BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Fadli Zon mengatakan bahwa buzzerp menjadi profesi baru dalam merusak demokrasi di Indonesia.
Hal itu, menurutnya sebagai respons terhadap penemuan bahwa ada keterkaitan antara pejabat Pemerintah dan pendengung alias buzzer dalam mempengaruhi opini publik di media sosial.
“Buzzerp menjadi profesi baru dalam merusak demokrasi di Indonesia. Suara rakyat mau disulap suara hantu,” kata Fadli Zon melalui akun Twitter resminya pada Kamis, 4 November 2021.
Sebelumnya, sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasukan siber atau cyber troops menjadi alat bagi para elite politik dan elite ekonomi di Indonesia sebagai alat untuk memanipulasi opini publik di media sosial (medsos) guna melancarkan berbagai kepentingan.
Hal ini merupakan hasil riset kolaborasi yang dilakukan LP3ES, Universitas Diponegoro, KITLV Leiden, Universitas Amsterdam, Universitas Islam Indonesia dan Drone Emprit.
Dilansir dari CNN Indonesia, riset ini dilakukan dengan mewawancarai 78 orang “buzzer” atau mendengung selama dua tahun belakangan ini.
“Ada semacam elite politik dan elite ekonomi dan juga seorang dari circle pemerintah yang menggunakan cyber troop. Dan itu bisa muncul dari pemerintah dari parpol,” kata peneliti KITLV, Ward Berenschot pada Senin, 1 November 2021.
“Jadi macam-macam orang yang menggunakan cyber troop untuk membela kepentingan mereka,” sambungnya.
Ward Berencshot pun mengatakan bahwa pasukan siber di medsos merupakan ancaman bagi demokrasi di Indonesia.
Sebab, ia menilai elite politik kerap menggunakan pasukan siber untuk menangkal kritik dan meningkatkan penerimaan publik terhadap kepentingannya.
Sementara itu, lanjutnya, para elite ekonomi menggunakannya untuk meraih dukungan publik terhadap kebijakan pemerintah yang pro terhadap mereka di medsos.
Ward Berenschot mencontohkan penggunaan pasukan siber ini dalam upaya revisi UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK yang sempat ramai dibicarakan.
“Cyber troops melemahkan debat publik di Indonesia. Mereka menyebarkan info yang tak baik dan berhasil meraih simpati publik yang tak penting, seperti isu KPK dan Taliban,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ward Berenschot menjelaskan mekanisme kerja para pasukan siber di Indonesia ini.
Menurutnya, hal ini diawali dari tim dan individu yang memiliki kepentingan menjalin kerja sama dengan pasukan siber.
Ward Berenschot menjelaskan bahwa aasukan siber terdiri dari koordinator, jaringan buzzer, influencer dan pembuat konten.
Dia mengungkapkan, koordinator bertugas untuk membentuk pasukan siber dan memberikan instruksi mereka soal apa saja konten yang harus diunggah ke media sosial.
Sementara buzzer, lanjut Ward Berenschot, bertugas menyebarkan konten sebanyak mungkin di medsos untuk membentuk trending topic.
Bahkan, katanya, buzzer bisa bertugas menyerang pihak yang menyuarakan pendapat yang bertentangan dengan tujuan kliennya.
Adapun pembuat konten bertugas menyiapkan konten, meme, dan tanda pagar (tagar) untuk disebarluaskan oleh buzzer di medsos.
“Kalau influencer ini sosok yang sangat terkenal, aktif di Twitter dan banyak followers. Mereka biasanya bukan anggota cyber troop secara resmi atau terorganisir. Kadang mereka anggota cyber troops juga,” kata Ward Berenschot.
“Mereka biasanya influencer mandiri. Bahwa influencer sering dapat uang dari cyber troop untuk dukung satu calon atau dukung pemerintah,” tambahnya. (bpc2)