Di sebuah gang sempit dan buntu, Indiana Sunita, baru saja menerima paket dua plastik besar kulit ikan patin. Paket itu dikirim oleh mitra bisnisnya dari Kampung Patin atau Desa Koto Masjid, XII Koto Kampar, Riau. Seketika itu pula, dia menyalakan kamera smartphone dan merekam video singkat.
“Ini pesanan kita sudah sampai. Kulit ikan patin, ya guys. Kalau masih ada yang bilang ini kulit ular, wah, keterlaluan,” katanya, sambil merekam. Dia tampaknya sudah terbiasa bicara di depan kamera. Video itu lalu diunggah ke status WhatsApp dan beberapa akun sosial media Emak CW, seperti; TikTok dan Instagram.
Emak CW adalah sebuah brand lokal asal Pekanbaru, sekaligus rumah produksi berbagai jenis oleh-oleh khas Riau. UMKM ini dibangun oleh Indiana Sunita, bersama adiknya Cindera Wati, sejak tahun 2017 lalu. Lokasinya di Gang Angrela, Jalan Pesantren, Pekanbaru. Produknya didominasi keripik singkong, keripik kulit ikan patin, dan berbagai jenis oleh-oleh lainya.
Adapun nama Emak CW, sengaja dipilih sebagai bentuk representasi dari perempuan berdikari. Layaknya seorang ibu rumah tangga (Emak). Lalu, digabung dengan singkatan nama sang adik, Cindera Wati (CW).
Latar belakang pendidikan Indiana, adalah Magister Kesehatan Masyarakat (M.Kes). Dulu, dia berprofesi sebagai dosen di salah satu kampus di Pekanbaru. Motivasinya membangun usaha, karena ingin merdeka secara finansial, walau dirinya berstatus sebagai ibu rumah tangga. Sejak mengajar, dia sudah memulai usaha secara kecil-kecilan. Hingga pada akhirnya, Indiana banting setir menjadi pengusaha sepenuhnya. Fokus mengembangkan Emak CW.
Sebagai ibu rumah tangga, Indiana sangat familiar dengan singkong. “Dulu, daerah Kulim (salah satu kecamatan di Pekanbaru) paling dikenal dengan ubinya (singkong). Hampir semua warga punya kebun ubi. Saya melihat ada peluang dan potensi ekonominya sangat besar. Itulah awalnya mengapa kami memproduksi keripik singkong,” kata Indi, sapaan akrabnya saat berbincang dengan Bertuahpos.
Selama ini, singkong hanya dikenal sebagai cemilan biasa. Terlebih, di Kota Pekanbaru. Belum banyak yang berani menjadikan ubi sebagai produk olahan jadi. Paling hanya direbus atau digoreng. “Masalahnya, tidak semua orang suka. Lalu, saya coba berinovasi untuk membuat cemilan yang bernilai ekonomi tinggi. Cara mengolahnya tentu saja berbeda. Produk kita boleh dikatakan tanpa minyak. Renyah. Rasanya gurih. Bisa dikonsumsi oleh siapa saja,” ujarnya.
Indi cukup berani memulai usaha ini. Modalnya sangat terbatas. Apalagi, jika dilihat dari lokasi gerai dan rumah produksi Emak CW, berada paling ujung sebuah gang sempit dan buntu. Secara hitung-hitungan bisnis, sangat tidak potensial.
Namun, semua itu terbantahkan. Faktanya, gerai ini justru cukup ramai digandrungi pengunjung. Mereka yang sudah berlangganan, justru lebih sering datang kesini untuk mecicip dan bertransaksi langsung. “Karena masih baru waktu itu, jadi untuk menyewa ruko kami belum sanggup.”
Awalnya, Indi hanya memproduksi puluhan kilogram keripik singkong. Dia tidak malu menawarkan produk kepada teman, walau hanya sekadar mencicip. Setiap saran dan masukan ditampung. Itu dijadikannya sebagai kritik untuk meningkatkan kualitas produk. Hingga, ketemulah rasa yang pas. Ciri khas keripik ubi Emak CW ada pada bumbu yang diracik sendiri. Resepnya dipertahankan hingga saat ini. “Lalu, kami menambah varian rasanya,” ujarnya.
Di awal-awal berdiri, pemasaran produk menjadi tantangan tersendiri bagi Emak CW. Indi mengaku, tidak mudah membuat orang percaya. Walau hanya sekedar mencoba tester yang dijajakan. “Hampir setahun kami buka lapak di Car Free Day (CFD). Bawa sampel, supaya banyak orang bisa cicip.”
Usaha itu perlahan berbuah manis. Mereka yang cocok dengan rasa keripik singkong Emak CW, mulai berlangganan. Namun, hasilnya belum begitu memuaskan bagi Indi. Saat itu, 60% penjualannya bergantung pada reseller dan penjualan langsung.

Optimalisasi Pasar Digital Lewat Live Shopping
Tahun 2020, pandemi Covid-19 melanda. Badai itu turut menghantam pasar yang selama ini telah dibangun Emak CW. Indi, kemudian melihat peluang pasar baru lewat perkembangan sosial media (Sosmed) dan e-commerce — yang tumbuh begitu cepat. Mau tidak mau, mereka harus menjajal pasar digital. “Awalnya memang dari Sosmed,” katanya.
Setiap hari, Indi wajib memposting produknya ke Facebook, Instagram, TikTok, hingga status WhatsApp, dan mempercantik packaging untuk memaksimalkan pemasaran di e-commerce. Pelan namun pasti, upaya itu membuahkan hasil. Salah satu strategi bisnisnya, yakni memanfaatkan fitur live streaming dan live shopping di berbagai platform Sosmed dan e-commerce.
Live shopping adalah metode belanja online yang menggabungkan siaran langsung (live streaming) dengan pengalaman belanja, di mana penjual atau host mempresentasikan produk secara real-time kepada penonton yang dapat berinteraksi dan membeli produk secara langsung.
Rata-rata per hari, Indi harus melakukan live shopping 1-2 jam. Dimulai dengan spill dapur produksi, diakhiri dengan memperlihatkan dan mereview produk jadi. Dari pantauan Bertuahpos, hingga 29 Maret 2025, pengikut akun TikTok @emakcw_official mencapai 421,3 ribu dengan 7,7 miliar like. Sedangkan untuk akun Instagram @emakcw mencapai 62,9 ribu dengan 4.308 postingan.
“Sekarang, sekitar 70-80% penjualan kami berasal dari pasar digital. Mereka nonton video-video yang kami posting, lalu pesan. Ada juga yang langsung cari di e-commerce,” ujarnya.
“Sisanya, sekitar 20-30% langsung datang ke sini untuk beli atau dari reseller. Medsos, e-commerce dan marketplace kontribusinya sangat besar hingga mampu menaikan omzet hingga puluhan juta rupiah,” tambah Indi.
Saat ini, ada puluhan varian produk yang diproduksi Emak CW. Untuk keripik singkong saja, ada 19 varian rasa. Original, rempah gurih, pedas sedang, pedas sangat dan pedas manis, menjadi varian rasa paling banyak diminati.
Seiring dengan tingginya permintaan pasar, kebutuhan terhadap bahan baku singkong juga meningkat. Setidaknya, rumah produksi Emak CW membutuhkan lebih kurang 250 kilogram singkong per hari, untuk 500 bungkus cemilan keripik singkong.
Saat Ramadan seperti ini, jumlah permintaan semakin banyak. “Setidaknya kami butuh 500 kilogram ubi per harinya. Selain untuk stok di gerai, produksi juga tergantung orderan,” ujarnya.
Untuk menjaga ketersediaan bahan baku, Emak CW bermitra langsung dengan beberapa kelompok tani singkong di Pekanbaru. Termasuk menjalin mitra dengan kelompok tani cabai di beberapa daerah di Provinsi Riau, Payakumbuh dan Bukittinggi (Sumatera Barat).
Selain keripik singkong, keripik kulit ikan kini menjadi salah satu produk andalan Emak CW. Indi juga tidak pernah menyangka kalau inovasi menghadirkan olahan keripik kulit ikan patin itu, tinggi sekali peminatnya. Di hari biasa, setidaknya mereka harus memproduksi sekitar 150 toples.
Kendalanya, hanya pada ketersediaan bahan baku yang agak terbatas. Namun, Emak CW kini sudah menjalin kerja sama bisnis dengan beberapa petani ikan budidaya, khususnya dari Kabupaten Kampar, Riau.
“Keunggulan kita menggunakan cabai segar, tanpa bahan pengawet. Karena kita selalu menyediakan produk cemilan yang fresh,” sebutnya.
Peluang Pasar UMKM Lokal Lewat Platform Digital Terbuka Lebar
Perjalanan Emak CW yang dimulai dari sebuah gang sempit hingga mampu beradaptasi dengan era digital, bukan sebatas cerita transformasi menembus sekat antara dunia nyata dan maya. Justru, ini menjadi bukti bahwa perubahan adalah peluang sekaligus kunci untuk bertahan di tengah pergeseran tren konsumen yang begitu cepat.
Pasar digital sudah selayaknya dipandang sebagai peluang. Bukan ancaman. Khususnya bagi pelaku UMKM lokal di Riau saat ini. Menurut Tri Rachmadi, dalam bukunya: The Power of Digital Marketing (2020), realitas kekinian menunjukkan bahwa digital marketing — dengan memanfaatkan berbagai platform digital — terbukti lebih efektif dan lebih cepat untuk untuk menarik minat konsumen baru.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan, potensi pasar digital di Indonesia tahun 2025 diperkirakan mencapai US$146 miliar. Angka ini bahkan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Diprediksi akan terus tumbuh hingga Rp4,5 triliun tahun 2030. Sektor e-commerce mungkin akan mendominasi tren peningkatan pasar tersebut. Nilainya hingga Rp1.900 triliun (naik 34%).
Optimalisasi platform digital dalam pemasaran produk dapat dilakukan dengan melihat minat para user secara berkala. Sebagai pelaku UMKM lokal, Emak CW harus melakukan penyesuaian produk dengan selera pasar (tren kekinian). “Namun tidak meninggalkan ciri khas dari identitas produk kami, yang telah menemukan pasarnya sendiri,” ujar Indi.
Selain itu, Indi menyadari bahwa bisnis yang dilakoni tidak cukup jika hanya mengandalkan semangat dan modal besar. Seiring berjalannya waktu, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Itu harus dijawab dengan meningkatkan keterampilan non teknis yang berkaitan dengan kemampuan interpersonal, sosial dan komunikatif (soft skill).
“Salah satu yang paling berdampak bagi Emak CW, ketika saya mengikuti pelatihan pemasaran digital yang waktu itu diselenggarakan oleh Bank Indonesia,” jelasnya.
Dari pelatihan itu, Indi mendapatkan bimbingan yang lebih masif bagaimana meningkatkan omzet penjualan di pasar digital, bagaimana cara efektif memasarkan produk lewat digital, hingga manajemen keuangan usaha sesuai standar berlaku.
Hadirnya digitalisasi di dunia marketing memang terbukti efektif dalam membuka pasar produk UMKM lokal. Hanya saja, menurut praktisi digital di Pekanbaru, Maryo SA Putra, pelaku UMKM lokal seringkali dihadapkan dengan keterbatasan kemampuan untuk mengoptimalkan potensi itu.
Faktornya banyak. Salah satunya, lebih kepada kemampuan personal dalam mengoperasikan Sosmed dan platform digital. “Kalau kita bicara digital marketing atau platform digital untuk meningkatkan penjualan produk UMKM, itu sangat teknis sekali,” katanya kepada Bertuahpos, Sabtu, 29 Maret 2025.
Maryo, peluang pasarnya sangat potensial. Dari 6 juta penduduk Riau saat ini, anggaplah lebih dari setengahnya sudah mengoperasikan smartphone dan punya akun Sosmed. Jika 20% saja aktif di pasar digital, angka itu sudah lebih dari cukup untuk berkontribusi terhadap penjualan produk UMKM lokal.
Namun faktanya, terlalu sempit jika UMKM hanya melirik market lokal dengan hadirnya pasar digital. “Karena jangkauannya sangat luas. Jadi potensinya sangat besar sekali,” ujarnya.
Pelaku UMKM lokal perlu fokus pada inovasi produk sebagai daya tarik. Sebab, hampir setiap orang yang menggunakan Sosmed dan e-commerce, cenderung sudah paham dan mengerti cara transaksinya. Kendala utamanya justru ada pada pelaku UMKM-nya. Mereka terlalu sibuk pada produksi, sehingga mengabaikan inovasi dan pemanfaatan pasar digital jadi tertutup.
Oleh sebab itu, kata Maryo, perlu ada perhatian dan pendampingan khusus yang dilakukan oleh pihak terkait (salah satunya pemerintah daerah). “Perannya harus masif dalam hal meningkatkan kualitas SDM pelaku UMKM lokal, agar ceruk ini dapat dimanfaatkan dengan baik,” jelasnya.
“Apa yang dilakukan Emak CW — di awal-awal mereka masuk ke pasar digital — adalah sebuah keputusan yang tidak semua pelaku UMKM sanggup, dan berani melakukannya. Hal seperti ini yang perlu ditularkan ke yang lain,” sebut Maryo.
Saat ini, produk Emak CW tidak hanya dikenal di pasar lokal, tapi juga sudah merambah ke pasar nasional, bahkan internasional. Produknya sudah pernah di kirim ke beberapa negara, seperti; Australia, Filipina, Penang (Malaysia), hingga Texas (USA).
Selain gerai yang ada sekarang, Emak CW sudah punya ruko khusus penjualan produk di Jalan HR Subrantas, Pekanbaru. Saat ini, ada sekitar 45 karyawan dipekerjakan. Mayoritas adalah anak muda yang paham Sosmed, dari berbagai latar belakang.
Selain itu, Emak CW juga memfasilitasi para karyawannya dalam meningkatkan keterampilan, seperti diikutkan dalam berbagai pelatihan, hingga melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. “Alhamdulillah, kami terus tumbuh. Walau jumlah karyawan masih terbatas,” Indiana Sunita.***