BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau Sofyan Siroj menilai wajar jika Pemprov Riau meminta bagian sepadan terkait dana bagi hasil atau BDH sawit. Hal itu tidak lepas dari kontribusi sawit Riau terhadap devisa negara yang sangat tinggi.
“Bangkitnya sektor perkebunan terutama kelapa sawit beberapa tahun belakangan tentu saja ibarat oase di tengah padang pasir kering-kerontang. Harga TBS kelapa sawit terus meroket seiring kenaikan harga jual Crude Palm Oil (CPO) dan harga kernel dari beberapa perusahaan,” ucapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Bertuahpos.com, Sabtu, 6 November 2021.
Dia menambahkan, kenaikan lumayan tajam juga terjadi di bursa perdagangan CPO. Kontribusi Riau terhadap penerimaan negara yang terus menguat ditopang komoditi kelapa sawit dan turunannya.
“Hingga triwulan III 2021, Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Riau telah menghimpun penerimaan negara hingga Rp 11,7 triliun atau 71,05 persen dari target Rp 16,468 triliun yang ditetapkan Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Dengan status daerah sentra penghasil sawit, Sofyan Siroj menilai wajar jika muncul keinginan memperoleh bagian sepadan. Namun upaya memperolehnya ternyata tak mudah. Sudah lazim di negeri ini, status daerah penghasil tak lantas dapat jatah banyak.
“Butuh dedikasi dan komitmen dari unsur daerah untuk memperjuangkan. Inilah tengah ditempuh sekarang,” sebutnya.
Dia menambahkan, DPRD Provinsi Riau juga turut mendorong pajak perkebunan sawit dengan melobi Komisi XI DPR-RI agar dapat diatur melalui regulasi.
Hal itu tertuang dalam surat usulan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang dikirim 25 Agustus lalu ke Komisi XI DPR.
Di mana Gubernur Riau Syamsuar meminta jatah sekitar 12% untuk Pemprov Riau dan angka tersebut tidak termasuk kabupaten/kota penghasil sawit. Tak puas menyurati Komisi XI, Gubri kembali menyampaikan aspirasi di sela pertemuan dengan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) RI, Suahasil Nazara saat berkunjung ke Riau Senin (1/11/2021).
Menruut Sofyan Siroj RUU HKPD momentum tepat guna memperbaiki hubungan pusat dan daerah, khususnya terkait DBH. Dan ini masih menjadi isu abadi sejak penerapan otonomi daerah.
DBH untuk menyeimbangkan pembangunan nasional dengan pembangunan daerah. Sekaligus mengurangi ketimpangan antara daerah penghasil dan daerah bukan penghasil sumber daya alam.
Namun peraturan perundang-undangan juga menggariskan dasar pengalokasian ada prinsip pembagian by origin. Artinya, daerah penghasil mendapat porsi lebih besar sementara daerah lain dapat bagian pemerataan dengan porsi tertentu. Sayangnya dalam pelaksanaan belum sepenuhnya transparan.
Sehingga selalu mengundang kecurigaan dan kecemburuan dari daerah penghasil. Meski sudah ada rumus penghitungan DBH, namun Pemda tak punya cukup data semisal faktor pengurang DBH.
Ketidakpastian dikeluhkan karena kerap menghambat perencanaan anggaran di daerah sampai menyebabkan kesalahan penyusunan anggaran.
Maka, wajar sekarang bersuara lebih keras. Dalam pertemuan Kepala Daerah penghasil kelapa sawit beberapa waktu lalu malah mengusulkan pembagian DBH 30% berbanding 70% atau 35% berbanding 65%.
Disamping menuntut pembagian berkeadilan bagi daerah penghasil, Pemda Riau diminta tidak kembali terlena. Semata berharap pada sumber daya ekstraktif termasuk perkebunan kelapa sawit.
Memang DBH primadona dan sangat menjanjikan untuk menopang pendapatan daerah. Namun ketergantungan akut bisa menjebak. Cukup sudah Migas sebagai pembelajaran.
Ketika harga berfluktuatif dan tidak stabil, maka keuangan daerah ikut labil. Oleh karena itu, selain pembenahan dan peningkatan kinerja PAD, perlu berpikir jauh ke depan.
“Mumpung Riau booming sawit, Pemda harus punya strategi untuk jangka panjang. Penguatan aspek ekonomi dibarengi aspek lingkungan. Sehingga nilai manfaat dapat berkesinambungan,” tambahnya. (bpc2)