BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Ekonom Faisal Basri mengkritik rencana impor satu ton beras untuk tahun ini. Kebijakan itu dianggap bertentangan dengan semangat ketahanan pangan optimisme terhadap peningkatan produksi beras dalam negeri.
Kritik ini dilontarkan Faisal Basri dalam tulisannya dengan judul; Mau Impor Beras Besar-besaran Lagi: Pemburuan Rente Lagi, Rente Lagi di blog faisalbasri.com, dikutip, Senin, 15 Maret 2021.
“Bapak presiden, ganti saja segera menteri-menteri bapak yang gandrung mengimpor. Mereka mau gampangnya saja, lebih mengedepankan value extraction alias percaloan yang menguntungkan segelintir orang ketimbang value creation dengan kebijakan kreatif dan inovatif yang menaburkan maslahat bagi banyak orang,” katanya.
Sikap optimis Faisal Basri terhadap produksi beras dalam negeri akan meningkat, sehingga tidak dibutuhkan impor beras. Menurut dia, ada dua alasannya optimis produksi beras akan meningkat.
Pertama, di tengah pandemi covid-19, sektor pertanian masih bisa mencatatkan pertumbuhan positif. Bahkan, subsektor tanaman pangan tumbuh positif 3,54 persen, tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Kedua, BPS mengumumkan bahwa potensi produksi beras Januari-April tahun ini mencapai 14,54 juta ton, meningkat sebanyak 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Belum lagi, petani akan mengalami panen raya pada April-Mei mendatang. Dengan demikian, peningkatan produksi beras akan cukup tajam. “Lalu masih ada waktu yang cukup untuk mengamankan peningkatan produksi sampai akhir tahun ini,” ujarnya.
Selain itu, dia menjelaskan, harga eceran beras setahun terakhir bisa dikatakan sangat stabil. Berdasarkan data BPS, harga beras stabil di posisi Rp14.112 per kilogram (Kg) sejak 2019 lalu. Demikian juga dengan harga beras di tingkat penggilingan maupun harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani.
“Harga beras di Indonesia juga lebih stabil dari harga beras di pasar internasional yang mengacu pada harga beras Thailand maupun Vietnam,” katanya.
Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi membuat kesalahan pada 2018 lalu terulang. Kala itu, dengan tingkat produksi yang bisa dikatakan tidak buruk, lonjakan impor sepanjang 2018 mengakibatkan stok yang dikuasai oleh pemerintah untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) naik hampir 4 juta ton.
Sebaliknya, penyalurannya anjlok dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton. Akibatnya, stok beras melonjak lebih dua kali lipat dari 0,9 juta ton pada akhir 2017 menjadi 2 juta ton pada akhir 2018. Selain kepada konsumen, kondisi tersebut juga membebani Perum Bulog sebagai pengelola CBP.
“Bulog dibuatnya kewalahan mengelola stok sebanyak itu. Kualitas beras yang dikelolanya merosot, bahkan ada yang menjadi tidak layak konsumsi. Ongkos ‘uang mati’ pun tentu saja meningkat. Yang lebih mendasar lagi, kemampuan Bulog menyerap beras dari petani menjadi terbatas,” tuturnya.
Oleh sebab itu, ia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertindak tegas, khususnya pada menteri yang mudah mengeluarkan kebijakan impor. Ia menyatakan impor yang tidak tepat tersebut justru menguntungkan segelintir orang.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan rencana impor beras 1 juta ton itu dilakukan demi menjaga ketersediaannya di dalam negeri supaya harganya tetap terkendali. Rinciannya, impor 500 ribu ton untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 500 ribu ton sesuai dengan kebutuhan Perum Bulog. (bpc2)