BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Ekonom senior dari Universitas Riau (Unri) Dahlan Tampubolon, Ph.D., mendorong kepada pemerintah untuk menetapkan harga referensi, HR CPO oleh Kemendag 2 kali sebulan—selama ini hanya diberlakukan sekali sebulan. “Bahkan akan lebih baik seminggu sekali,” ujarnya kepada Bertuahpos.com, Jumat, 19 Agustus 2022.
Menurut Dahlan, dengan penetapan HR CPO 2 kali sebulan, maka harga rata-rata CPO global akan lebih cepat terkoneksi ke harga referensi CPO yang diumumkan oleh Kementerian Perdagangan. HR CPO dan turunannya ini sangat diperlukan oleh Menteri Keuangan untuk mematok besaran Bea Keluar dan Pungutan Ekspor.
“Namun yang membuat saya heran, mengapa hanya Kemenkeu yang menggunakan HR Kemendag ini? Mengapa Kementerian Pertanian malah berbeda? Hal ini dapat dilihat dari harga CPO domestik, semua korporasi PKS (Pabrik Kelapa Sawit), perusahaan pembeli CPO, refinery, dan harga TBS petani malah menggunakan harga patokan CPO berdasarkan tender di KPBN?” tanya Dahlan.
Dia menambahkan, hal ini akan sangat berdampak terhadap harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit masyarakat. Dengan kata lain, maka harga TBS petani akan selalu lebih rendah karena rujukan dari penetapan harga TBS petani di 22 provinsi sawit menurut Permentan 01/2018 adalah invoice penjualan CPO dari PKS dan juga harga hasil tender KPBN.
“Saya melihat ini upaya secara sistematis supaya harga TBS petani selalu dibonsai,” kata Dahlan. “PKS akan selalu membeli murah TBS petani jika CPO nya para PKS dibeli oleh refinery dengan patokan harga KPBN. Padahal jika menggunakan HR CPO Kemendag pasti lebih mendongkrak harga TBS petani karena HR CPO Kemendag selalu lebih tinggi dibandingkan harga KPBN,” lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, turbulensi tidak hanya terjadi pada TBS (Tandan Buah Segar), tapi juga pada CPO (Crude Palm Oil). Hal ini dapat diamati pada 2 bulan terakhir di mana Harga Referensi (HR) CPO Kementerian Perdagangan (Kemendag) bulan Mei sebesar $1.657/MT, bulan Juni sebesar $1.700/MT, dan bulan Juli sebesar $1.615/MT.
Selain itu, terhitung pada bulan Agustus, periode HR CPO Kemendag dipercepat menjadi dua kali sebulan di mana sebelumnya satu kali per bulan. Periode pertama bulan Agustus tertanggal 1-15 Agustus adalah $872,27/MT, sementara HR CPO periode II tanggal 16-31 Agustus naik menjadi $900,25/MT.
Perubahan HR ini berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1165 Tahun 2022 tentang Harga Referensi CPO yang Dikenakan BK dan Tarif Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).
“Berdasarkan HR Kemendag tersebut, maka Bea Keluar (BK) CPO periode 16-31 Agustus dengan merujuk Kolom 6 Lampiran Huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.010/2022 adalah sebesar $74/MT,” ujar Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Veri Anggrijono. Artinya ada kenaikan dari periode I bulan Agustus yang sebelumnya $52/MT.
Perlu diketahui bahwa HR CPO Kemendag sudah sangat mewakili harga rata-rata dunia. Hal ini dikarenakan pembobotan HR CPO Kemendag tersebut sangat adil, yakni 20% berasal dari harga Rotterdam, 20% dari harga bursa Malaysia, dan 60% dari pembobotan harga bursa Indonesia.
“KPBN boleh melakukan tender, tapi harga rujukannya harus HR CPO Kemendag. Jika harga TBS petani masih menggunakan harga KPBN seperti saat ini, hal ini sangat-sangat merugikan petani dan negara,” ujar Dahlan.
Merugikan petani, karena harga CPO KPBN menjadi rujukan penetapan harga TBS di 22 provinsi sawit yang selalu lebih rendah dari HR Kemendag. Dari sisi kerugian negara yaitu dari hasil penjualan CPO PKS ke refinery. “Karena semakin murah harga CPO maka hasil perkalian dengan pajak-pajak negara tentu semakin kecil hasilnya,” lanjut Dahlan.
Diterangkan Dahlan, bahwa seharusnya Kementerian Pertanian segera move on dengan melakukan penyesuaian dasar rujukan harga TBS, yaitu mengikut Kemenkeu yang sudah lebih dahulu menggunakan rujukan Permendag.
“Tentu legalitas harga CPO akan lebih kuat dan terpercaya dengan harga pemerintah (Kemendag), apalagi menyangkut nasib 17 juta petani sawit dan pekerja sawit. Negara harus hadir melalui otoritasnya, seperti misalnya segera merevisi Permentan 01/2018. Karena Permentan tersebut adalah dasar regulasi penetapan harga TBS Petani sawit,” tegas Dahlan yang juga merupakan Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Riau.***