Pengembangan destinasi wisata di Pulau Rupat Utara di Kabupaten Bengkalis, Riau, sejauh ini masih belum didukung dengan akses jalan dan fasilitas penyeberangan yang memadai.
Minimnya dukungan infrastruktur ini dianggap sebagai persoalan utama mengapa destinasi wisata di Pulau Rupat sulit berkembang hingga kini. Dari Kota Pekanbaru, setidaknya membutuhkan waktu 7-8 jam untuk sampai ke lokasi pantai-pantai di pulau ini, salah satunya, seperti Pantai Tanjung Lapin.
Jika menggunakan kendaraan darat, wisatawan harus menempuh perjalanan sekitar 2-3 jam untuk tiba di pelabuhan Roro Dumai. Perjalanan lalu dilanjutkan lewat jalur laut menggunakan kapal Roro, menghabiskan waktu sekitar 1-2 jam untuk berlabuh ke pelabuhan di Pulau Rupat Utara.
Kemudian, perjalanan kembali dilanjutkan sekitar 2 setengah jam dengan kendaraan roda empat, untuk tiba ke Pantai Tanjung Lapin. Estimasi waktu ini di luar kendala-kendala yang mungkin akan dialami wisatawan di dalam perjalanan.
Di pulau ini, infrastruktur jalan yang tersedia sangat jauh dari kata mulus. Jalan yang dijadikan sebagai akses utama untuk menuju ke lokasi wisata, didominasi tanah pasir dan batu (Sertu) dan bergelombang. Hanya beberapa titik yang disemenisasi, itu pun terputus-putus.
“Kendala yang paling utama itu akses ya, seperti jalan menuju ke sini. Kemudian pada fasilitas penyeberangannya,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata Pantai Tanjung Lapin, Sadikin, kepada Bertuahpos.com, Rabu malam, 27 Juli 2022, di Pulau Rupat Utara, Bengkalis, Riau.
“Sedangkan untuk fasilitas penyeberangan, memang belum ada yang bisa menjamin langsung sampai ke tempat wisatanya. Sejauh ini masih lewat pelabuhan utama. Lalu, wisatawan harus kembali menempuh perjalanan darat yang panjang dan melelahkan dengan kendaraan mereka,” sambungnya.
Sadikin mengungkapkan kondisi jalan yang tidak mendukung memang sudah sejak dulu, bahkan sejak awal Pulau Rupat Utara dibuka sebagai destinasi wisata—sekitar 32 tahun yang lalu (mulai dibuka tahun 1989).
Pembangunan dan perbaikan jalan sebagai akses utama ke tempat-tempat wisata di pulau ini dilakukan berangsur-angsur. Hal ini tampak dari beberapa bagian jalan yang diaspal, lalu sebagian lainnya hanya Sertu. “Ya kalau pun ada semenisasi, paling baru sebagian” tutur Sadikin.
“Soal akses jalan yang sulit ini sudah pernah kami sampaikan ke Pemkab Bengkalis dan Pemprov Riau. Hampir semua wisatawan yang datang ke sini pasti komplen soal kondisi jalannya, itu persoalan pertama,” terangnya.
Kedua, hal yang paling sering dikeluhkan oleh para wisatawan saat berkunjung ke Pulau Rupat Utara yakni soal kuliner. Kawasan ini hanya lah desa kecil. Tidak seperti kebanyakan desa di tempat-tempat wisata lain, yang selalu tersedia restoran atau rumah makan yang sederhana. Mereka yang berkunjung, bisanya harus membawa bekal dari rumah masing-masing.
Ketiga, di sini tidak tersedia mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Jika para wisatawan kekurangan uang kes, maka mereka tak bisa melakukan transaksi apapun. Sedangkan untuk akses transaksi secara digital juga belum didukung dengan fasilitas yang memadai, termasuk lemotnya jaringan internet.
Persoalan lainnya yang juga banyak dikeluhkan oleh para wisatawan saat mereka berkunjung Pulau Rupat Utara, yakni minimnya ketersediaan bahan bakar untuk kendaraan. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan ke Pantai Tanjung Lapin, misalnya, pom bensin hanya ada satu, itupun masih dalam tahap pembangunan.
“Hal-hal ini lah yang paling banyak dikeluhkan para wisatawan kalau mereka berkunjung ke sini,” tambah Sadikin.
“Kami sudah sampaikan semua persoalan ini ke pemerintah, bahkan ke Pemprov Riau. Kalau ada pertemuan-pertemuan selalu kendala-kendala ini yang kami sampaikan. Tapi hingga kini, kondisinya ya seperti ini lah.”
Meski dihadapkan dengan seabrek persoalan di atas, Pulau Rupat Utara bak magnet yang punya daya tarik tersendiri. Hal itu dibuktikan dengan tingginya jumlah kunjungan wisatawan ke tempat ini.
Walau tak menyebut angka pasti, Sadikin memperkirakan dalam setahun pulau yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka ini bisa dikunjungi hingga ratusan ribu orang. “Apalagi kalau ada event-event skala besar diselenggarakan di sini. Tingkat kunjungan wisatawan setiap tahun di sini, trennya naik,” tuturnya.
Selain menggantungkan ekonomi pada perkebunan kelapa sawit dan karet, masyarakat tempatan di pulau ini sadar betul, bahwa potensi pariwisata yang tersedia mampu menjadi penopang ekonomi alternatif mereka.
“Jadi Pulau Rupat Utara ini dibuka untuk pariwisata sudah sejak tahun 1989. Waktu itu dimulai dengan kegiatan wisata budaya Mandi Safar. Biaya semuanya swadaya masyarakat. Bahkan sampai sekarang. Itulah buktiny kalau warga di sini sangat sadar dengan pariwisata,” kata Sadikin.
Dia menambahkan, dalam waktu dekat kelompok sadar wisata yang dia kelola, berencana akan memperbaharui sistem pengelolaan kepariwisataan di sini, dan membuka semacam paket perjalanan bagi wisatawan yang tertarik berkunjung ke Pulau Rupat Utara.
“Namun bisa nggak pemerintah memfasilitasi penyeberangan wisatawan itu dengan mudah untuk sampai ke sini—tidak lagi lewat jalur pada umumnya, seperti yang tersedia sekarang. Artinya, mereka (wisatawan) diantarkan sampai ke sini. Jadi tidak lagi terkendala dengan jalan yang tak bagus seperti ini,” kata sadikin.
Indahnya pemandangan laut dengan hamparan pasir putih yang membentang luas di Pulau Rupat Utara, memang sudah sejak dulu menghiasi brosur-brosur promosi yang dicetak pemerintah, termasuk postingan-postingan di sosial media semakin ke sini juga kian ramai. Pulau ini juga menjadi agenda kampanye gerakan pengembangan sektor kepariwisataan, yang gaungnya hingga nasional.
Namun, dengan segala keterbatasan akses dan minimnya infrastruktur pendukung, menjadikan Pulau Rupat Utara sebagai destinasi wisata pantai unggulan di Riau, tentu hanya omong kosong belaka.***