BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Pengamat Politik dari Universitas Riau Hasanuddin melihat era Pilkada virtual pada 2020 diyakini akan menimbulkan beberapa persoalan, terutama hal-hal yang berkaitan langsung dengan partisipasi masyarakat.
Di Riau pada Pilkada 2020 tahun ini, setidaknya akan diikuti oleh sembilan daei 12 kabupaten/kota. Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta untuk mempersiapkan secara matang, agar pada saat pelaksanaan setidaknya bisa meminimalisir persoalan.
Dia menjelaskan, pilkada virtual yang akan dilangsungkan di musim pesta demokrasi kali tidak lepas dari adanya wabah pandemi Covid-19. Sehingga memaksa berbagai hal harus dilakukan via daring dan sesuai disiplin kesehatan, termasuklah dalam hal tahapan penyelenggara Pilkada 2020.
“Saya melihat proses Pilkada, di era pilkada virtual bisa melalui jaringan wifi, tapi untuk pemilihan suara itu saya ragu pada kesiapan KPU memfasilitasi peralatan elektroniknya,” ungkapnya kepada Bertuahpos.
Doktor ilmu politik UGM ini juga mengutarakan bahwa pemungutan suara akan tetap berlangsung walau dalam situasi apapun — dalam konteks pandemi — namun, kampanye serta agenda lainnya jadi sangat terbatas. Pilkada langsung ke masyarakat pada konteks masa pandemi ini lah yang jadi persoalan.
Potensi Tingkat Keberhasilan
Secara umum Hasanuddin menilai apa yang akan dihadapi dalam Pilkada kali ini, sedikit banyak pasti ada persoalan di tengah masyarakat. Karena dalam demokrasi politik, yang pertama dinilai itu partisipasi masyarakat.
“Apakah Pilkada tahun ini dan bisa memberi jaminan pada masyarakat, seperti apa partisipasi aktif mereka dalam prosesnya. Karena partisipasi tidak sebatas memberikan suara. Namun mereka juga mulai dari awal harus mengetahu siapa-siapa yang jadi calon kepala daerah mereka. Maka di situ ada proses pengenalan kepada masyarakat. Itu yang sulit dicapai,” tambahnya.
Salah satu hambatan dalam Pilkada di tengah COVID-19, yakni rendahnya peluang masyarakat untuk bersikap lebih ekspresif. Teritama dalam hal partisipasi dan proses pengenalan setiap pasangan calon.
Hasan menerangkan, ketika masyarakat dihadapkan dengan sistem virutual, maka yang menjadi kendala tidak semua masyarakat menggunakan smartphone. Selain itu, tidak semua daerah tersedia fasilitas internet secara memadai. Cenderung masyarakat pasif dan apatis dengan mekanisme seperti ini.
“Kalau kita lihat pengalaman menggunakan zoom dalam webinar, partisipasi peserta itu tidak banyak. Apalagi kalau isunya tidak menarik. Mengumpulkan 300 orang saja susah. Biasanya acara organisasi yang tidak melibatkan orang banyak, paling 40an orang. Memang ini menjadi persoalan serius. Belum lagi kalau jaringan lelet,” tambahnya.
Persoalan lain, masyarakat juga dihadapkan pada kontestasi. Setiap pasangan calon akan mengklaim dirinya paling mampu dan paling siap untuk memberikan perubahan di daerah masing-masing.
“Dalam prinsip demokrasi politik itu kan demokrasi secara adil. Tapi apa calon sudah mendapatkan keadilan. Kepala daerah incumbant misalnya dia sudah jalan duluan, baru calon lain. Artinya Tidak ada keseimbangan dan keadilan dalam kontestasi”, ujar pengasuh mata kuliah Teori Ilmu Politik ini. (bpc5)