- Sejarah G30S/PKI telah menghadirkan fakta – fakta yang direkayasa sehingga menjadi jalan buntu bagi kaum sejarawan dalam penelusurannya.
- Propaganda Soeharto sangat kuat, salah satunya dengan mengumbar cerita lubang buaya, termasuk pengakuan – pengakuan yang dibuat oleh pentolan PKI di masa itu.
- Harus ada keberanian bangsa Indonesia untuk melakukan rekonstruksi sejarah secara objektif dan kritis sehingga dapat diwujudkan sejarah G30S/PKI yang sesungguhnya.
BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU —- Sejarawan dari University of British Columbia, Kanada John Roosa mengungkapkan bagaimana kuatnya rezim Soeharto menyusun fakta – fakta menyesatkan tentang peristiwa Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan G30S/PKI.
Dalam bukunya: Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008), Rossa menganalogikan G30S/PKI telah menjadi ‘kubus rubik’ yang tak terpecahkan—dengan enam warna yang tidak dapat bersesuaian dengan keenam sisinya.
Kendala dalam memecahkan teka-teki ini harus dengan cara pemaksaan penyelesaian kepalsuan yang kuat, yang dilakukan secara cepat setelah peristiwa ini terjadi—termasuk dengan menciptakan “fakta-fakta” semisal kisah penyiksaan di Lubang Buaya, pengakuan para pemimpin PKI, dan lainnya.
“Itu dilakukan dengan banjir propaganda,” kata Roosa dalam buku yang diterbitkan tahun 2008 itu.
Mengutip tirto.id, Rossa mengungkapkan bahwa rezim Soeharto telah memasang ‘ranjau di sepanjang jalan’ kaum sejarawan dengan petunjuk palsu, hingga berujung pada kebuntuan, “Dan penggalan-penggalan bukti yang direkayasa,” sebutnya.
Oleh sebab itu, menurut Samsudin dalam buku: Mengapa G30S/PKI Gagal? (2004), harus ada keberanian bangsa Indonesia untuk melakukan rekonstruksi sejarah secara objektif dan kritis sehingga dapat diwujudkan sejarah G30S/PKI yang sesungguhnya.
“Menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa untuk membuka dan memberikan peluang bagi terjadinya perkembangan penafsiran terhadap fakta pembunuhan 6 jenderal Angkatan Darat (serta 1 perwira lainnya) dan peristiwa-peristiwa terkait setelah itu.”
Seiring itu, kata Samsudin, menjadi kebutuhan bersama sebagai bangsa, terutama para sejarawan untuk terus mencari dan menemukan fakta-fakta baru seputar G30S/PKI demi melengkapi data-data yang telah ada.
Melalui penemuan fakta – fakta baru tersebut akan dapat dirumuskan penafsiran – penafsiran yang baru pula mengenai G30S/PKI secara lebih komprehensif.
“Terlepas dari kontroversi yang masih terus didiskusikan hingga saat ini, upaya pengambil-alihan kekuasaan dan kematian 7 perwira militer dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan fakta-fakta sejarah yang memang telah terjadi.”
(bpc2)