BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyoroti Undang-Undang yang menjadi dasar Provinsi Riau masih mengacu pada UU di era Presiden Soekarno.
Dengan demikian, Jikalahari pun menyebut Riau berada dalam wilayah dengan status darurat, sehingga diperlukan percepatan pembahasan Rencana Undang-Undang Provinsi yang selanjutnya dibuka ruang partisipasi publik.
“Riau masih wilayah Darurat. Rujukan UU Provinsi Riau masih di era Presiden Soekarno. Padahal kontribusi ekonomi sumberdaya alam berupa hutan, perkebunan sawit dan tambang sangat besar untuk Indonesia,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari dalam keterangan tertulis yang diterima Bertuahpos.com, Jumat, 28 Januari 2022.
Selama 64 tahun Provinsi Riau masih mengacu Undang–Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau.
Salah satu pertimbangan pembentukan undang-undang darurat ini karena keadaan yang mendesak pembentukan daerah-daerah swatantra tingkat I tersebut lebih dahulu, perlu dilakukan dengan Undang-Undang Darurat.
“64 tahun Provinsi Riau berdiri belum memiliki undang-undang tersendiri dan masih dalam keadaan darurat,” kata Made Ali. “Partisipasi dan aspirasi masyarakat Riau terutama yang terdampak dalam isu masyarakat adat, kebudayaan, ruang ekologis, kesenian dan muatan lokal wajib didengar, diresapi dan diwujudkan dalam RUU Propinsi Riau.”
DPR RI mulai melakukan rapat dengan Pimpinan Komisi II atau pengusul RUU tentang provinsi pada 27 Januari 2022 di Ruang Rapat Badan Legislasi DPR RI. RUU Provinsi tentang Provinsi Riau merupakan salah satu RUU yang masuk dalam pembahasan.
Sebelumnya, pada 4 Oktober 2021, Jikalahari telah menyerahkan draf RUU Provinsi Riau versi masyarakat sipil ke Gubernur Riau. “Draf yang diserahkan ke Gubernur Riau merupakan hasil pembahasan Koalisi Percepatan RUU Provinsi Riau sejak Maret hingga September 2021. Ada 9 isu krusial dan 5 kekhasan yang perlu dimasukan dalam RUU Provinsi Riau,” kata Made Ali.
Adapun kesembilan isu krusial ini diantaranya: Riau Masih Provinsi Darurat, Kemiskinan dan Kekurangan Infrastruktur dialami Masyarakat Adat, Sumberdaya Alam Riau berupa Pertambangan dan Migas, Kehutanan, serta Perkebunan Dikuasai Segelintir Pengusaha dan Perusakan dan pencemaran Lingkungan Hidup akibat Monopoli SDA di Riau.
Selain itu, Hancurnya Salah Satu Sumber Kebudayaan Melayu berupa Perusakan dan Perampasan Hutan dan Tanah, Punahnya Keanekaragaman Hayati berupa Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Flora dan Fauna serta Gambut karena monopoli, Riau Mengalami Bencana Hidrometeorologi dan Kabut Asap Karhutla akibat Rusaknya Ruang Ekologis, Kedaulatan Masyarakat Adat yang belum diakui serta Tidak ada komitmen pemajuan kebudayaan.
Sedangkan 5 kekhasan yang dimiliki Provinsi Riau adalah: Pertama, Kebudayaan Melayu. Provinsi Riau memiliki budaya Melayu Riau yang berfungsi untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Riau sangat menentukan masa depan Provinsi Riau karena masyarakat itulah yang membangun Provinsi Riau.
Pada masa ini budaya melayu Riau diterjang oleh pengglobalan, banyaknya masuk budaya asing semua pengaruh itu membuat budaya melayu riau akan rusak dan bahkan mungkin musnah sehingga hilangnya identitas Melayu Riau.
Kedua, Masyarakat Adat. Sayangnya Masyarakat adat mengalami keterpinggiran, kriminalisasi bahkan pemusnahan kehidupan masyarakat adat dari pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi Riau.
“Padahal jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat adat sudah ada di Riau yang tersebar diseluruh kabupaten dan kota. Sampai detik ini, masyarakat adat di Riau masih ada kurang lebih tiga ratus (300) suku,” terangnya.
Ketiga, Ruang Ekologis Riau memiliki kekhasan bukan saja karena adanya masyarakat adat dan kebudayaannya, juga memiliki keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna langka, hutan hujan tropis, gambut, sungai, laut. Ruang ekologis ini ditempati oleh makhluk hidup termasuk di dalamnya masyarakat adat dan tempatan. Dalam perkembangannya, ruang ekologis ini mulai hancur dan rusak, bahkan punah karena aktivitas legal maupun ilegal dari korporasi.
“Ruang ekologis ini harus diselamatkan melalui kebijakan, tanggungjawab dan wewenang kepala daerah di Provinsi Riau,” kata Made.
Keempat, Lembaga Adat Melayu Riau. Riau memiliki Lembaga Adat Melayu Riau yang telah memiliki dasar hukum Perda Provinsi Riau No 1 Tahun 2012 tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Menjadi penting dalam penguatan pada undang-undang Provinsi Riau.
Kelima, Ekonomi Riau Hijau. Provinsi Riau kaya akan sumber daya alam seperti; gas dan minyak bumi, hasil perkebunan, kehutanan dan hasil laut. Namun selama ini pemanfaatan sumberdaya alam tidak dilakukan secara adil dan berkelanjutan. Hampir 3/4 dari luasan Provinsi Riau dikuasai oleh segelintir orang untuk perkebunan sawit dan HTI.
Ke depan pendekatan pembangunan berkelanjutan dilaksanakan untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Riau dilakukan secara adil, meningkatkan kesejahteraan rakyat, bertanggung jawab dan memperhatikan pelestarian lingkungan hidup.
“Isu krusial dan kekhasan yang dimiliki Provinsi Riau tidak masuk dalam RUU karena Tim Kerja Naskah Akademik bentukan DPR RI ini tidak ada satupun yang berasal dari Riau sehingga mereka tidak mengetahui situasi, kondisi dan peristiwa yang dialami oleh masyarakat Riau,” kata Made Ali.
Atas dasar itu, Jikalahari merekomendasikan: agar Badan legislasi DPR RI membuka seluas-luasnya partisipasi publik sesuai dengan Bab XI Partisipasi Masyarakat Pasal 96 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
Serta, meminta Anggota DPR RI yang berasal dari Riau harus aktif mengawal penyusunan dan pembahasan RUU Provinsi Riau menjadi Undang-Undang. (bpc2)