BERTUAHPOS.COM, INHIL – Bupati Kabupaten Inhil, HM Wardan menjadi khatib pada pelaksanaan Shalat Ied Adha, Minggu (11/8/2019), di lapangan Gajah Mada, Tembilahan. Sebagai Khatib, Bupati menyampaikan napak tilas pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail.
“Idul Adha ini momentum untuk mengenang sejarah Islam tentang pengorbanan hidup yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Ismail,” kata Bupati saat berkhutbah di hadapan jemaah Shalat Ied Adha.
Bupati menyebut hari raya Idul Adha merupakan hari yang bersejarah bagi umat manusia.
Nilai historis yang terkandung dalam peringatan Idul Adha dikarenakan adanya kisah keteladanan fundamental Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta Siti Hajar.
“Peristiwa kurban di masa lalu telah menuntun kita untuk mengikuti contoh tauladan yang diwariskan Nabi Ibrahim AS. Bila Allah meminta, jiwa dan raga pun siap dikorbankan, ujar Bupati.
Ketaatan kepada Allah SWT, dikatakan Bupati, juga tercermin dari sikap Nabi Ismail AS menunjukkan semangat keikhlasan untuk berkorban.
“Peristiwa itu, diharapkan, menjadikan tauladan bagi kita untuk mampu meningkatkan keimanan,” imbuh Bupati.
Selanjutnya, Bupati mengatakan, menyembelih hewan kurban dalam perayaan Idul Adha, tidak hanya dilakukan oleh orang – orang yang menunaikan ibadah haji, melainkan juga dilakukan oleh seluruh umat Muslim.
“Kemudian, daging kurban itu dibagi – bagikan kepada para fakir miskin dan sebagian boleh dimakan sendiri. Inilah salah satu esensi berbagi yang diajarkan Islam kepada umatnya,” tukas Bupati.
Bupati yang dikenal agamis ini sangat menyayangkan bilamana seorang Muslim yang mampu untuk melaksanakan qurban namun tidak melakukannya.
Dalam khotbahnya, untuk kesekian kali, Bupati Wardan menyampaikan khotbah yang bercerita tentang seorang penjual hewan kurban dan seorang fakir miskin yang memiliki keikhlasan luar biasa besarnya.
Berikut kisah yang dituturkan kembali oleh Bupati Kabupaten Inhil, HM Wardan di Mesjid Agung Al – Huda, Tembilahan dalam khotbah di hadapan Jema’ah Shalat Idul Adha 1438 Hiriyah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Majah, Ahmad dan Al Hakim:
Idul adha kian dekat. Semakin banyak orang yang mengunjungi stan hewan kurbanku. Sebagian hanya melihat-lihat, sebagian lagi menawar dan alhamdulillah tidak sedikit yang akhirnya membeli. Aku menyukai bisnis ini, membantu orang mendapatkan hewan kurban dan Allah memberiku rezeki halal dari keuntungan penjualan.
Suatu hari, datanglah seorang ibu ke stanku. Ia mengenakan baju yang sangat sederhana, kalau tidak boleh dibilang agak kumal. Dalam hati aku menyangka ibu ini hanya akan melihat-lihat saja. Aku mengira ia bukanlah tipe orang yang mampu berkurban.
Meski begitu, sebagai pedagang yang baik aku harus tetap melayaninya.
“Silahkan Bu, ada yang bisa saya bantu?”
“Kalau kambing itu harganya berapa, Pak?” tanyanya sambil menunjuk seekor kambing yang paling murah.
“Itu 700 ribu Bu,” tentu saja harga itu bukan tahun ini. Kisah ini terjadi beberapa tahun yang lalu.
“Harga pasnya berapa?”
Wah, ternyata ibu itu nawar juga.
“Bolehlah 600 ribu, Bu. Itu untungnya sangat tipis. Buat ibu, bolehlah kalau ibu mau.”
“Tapi, uang saya Cuma 500 ribu, Pak. Boleh?” kata ibu itu dengan penuh harap. Keyakinanku mulai berubah.
Ibu ini benar-benar serius mau berkurban. Mungkin hanya tampilannya saja yang sederhana tapi sejatinya ia bukanlah orang miskin. Nyatanya ia mampu berkurban.
“Baik lah, Bu. Meskipun tidak mendapat untung, semoga ini barakah,” jawabku setelah agak lama berpikir. Bagaimana tidak, 500 ribu itu berarti sama dengan harga beli. Tapi melihat ibu itu, aku tidak tega menolaknya.
Aku pun kemudian mengantar kambing itu ke rumahnya. “Astaghfirullah… Allaahu akbar…” Aku terperanjat.
Rumah ibu ini tak lebih dari sebuah gubuk berlantai tanah. Ukurannya kecil, dan di dalamnya tidak ada perabot mewah.
Bahkan kursi, meja, barang-barang elektronik, dan kasur pun tak ada. Hanya ada dipan beralas tikar yang kini terbaring seorang nenek di atasnya.
Rupanya nenek itu adalah ibu dari wanita yang membeli kambing tadi. Mereka tinggal bertiga dengan seorang anak kecil yang tak lain adalah cucu nenek tersebut.
“Emak, lihat apa yang Sumi bawa,” kata ibu yang ternyata bernama Sumi itu.
Yang dipanggil Emak kemudian menolehkan kepalanya, “Sumi bawa kambing Mak. Alhamdulillah, kita bisa berkurban.”
Tubuh yang renta itu duduk sambil menengadahkan tangan. “Alhamdulillah… akhirnya kesampaian juga Emak berkurban. Terima kasih ya Allah “Ini uangnya Pak. Maaf ya kalau saya nawarnya terlalu murah, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk membeli kambing buat kurban atas nama Emak,” kata Bu Sumi.Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa dalam hati. “Ya Allah. Ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan imannya begitu luar biasa”. “Pak, ini ongkos kendaraannya…”, panggil ibu itu. “Sudah bu, biar ongkos kendaraannya saya yang bayar”, jawabku sambil cepat-cepat berpamitan, sebelum Bu Sumi tahu kalau mata ini sudah basah karena karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya. Untuk menjadi mulia, ternyata tak harus menunggu kaya. Untuk mampu berkurban, ternyata yang dibutuhkan adalah kesungguhan. Kita jauh lebih kaya dari Bu Sumi. Rumah kita bukan gubuk, lantainya keramik. Ada kursi, ada meja, ada perabot hingga TV di rumah kita. Ada kendaraan. Bahkan, Handphone kita lebih mahal dari harga kambing kurban. Tapi sudah sungguh-sungguhkah kita mempersiapkan kurban?
Jika kita sebenarnya mampu berkurban, tapi tak mau berkurban, hendaklah kita takut dengan sabda Rasulullah ini: “Barangsiapa yang memiliki kelapangan untuk berkurban namun dia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami” (HR Ibnu Majah, Ahmad dan Al Hakim).(Advertorial/diskominfo/gun)