Organisasi Pariwisata Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO), berpendapat bahwa pariwisata berkelanjutan merupakan Pariwisata yang benar-benar memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan demi memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, linkungan dan masyarakat setempat.
Karakteristik ini ada pada Pacu Jalur Kuansing sebagai sebuah tradisi. Jelaslah bahwa, ajang Pacu Jalur yang selalu ditampilkan, lebih dari sekadar lomba adu cepat atau adu ketangkasan mendayung.
Pacu Jalur adalah warisan nilai gotong royong, penghargaan terhadap lingkungan, leluhur dan warisan budaya yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Riau.
“RAPP bangga dapat mendukung pariwisata lewat Festival Pacul Jalur yang merupakan salah satu warisan budaya di Riau,” kata Wan Mohd Jakh Anza, General Manager Stakeholder Relations PT RAPP.
Menurutnya, perusahaan sangat mendukung tradisi tertua di Riau ini. “Pacu Jalur memberikan kita kesempatan untuk melepas kerinduan dengan menghidupkan kembali industri pariwisata yang sempat tertekan pandemi agar bisa tumbuh secara berkelanjutan, ungkapnya.
Festival Pacu Jalur tidak hanya menarik perhatian turis dari seluruh dunia yang berbanding lurus dengan perputaran roda ekonomi lokal, namun juga kesempatan masyarakat untuk memperkuat akar identitas dan terus mewariskannya pada generasi masa depan.
Apa jadinya ketika sebuah perlombaan olahraga berpadu dengan kekayaan budaya berusia ratusan tahun dan masih lestari hingga hari ini? Itulah Pacu Jalur. Tradisi Pacu Jalur adalah lomba mendayung khas Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.
“Setelah sempat vakum selama dua tahun karena pandemi, tradisi ini kembali diadakan di sepanjang Sungai Batang Kuantan sebagai simbol keunikan dan keharmonisan masyarakat Riau,” kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau Roni Rahmad.
Mengulik sejarah pacu jalur memang tak putus sehari. Dimulai dari abad ke-17, Pacu Jalur bermula dari sebuah sistem transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, sebuah daerah di sepanjang Sungai Kuantan.
Masyarakat belum mengenal transportasi darat pada waktu itu karena Sungai Kuantan masih menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar.
Mulai dari memancing, mencuci pakaian dan mandi, hingga sebagai jalur transportasi. Kata Jalur sendiri dalam Bahasa tradisional Riau berarti Perahu.
Mampu menampung 40 hingga 60 orang, masyarakat beramai-ramai menggunakan Jalur untuk mengangkut hasil bumi seperti pisang dan tebu.
Seiring waktu, muncul berbagai Jalur yang diberi ukiran-ukiran indah, selendang, tali-temali dan berbagai aksesoris pemanis lainnya.
Lambat laun, Jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat angkut namun juga sebagai simbol status sosial masyarakat pada kala itu.
Pasalnya, hanya datuk-datuk, bangsawan atau penguasa wilayah saja yang dapat mengendarai Jalur berhias. Semakin mewah hiasannya, semakin eksklusif pula Jalur tersebut.
Barulah pada abad ke – 18, warga mulai menggelar lomba adu kecepatan antara Jalur yang sampai hari ini dikenal sebagai Pacu Jalur.
Satu hal yang unik dari tradisi Pacu Jalur adalah bahan utama dalam membuat perahunya. Jalur dibuat dari kayu utuh yang diambil dari hutan tertentu dengan syarat tertentu pula. Dalam sejarahnya juga terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk dapat membuat sebuah Jalur, seperti:
- Rapek kampuang/banjar atau rapat desa
- Mencari kayu
- Manobang kayu atau menebang kayu
- Mangabung kayu atau memotong kayu
- Melepas benang dan pendadaan
- Mencaruk atau mengeruk bagian dalam kayu
- Menggiling, Manggaliak dan membuat perut
- Membuat lubang kakok menggnakan bor
- Manggaliak dan Menggantung timbuku
- Membentuk haluan atau kemudi
- Maelo Jalur atau menarik Jalur
Setelah haluan dan kemudi terbentuk, sebuah Jalur dianggap telah setengah jadi dan siap untuk dibawa pulang ke desa.
“Lagi-lagi, pekerjaan ini membutuhkan partisipasi banyak warga desa yang akan bergotong royong menarik Jalur. Tahap ini dapat memakan waktu cukup lama hingga lima atau enam minggu,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau Yoserizal.***