Oleh: Melba Ferry Fadly*
HAMPIR setiap pergantian malam pergantian tahun, diwarnai dengan pesta dan kemeriahan. Setiap orang bergembira dan bersuka ria, karena mereka telah melewati tahun yang lama dan masih diberi kesempatan bertemu dengan tahun yang baru. [Mungkin suasana tahun ini berbeda karena wabah Covid-19].
Namun tidak banyak yang menyadari dan merenungkan dengan ketulusan hati atas pencapaian-pencapain pada tahun yang ditinggalkan. Suka cita dan kegembiraan itu hanyalah sesaat. Sebab itu, momentum seperti ini harusnya diisi dengan renungan atau muhasabah kepada diri sendiri.
“Menyesal adalah taubat,” unkap Rasulullah SAW, seperti diriwayatkan oleh sebuah hadis Ibnu Majah.
Hadirkan Segalanya dalam Sebuah Renungan
Muhasabah berasal dari kata hasyib–yahsabu-hisab, yang artinya perhitungan. Sedangkan pengertian muhasabah yakni upaya dalam melakukan introspeksi dan evaluasi terhadap diri sendiri dalam melihat aspek kebaikan dan keburukan.
Umat Islam sangat akrab dengan muhasabah sebagai sarana perenungan atas apa yang telah dilakukan, dan apa yang harus diperbaiki. Dengan merenung, ada komunikasi dua arah yang terjadi antara hati dan pikiran.
Tatkala pikiran kita membongkar hal-hal buruk yang pernah kita lakukan, hati akan merespon dengan empati, maka ada penyesalan di dalamnya sehingga membuat alam bawah sadar kita menyimpulkan satu hal, “Apa yang harusnya diperbaiki.”
Dalam Islam muhasabah bertujuan untuk mengharmoniskan kembali hubungan dengan Sang Khalik [habluminallah], jalinan antar sesama manusia [habluminannas] serta berdamai dengan diri sendiri [habluminannafsi]
Bagi seorang Muslim yang taat muhasabah harus menjadi bagian dari hidupnya sebab kekhilafan bak ‘lubang kecil di jalan raya’, selalu ada di mana pun dan kapan pun.
Muhasabah itu memang merenung, tapi bukan sembarang renungan. Merenung hakikatnya akan mendalami sebuah makna bahkan bagian terkecil sekalipun agar bisa dievaluasi dan diaplikasikan.
Membuka kembali lembar-demi-lembar dosa-dosa yang pernah dilakukan. Mengira-ngira sudah cukup kah amal kebajikan kita, mencatat secara detil apa saja pelajaran yang bisa diambil, bukan Muslim itu pantang terjerumus ke lubang yang sama?
Sebuah Ilustrasi
Allah SWT menciptakan kepala yang ditopang oleh leher dan meletakkan sepasang mata pada bagian tubuh ini. Didalamnya ada perangkat paling penting bernama otak. Mengapa Allah menciptakan leher secara elastis sehingga bisa diarahkan kemana saja? dan mengapa mata diletakkan pada bagian depan?
Mungkin, saat kita berjalan di sebuah lorong lalu terperosok ke lubang. Kita bangkit, lalu berjalan kembali seperti biasa dan melupakan peristiwa itu. Namun, tanpa disadari bahwa otak telah merekam peristiwa itu.
Bagi orang yang biasa, maka apa yang dia alami hanyalah peristiwa yang biasa-biasa saja. Terperosok ke dalam lubang, semua orang mungkin pernah mengalaminya.
Tapi bagi orang yang me-muhasabah-kan kejadian itu, menyadari bahwa apa yang terjadi adalah sebuah peristiwa yang luar biasa. Ada hikmah, ada petunjuk, ada pijakan, dan ada tujuan dari peristiwa kecil itu.
Saat kaki kembali melangkah ke depan, sesekali pandanglah ke belakang dan renungkan secara seksama, bahwa engkau baru saja terperosok pada sebuah lubang.
Lalu kembalilah melangkah kedepan, gunakan mata secara seksama apakah di depan masih ada lubang. Berusahalah semaksimal mungkin agar tidak lagi terperosok ke lubang yang lain. Jika memang harus kembali terperosok, mental kita setidaknya sudah siap untuk bangkit.
Itulah mengapa mata diciptakan di depan kepala, agar kita selalu memandang kedepan dalam menjalani hidup dan kehidupan, boleh sesekali melihat kebelakang untuk mengambil pelajaran atas kesalahan, itulah mengapa leher diciptakan elastis.
Berdamailah Hati dan Pikiran
Jika pikiran diilustrasikan sebagai pemimpin, maka hati adalah penasehat ulung. Jadi buatlah pikiran dan hati berdamai sebelum membuat sebuah keputusan.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [QS. Al-Hasyr: 18].
Dengan melakukan muhasabah diri, manusia akan membuka hati dan menyadari segala dosanya. Inilah cara ampuh untuk mengakui bahwa kesalahan itu memang benar sebuah kesalahan, hingga membuat kita menyadari bahwa taubat adalah solusi diri.
Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? [QS At-Taubah: 126]
Muhasabah bukan momentum penghakiman diri. Muhasabah adalah cara kita untuk menghitung secara rinci, sepenuhnya tentang lembaran-lembaran kelam catatan dosa yang pernah dilakukan di masa terdahulu.
Bertahun-tahun kita mungkin hidup dengan kebiasaan yang sama, perilaku yang sama, lingkungan yang sama, teman-teman yang sama, pekerjaan yang sama, sehingga sangat tipis naluri kesadaran kita bahwa sebenarnya yang terjadi selama ini bukanlah hal yang dibenarkan.
Semua itu tetaplah masa lalu yang hanya sebuah kenangan. Bukan tujuan masa depan adalah harapan yang lebih baik. Maka saat ini adalah masa kenyataan yang harus dihadapi, yang menjadi buah hasil atas apa yang kita lakukan di masa lalu. Memperbaiki kesalahan masa lalu hanya bisa dilakukan di masa kini. Bukankah semakin cepat kita menyadari kesalahan masa lalu akan lebih baik?
Orang yang cerdas [sukses] adalah orang yang menghisab [mengevaluasi] dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT [HR. Syadad bin Aus].***
Pekanbaru, 1 Januari 2021.
*Penulis adalah tim redaksi Bertuahpos.com
Redaksi Bertuahpos.com menerima tulisan dalam bentuk opini atau tulisan lepas lainnya. Karya tulis dapat dikirim ke alamat email: redaksi@bertuahpos.com.