BERTUAHPOS.COM – , JAKARTA – Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (DPP PAN) Dradjad Wibowo, mengungkap, rekam jejak antara masa awal versus masa akhir jabatan seorang presiden lebih obyektif dibandingkan dengan seberapa sering menaikkan atau menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Dikatakan, jika harga bahan bakar minyak (BBM jenis premium) dibandingkan antara posisi pada saat awal masa jabatan dengan saat akhir masa jabatan, atau posisi terakhir untuk Presiden SBY, maka urutannya adalah sebagai berikut; Presiden Soeharto tercatat sebagai Presiden yang paling tinggi menaikkan harga premium, dengan kenaikan 700 persen dari Rp 150 menjadi Rp 1200.
“Pada urutan kedua adalah Presiden SBY, dari Rp 1810 menjadi Rp 6500, atau kenaikan sebesar 359.1 persen. Urutan ketiga adalah Presiden Abdurrahman Wahid, dari Rp 1000 menjadi Rp 1450, atau kenaikan 45 persen.
Presiden Megawati Soekarnoputri pada urutan keempat dengan kenaikan hanya 24.8 persen dari Rp 1450 menjadi Rp 1810. Presiden BJ Habibie menurunkan harga premium 16.7 persen, dari Rp 1200 menjadi Rp 1000,” ujar Drajad Wibowo.Â
Jika Presiden SBY ingin “mengalahkan” rekam jejak Gus Dur maka harga premium harus diturunkan menjadi maksimal Rp 2624.5 per liter sebelum lengser. Sesuatu yang saya lihat secara ekonomi sangat sulit dibayangkan. Lebih sulit lagi jika Presiden SBY ingin “mengalahkan” rekam jejak Presiden Megawati. Karena, harga premium harus diturunkan menjadi paling tinggi Rp 2258.9 per liter,” papar Dradjad Wibowo.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan keputusan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak(BBM) adalah pilihan alternatif terakhir dari pemerintah. Hal itu dilakukan demi menyelamatkan perekonomian Indonesia.
“Pemerintah sadar akan menimbulkan inflasi dan berdampak kepada menurunnya daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, ini adalah pilihan sulit dan merupakan alternatif terakhir yang diambil pemerintah,” kata Hatta saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Jumat (21/6/2013) malam.
Hatta mengatakan krisis ekonomi global telah berimbas kepada ekonomi Indonesia. Misalnya menurunnya harga konmoditi dunia dan berdampak ke penerimaan negara.
Kemudian meningkatnya harga minyak dunia dan membengkaknya konsumsi bahan bakar minyak(BBM).
Selain itu lanjut Hatta, menurunnya produksi minyak domestik telah berakibat kepada potensi meningkatnya konsumsi BBM bersubsidi serta berpotensi kepada defisit anggaran yang sudah melampaui 3 persen dan tentu tidak dibenarkan Undang-undang.
Lebih jauh Hatta menjelaskan sebesar 70 persen subsidi juga dirasakan tidak tepat sasaran dan dirasakan kurang adil oleh masyarakat miskin.
“Kita perlu ambil langkah untuk menyehatkan ekonomi kita sejalan dengan APBNP 2013 yang telah diundangkan, maka pemerintah ambil langkah penyesuaian harga BBM,” ujar Hatta.
Dalam pesan berantai dari BlackBerry messenger diungkap urutan kenaikan harga BBM sejak jaman Presiden Soeharto hingga Presiden SBY. (pekanbaru.tribunnews.com)