BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Masyarakat di Riau, terutama petani tradisional di daerah pesisir memiliki kebiasaan untuk membakar tanah lahan dikebunnya sebelum menanam. Mereka menamakannya dengan istilah merun.
Lalu, mengapa harus ada tradisi merun?
Ketua Kelompok Tani Harapan Baru Kampung Lalang, Kecamatan Sungai Apit, Siak Sri Indrapura, Doni mengatakan bahwa tradisi merun dilakukan agar tanah kebun di kampungnya menjadi subur. Menurut dia, tanah lahan gambut mempunyai pH yang rendah, atau tingkat keasaman tanahnya tinggi.
“Merun atau pembakaran ini adalah cara untuk mengurangi asam di lahan gambut. Itulah kenapa ada kebiasaan merun,” jelas Doni kepada bertuahpos.com.
Tradisi merun sebelum menanam terus dilakukan petani dari generasi ke generasi. Namun, karena maraknya kebakaran hutan dan lahan, pemerintah kemudian melarang pembakaran di kebun masyarakat.
“Karena ada larangan dari pemerintah, maka kami tak lagi berani merun. Banyak yang patroli ke kampung kami, ada TNI juga. Kalau berani bakar-bakar, bisa ditangkap,” kata petani di Kampung Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Siak, Sumarno.
Karena tak lagi diperbolehkan memerun, para petani kemudian diberikan pelatihan untuk mengurangi asam lahan gambut dengan pupuk organik. Petani dilatih untuk melakukan penanaman, tanpa melakukan merun.
Salah satu caranya adalah dengan program Pertanian Lahan Tanpa Bakar (PLTB). Petani Kampung Lalang dilatih membuat pupuk cair alami F1 M-Bio.
“Memerun atau membakar lahan ini gunanya adalah untuk mengurangi asam dari lahan gambut ini. Nah, karena tak boleh lagi memerun, kami diajarkan membuat pupuk cair alami untuk mengurangi asam lahan gambut. Namanya pupuk F1 M-Bio,” tambah Doni.
Pupuk F1 M-Bio sendiri berbahan dasar sisa atau sampah nenas, tomat busuk, kemudian dicampur tepung tapioka, terasi, dan gula pasir. Kemudian, bahan-bahan tersebut dimasak selama 30 menit. Setelah didiamkan 18 jam, sebagai bakteri, dicampur kotoran ayam.
“Kemudian, esok harinya baru bisa digunakan. Modal satu liter kental pupuk F1 M-Bio ini Rp40 ribu. Satu liter bisa dicampur dengan 60 liter air, dan bisa digunakan untuk satu hektare lahan,” jelas dia.
Menurut Doni, hasil tanaman dengan merun lebih bagus daripada tanpa merun. Tanaman dengan pupuk F1 M-Bio menurut Doni kurang hijau, dibandingkan dengan lahan dengan merun.
“Hasilnya tak sebagus dengan merun. Tapi, untuk ikut aturan, kita tetap menggunakan pupuk F1 M-Bio ini, dan tak lagi merun. Sekarang, sistem berkebun tanpa merun ini diikuti oleh anggota kelompok tani kita,” jelas Doni.
Hal yang sama juga diungkapkan salah satu petani Kampung Lalang, Tri. Menurut Tri, memang sudah ada panen dengan sistem PLTB ini, seperti jagung, kacang tanah, dan terong. Tri mengatakan tanaman di lahan merun memang lebih baik daripada lahan tanpa bakar.
“Tapi kami jadi bergantung ke pupuk. Dulu kalau dibakar, tanahnya sudah subur, pupuknya sedikit saja. Tapi kalau tak dibakar, perlu pupuk F1 M-Bio, kompos, dolomit, banyak lagi. Hasilnya lebih memuaskan yang dibakar,” kata Tri.
Meski demikian, Tri mengatakan sudah bagus saat ini dengan pertanian tanpa bakar ini. Namun, dia mengharapkan ada pelatihan lanjutan bagi petani untuk tak lagi bergantung ke pupuk, khususnya pupuk kimia. (bpc4)