BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Ketua Umum DPP Asita, Artha Hanif mengatakan pihaknya kini masih menunggu proses hukum berjalan terkait polemik dualisme yang terjadi di tubuh Asita saat ini. Hal ini diungkapkan oleh Artha Hanif dalam konferensi pers yang digelar pada Senin, 22 November 2021 malam di Sultan Resto, Jalan Ronggowarsito Pekanbaru.
Artha Hanif menanggapi bahwa polemik dualisme kepemimpinan Asita di Riau merupakan buntut dari masalah yang sebelumnya terjadi di DPP Asita di bawah kepemimpinan Nunung Rusmiati. Namun baginya, polemik yang terjadi dalam sebuah organisasi adalah hal yang biasa.
“Kalau ada hal-hal yang mengganggu, biasa lah, namanya juga organisasi. Kalau kita merancang organisasi selalu susah memang, karena dikhawatirkan ada saja sengketa. Ini tidak lain bagian dari dinamika organisasi. Yang jelas sekarang kita sedang menunggu keputusan hukum yang tengah berjalan,” tuturnya.
Dia menambahkan, Asita yang akan diseriusinya bersama dengan para anggota yakni Asita yang didirikan pada tahun 1971 di mana akta pendirinya secara resmi dikeluarkan pada tahun 1975. “Sejak lahir hingga sekarang, ini lah Asita yang sesungguhnya,” katanya
Sementara itu, Artha Hanif mengungkapkan, bahwa Asita yang bernaung di bawah Kepemimpinan Rusmiati merupakan Asita baru dengan akta pendirian pada tahun 2016.
“Sekarang kita secara formal ada 12 DPD, dalam waktu dekat akan ada satu atau dua DPD lagi yang akan bergabung, termasuk DPD DKI Jakarta juga sudah bergabung dengan kita,” ujarnya.
“Kalau bisa dianggap polemik ini selesai, ya kita tunggu saja nanti. Karena kondisinya sekarang sudah masuk ke ranah hukum. Tunggu sajalah, nanti akan terbuka kita ini siapa sih, kalau mau bicara siapa yang paling benar,” sambungnya.
Kronologi Polemik di Tubuh Asita
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan DPP Asita Opan Lamara menjelaskan, bahwa apa yang dilakukan Asita saat ini merupakan upaya melawan kezaliman. Dia juga menceritakan kronologi cukup rinci mengapa polemik dualisme di tubuh Asita terjadi.
Pada Musdalub tahun 2019, kepengurusan Asita saat itu tidak bisa memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ), mengingat LPJ merupakan suatu hal paling penting dalam sebuah organisasi, meskipun para anggota terus mendesak pengurus lama untuk memberikan LPJ ketika itu.
Atas dasar itu diusunglah dua calon Ketua Asita baru untuk dipilih dengan komitmen secara tertulis di atas materai, bahwa siapapun yang terpilih bisa menyelesaikan masalah LPJ dalam waktu sesingkat-singkatnya. Salah satu yang mencalonkan diri sebagai ketua DPP Asita ketika itu Ibu Nunung Rusmiati, dan terpilihlah dia sebagai Ketua DPP Asita.
“Nah, kalau kita ingin melihat pada ketentuannya, seharusnya Ibu Rusmiatin tidak bisa mencalonkan diri, karena untuk kepengurusan Asita di Periode 2015-2019 dia Sekjennya. Artinya, Ibu Nunung termasuk yang ikut bertanggungjawab terhadap LPJ tersebut,” ujar Opan.
“Namun atas dasar musyawarah dan kita sadar kalau ini adalah organisasi paguyuban, bukan organisasi politik, diberilah ruang kepada Nunung untuk mencalonkan diri, hingga terpilih menjadi ketua DPP Asita,” sebutnya.
Dia menuturkan, satu bulan setelah terpilihnya Ketua DPP Asita, DPD Asita DKI Jakarta dan DPD Asita Bali mengejar LPJ sesuai dengan komitmen awal. Namun hasilnya nihil. Setelah itu, sekitar Juli 2019 barulah LPJ itu diserahkan.
“Di situlah baru mulai terbongkar. Pertama LPJ-nya sangat jauh dari logika awam. Salah satu contohnya nilai aset kantor Asita di kawasan itu mencapai belasan miliar, namun dalam LPJ hanya disebut ratusan juta,” jelas Opan.
Poin kedua yang juga terbongkar kala itu, bahwa lampiran dari LPJ tersebut adalah akta pendirian tahun 2016. “Kami tak pernah tahu ada akta pendirian Asita yang baru, di mana dalam akta itu Asita bergerak di bidang sosial, bukan pariwisata. Jelas ini bertolak belakang dengan akta awal pendirian Asita yang bergerak di bidang pariwisata,” jelas Opan.
Atas dasar kesepakatan anggota, LPJ tersebut akhirnya dianulir alias di tolak dan pihak DPP Asita saat itu berjanji akan memberikan LPJ khusus laporan keuangan yang lebih kredibel. “Namun itu juga tidak dilakukan. Bahkan melakukan pemecatan terhadap orang-orang yang dianggap berjasa di Asita, dan surat pemecatan itu dikirim ke anggota di seluruh Indonesia,” ujarnya.
“Ibu Rusmiati ketika itu ngotot bahwa dia tidak tahu menahu dengan pendirian akta tahun 2016 itu. Setelah kita dudukkan bersama, ternyata pihak notaris juga mengakui bahwa akta itu dibuat secara cacat prosedur.
Opan menambahkan, jika memang dari pihak DPP Asita di bawah kepemimpinan Nunung Rusmiati ingin membentuk Asita yang bergerak di bidang sosial, juga tidak ada persoalan bagi DPD-DPD Asita yang menolak itu. “Kalau mereka mau bikin Asita ya, nggak apa-apa, tapi Asita sosial, bukan Asita pariwisata,” sebutnya.
Sebagai anggota yang mempunyai tanggung jawab untuk menyelamatkan Asita, maka di gelarlah Munaslub yang mengamanahkan Arta Hanif sebagai Ketua DPP Asita dengan merujuk pada akta baru di tahun 2020 namun tetap berlandaskan pada pendirian Asita tahun 1971 dan 1975.
“Terbukti beberapa kepengurusan Asita yang sebelumnya ikut dengan Ibu Rusmiati kini malah ikut bergabung ke kita, karena memang mereka menyadari bahwa kehadiran kita untuk mengembalikan Asita yang bergerak di bidang pariwisata, bukan sosial,” sambung Opan.
Polemik Soal Logo Asita
Masih diungkapkan Opan, terkait logo Asita yang diklaim, juga sangat tidak logis. Logo Asita sudah ada sejak tahun Asita berdiri (1971), lantas oleh kelompok yang berseberangan diklaim bahwa logo itu dibuat pada tahun 2013.
“Yang mengajukan gugatan terhadap logo itu hanya pegawai kesekretariatan, orang yang cuma bekerja di kantor Asita, bukan anggota Asita. Logo itu sudah ada sejak lama, kok di klaim adanya tahun 2013?” tanya Opan.
Dia pun menuturkan bahwa semua anggota Asita berhak berhak terhadap Asita dan berhak menggunakan logo tersebut untuk ditampilkan dalam bentuk apapun. Dengan kata lain, tak boleh ada yang mengklaim milik seseorang.
Polemik di Daerah Korban dari Asita Pusat
Baik Arta Hanif dan Opan sama-sama sepakat bahwa polemik Asita yang terjadi di daerah, termasuk di Riau, merupakan korban dari polemik Asita pusat (DPP Asita). “Termasuk Dede itu, korban. Masalah yang sesungguhnya ada di pusat,” sebut Opan.
Mantan Ketua DPD Asita Riau Ibnu Mas’ud Dede Firmanyah yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua DPD Asita Riau, telah habis masa jabatannya dan kembali ikut mencalonkan sebagai Ketua DPD Asita Riau melawan Julfiyanto.
“Namun jabatan Ketua DPD Asita Riau dimenangkan oleh Julfiyanto. Nah, semua anggota Asita di Riau ini ikut Pak Jul, nggak ada yang ikut Pak Dede. Saya sudah ketemu langsung dengan beliau dan membicarakan hal ini, namun memang sampai sekarang masih ngotot,” katanya.
Sementara itu, terkait rencana Musdalub yang akan dilakukan Asita Riau dalam waktu dekat, juga terkesan janggal. “Sebab anggotanya tak ada. Jadi apa yang mau di Musdalubkan. Hasil pleno semuanya sepakat untuk bergabung dengan Asita Pariwisata,” sambungnya. (bpc2)