Oleh: Romaito Azhar*
SEBAGAI ‘hulubalang’ negeri bernama Indonesia, kaum muda merupakan generasi jamak yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka adalah kaum ‘api’ yang darahnya ‘mendidih’, suaranya ‘lantang’ dan tindak tanduknya adalah representasi dari kemerdekaan berfikir dan bertindak.
Mereka juga merupakan gambaran nyata dari sebuah kemajuan atau kemunduran suatu negara, sebagaimana pepatah lama yang mengatakan ‘pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.’
Kaum muda, jika kita tarik flashback dari sebuah narasi dari fakta sejarah di republik ini, mereka adalah kelompok yang pernah mengasingkan Soekarno ke Rengasdengklok untuk mendesak kemerdekaan Indonesia dengan permintaan yang jelas agar kemerdekaan yang diperjuangkan lepas dari influence penjajah Jepang — dengan maksud agar kedepannya penjajah itu tidak memberikan klaim bahwa kemerdekaan yang didambakan itu merupakan pemberian Jepang.
Kaum muda tidak dapat digambarkan hanya pada umur, bentuk tubuh atau setakat kumpulan manusia yang sedang mengalami kenaikan dan gejolak dari hormon puberitas saja.
Melainkan, kaum muda merupakan sebuah kumpulan nilai yang sejatinya selalu progresif dan pro-perubahan. Tindak tanduknya selalu didasari pada kesadaran untuk selalu semangat menjalani kehidupan dan melakukan perubahan, yang pada akhirnya mereka akan memberikan sumbangsih pada negara untuk tidak jumud berada dalam stagnansi.
Kelompok kontributif ini secara gambalang dapat disebut dengan ‘golongan muda’ atau dalam bahasa kekinian, mereka didefinisikan sebagai kaum milenial.
Adalah sangat mencengangkan, dalam beberapa hari belakangan di mana kita mendengar dan menyimak salah satu dari anak proklamator republik ini dalam pernyataannya memberikan tanggapan yang tidak beralas, mendeskreditkan kaum muda milenial.
Dalam pernyataan yang sangat provokatif itu, saudari Megawati Soekarno Putri yang merupakan Ketua Umum salah satu partai di republik ini mempertanyakan sumbangsih pemuda terhadap republik ini.
Sangat ironi ketika mantan presiden republik ini masih saja tidak mengikuti jejak para pendahulunya, ‘Jangan sesekali melupakan sejarah (Jasmerah)’ — terkait bahwa republik dari dahulu hingga hari ini selalu saja melibatkan ide dan kekuatan kaum muda.
Masih segar di ingatan bahwa jika tanpa kaum muda dan mahasiswa, Orba (orde baru) yang sangat membuat keluarga dan kolega politik Megawati pada masa itu hidup dalam keresahan, orde baru itu runtuh dikarenakan kekuatan pemuda dan mahasiswa.
Harus diingatkan kembali, bahwa nikmat demokrasi yang kita rasakan hari ini, dan yang bahkan Megawati rasakan adalah dampak dari kerja-kerja dan sumbangsih kaum muda.
Tidak perlu menyebutkan sejauh dan sebanyak apa sumbangsih kaum muda milenial baik di bidang IT dan startup ataupun di bidang sosial, politik dan budaya yang presentasinya exist dalam staf-sus Jokowi itu, karena jika kita berikan list satu persatu niscaya sumbangsih kaum milenial itu lebih baik.
Perlu kiranya kita mengingat pada fase kepemimpinan Megawati, republik ini sangat mudahnya melepaskan pulau Sipadan dan Ligitan yang sejatinya adalah milik republik Indonesia, pemuda dapat bertanya, bagaimana mungkin hal itu mampu untuk merendahkan kedaulatan yang telah diperjuangan para founding fathers republik ini dengan melepaskan apa yang menjadi hak rakyat dan harus dijaga, sangat ironi.
Belum lagi, apabila kita telisik ke problem lain terhadap proyek LNG Indonesia dan Cina, dimana liquified natural gas republik ini dijual dengan harga yang sangat murah hanya dengan dalih bahwa tidak ada negara lain yang dapat membeli gas republik.
Sungguh sangat ‘menjengkelkan’ menyadari bahwa pemimpin pemuda masa itu sangat lemah, sebuah kegagalan kepemimpinan yang ‘tidak wajar’, sangat menyedihkan dan akan selalu diingat sampai anak cucu.
Tidak sampai pada masalah kedaulatan Bumi dan teritori, Indonesia pada masa itu, menjual saham satelit kebanggan republik yang kepemilikannya 100% di tangan pemerintah Indonesia. Satelit Indosat itu pun dijual ke tangan asing juga disebabkan oleh sikap kepemimpinan yang gamang terhadap kebijakan, amateur dan tidak bijak.
‘Sedih’ sekali bangsa indonesia ini jika mereka melihat track record seorang mantan presiden republik, tidak cakap dan rela begitu saja menjual harta bakureh bangsa sendiri.
Pemilihan diksi yang Megawati lontarkan adalah sebuah indikasi jelas bahwa generasi tua yang ‘tidak bijak’ dan gamang, sangat jelas terlihat dari masa lalu bahwa sebagai anak proklamator, Megawati sangat cocok menjadi sebuah idiom nothing in all but name hanya sebuah nama. Wallahu ‘Alan Bishawab.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Milenial Demokrasi Institute dan Wakil Koordinator Pemuda Bangun Desa Kabupaten Bengkalis.
(Seluruh materi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi Bertuahpos.com menerima tulisan dalam bentuk opini. Karya tulis bisa dikirim ke email: redaksi@bertuahpos.com)