BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Buruh sangat identik dengan ketimpangan kesejahteraan. Persepsi ini sebenarnya muncul atas dasar penyimpulan umum di tengah masyarakat. Sebentar lagi hari buruh dunia (Mayday), pada 01 Mei 2017.
Buruh itu adalah mereka yang bekerja pada usaha perorangan dan diberikan imbalan kerja secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis, yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian.
Imbalan itu diberikan atas jualan jasa. Semakin besar porsi kerja, semakin besar upah yang diterima. Namun hal ini sepertinya tidak berlaku bagi mereka yang mengabdikan diri di dunia pendidikan. Ironisnya, lembaga pendidikan itu bukan swasta, tapi negeri. Negara yang punya.
‘Buruh pendidikan’ ini sangat jauh dari kata sejahtera. Para guru dan tenaga administrasi di sekolah ini mendapatkan upah tidak seimbang dengan porsi kerja mereka, yang lebih banyak menghabiskan waktu di lembaga pendidikan sehingga harus mengorbankan anak dan istri.
Baca: Mayday, Disnakertransduk Riau Bahas Ini dengan Serikat Buruh
“Gaji saya hanya Rp 600 ribu/bulan,” kata Putri, seorang tenaga honorer di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Pekanbaru, Kamis (27/04/2017). “Di sekolah ini saya bekerja sebagai tenaga administrasi. Masuk jam 07.00 pagi, sampai pukul 13.30 siang,” katanya.
Putri juga sering melakukan rekap untuk gaji guru hohorer di sekolahnya, dari dialah diketahi bahwa upah serupa juga diberikan kepada guru honor di sekolah itu.
Dengan upah Rp 600 ribu, ternyata bukan hanya untuk gaji sesuai jam kerja. Gaji mereka hanya Rp 450 ribu, jika ikut dalam kegiatan ekskul di sekolah barulah honornya ditambah Rp 150 ribu/bulannya.
“Ya, harus dicukupkanlah untuk keluarga,” kata Onda, guru honorer di salah satu sekolah negeri di Pekanbaru, kepada bertuahpos.com. “Saya ada suami, ini sebagai bentuk pengabdian,” tambahnya.
Melihat kondisi Putri dan Onda, miris rasanya. Di tengah pemerintah mendorong kepada perusahaan untuk memberikan upah buruhnya dengan gaji yang layak, lembaga pendidikan negeri di bawah naungan pemerintah sendiri justru tidak memberikan upah yang layak kepada para pengabdinya.
Meski Putri dan Onda sudah menetapkan hati bahwa pekerjaan mereka sebuah pengabdian, juga tidak ada salahnya kesejahteraan ‘buruh pendidikan’ ini diberi secara layak. (bpc3)