BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Menanggapi isu soal perkelapasawitan Eropa, Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman mengatakan tanah dan iklim cuaca di Riau tidak cocok untuk ditanam bunga matahari.
Isu yang digelontorkan negara Eropa itu sangat berpengaruh terhadap bisnis dan perkebunan kelapa sawit di Riau. Namun, secara logis, sangat tidak mungkin Riau akan digantikan dengan bunga matahari.
“Itu tergantung wilayahnya. Ini menyangkut berbagai hal. Bunga matahari itu cocok untuk negara yang punya empat musim. Tapi tidak akan cocok jika itu diperuntukkan ke Riau,” katanya Andi Rachman, Kamis (20/04/2017).
Baca:Â Hadapi Resolusi Sawit Eropa, Indonesia Satu Suara
Dia menyampaikan, Riau berada di daerah khatulistiawa dengan komuditi unggulannya sawit. Sementara itu dari sisi perekonomian masyarakat, sawit begitu banyak memberikan penghidupan. Sangat tidak relevan jika harus dipaksakan ke kebun bunga matahari.
“Sawit itu komoditi unggulan di daerah khawatulistiwa. Saya rasa masalah seperti ini tergantung dari wilayah masing-masing lah. Pemprov Riau tentu akan sangat berharap dengan kebijakan pusat. Logikanya kan seperti itu,” tambahnya.
Produk sawit Indonesia kini tengah dipersoalkan Eropa. Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi yang menyatakan sawit Indonesia terkait erat dengan isu pelanggaran HAM, korupsi, pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, mengungkapkan resolusi tersebut memang belum berdampak pada penurunan ekspor sawit untuk jangka pendek. Namun dalam jangka menengah dan panjang, resolusi tersebut akan membawa konsekuensi yang cukup merugikan.
“Apakah ada dampaknya ke ekspor? Jangka pendek belum ada. Namun saya sampaikan adanya resolusi ini membuat citra industri hilir sawit semakin buruk di mata internasional, terutama di Amerika dan Eropa yang selama ini memang sering memberi stigma negatif,” kata Joko.
Stigma miring atas sawit yang semakin menguat itu, sambung dia, akan membuat ekspor dan harga minyak sawit tertekan dalam jangka menengah dan panjang. Efek domino lainnya, yakni resolusi tersebut bisa membuat negara-negara lain melakukan hal serupa pada komoditas andalan ekspor Indonesia tersebut.
Dampak buruk lainnya, tentunya bisa memperburuk posisi Indonesia dalam perundingan perdagangan bebas Indonesia dan Uni Eropa dalam CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement).
Menurut Joko, tanpa sawit sebenarnya akan lebih banyak tegakan hutan yang hilang. Ini karena produksi minyak sawit atau CPO, salah satunya untuk bahan baku biodiesel, jauh lebih efisien dalam penggunaan lahan dibandingkan minyak nabati lain.
“Kalau pertimbangan (keluar resolusi) karena lingkungan, justru biodiesel dari sawitlah yang lebih efisien dalam penggunaan lahan. Dengan penghapusan biodiesel sawit, justru dampaknya lebih besar karena butuh lahan lebih luas,” kata Joko.
Dia menuturkan, minyak nabati yang berasal dari rapeseed, minyak kedelai, dan biji bunga matahari justru membutuhkan lahan lebih luas untuk memproduksinya. Dampaknya, alih fungsi hutan bisa lebih masif jika sawit kemudian digantikan minyak nabati lain tersebut.
“Kalau asumsi angka kebutuhan produksi minyak nabati di 2025 itu 5 juta ton per tahun, kalau pakai rapeseed saja maka perlu lahan baru 51,6 juta hektar,” jelas Joko.
Sebagai perbandingan, produktivitas minyak dari sawit tahunan per hektarnya sebesar 4,2 ton. Jauh mengungguli produktivitas minyak nabati dari rapeseed yang hanya 0,6 ton per hektar, minyak biji bunga matahari 0,5 ton per hektar, dan minyak kedelai 0,4 ton per hektar. (bpc3)