Raut muka Sudarman berseri-seri. Ia senyum-senyum saat memperkenalkan seekor anak sapinya yang baru saja lahir. “Alhamdulillah, saya baru diberi hadiah,” kata Ketua Kelompok Tani Bhina Mukti Sari itu, saat Bertuahpos.com menyambangi kandang sapinya, di Seruling 11, Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau, Sabtu, 24 Agustus 2024.
Total sapinya di kandang saat ini sudah delapan ekor. Sapi-sapi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari Sudarman dan keluarganya. Setiap kotoran yang dihasilkan menentukan seberapa lama dapurnya mengepul, berapa banyak jumlah ikan akan dipanen, seberapa subur sayur mayurnya tubuh di kebun.
Kandang sapi milik Sudarman memang tidak besar. Ukurannya sekitar 16 x 10 meter per segi. Sepintas tak ada yang istimewa di kandang ini. Ya, layaknya kandang sapi pada umumnya.
Namun, di bagian belakang kandang, terhubung ke bak penampungan awal kotoran sapi, bak reaktor berbentuk lingkaran berkubah, pipa penyalur gas, outlet sebagai ruang pemisah, dan bak penampung slurry. Semua ini merupakan satu rangkaian dari reaktor biogas berbahan dasar kotoran sapi.
Kotoran sapi yang masuk ke bak penampung di lumat dengan alat khusus, lalu dialirkan ke bak reaktor. Dalam durasi tertentu, gas akan menguap dengan sendirinya, terpisah dari limbah kotoran sapi. Gas itu lalu terperangkap di bagian kubah, kemudian dialirkan ke pipa penyalur gas yang terhubung ke kompor dan lampu teras rumah milik Sudarman.
Sedangkan limbah biogas yang mengendap di bagian bawah kubah, teraliri ke outlet ruang pemisah, dan mengalir ke bak penampungan slurry.
Ini bukan akhir dari perjalanan limbah itu, melainkan awal dari pengolahan limbah biogas (bio-slurry) untuk menghasilkan pupuk organik cair (POC) dan Pupuk Organik Padat (POP). “Jadi, hampir tak ada bagian yang terbuang dari kotoran sapi,” kata Sudarman.
Di dapur rumahnya, Sudarman memperlihatkan perbandingan nyala api kompor dari biogas dan gas melon. Warnanya dominan biru, lebih pekat. Sedangkan api kompor yang dinyalakan dengan gas melon, warnanya biru agak terang, kekuning-kuningan.
Selesai dengan urusan dapur, Sudarman kemudian memperlihatkan lampu teras rumahnya. Setelah kran gas dibuka, dia memantik api ke bola lampu itu. Sesaat kemudian lampu itu menyala terang. Warnanya kuning temaram. “Lebih dari cukup untuk lampu teras,” katanya.
Hemat Biaya Pakan dan Pupuk dengan Bio-slurry
Ekonomi keluarga Sudarman saat ini, boleh dikatakan cukup bergantung pada sapi-sapi itu. Bukan soal berapa nilai uang yang didapat. Tapi, seberapa besar nilai pundi-pundi rupiah yang dihemat.
Dari Kotoran sapi ini, setidaknya ada tiga produk bernilai ekonomi tinggi. Yakni biogas yang dimanfaatkan untuk kebutuhan memasak dan lampu penerangan, dan bio-slurry sebagai bahan baku POC dan POP.
Ketiga produk ini berpeluang menjadi ladang pundi-pundi cuan baru bagi Sudarman, dan warga Desa Mukti Sari yang menerima manfaat dari Program Desa Energi Berdikari (DEB).
Dulu, paling tidak empat tabung gas melon (gas elpiji 3 kilogram) sebulan—untuk menutupi kebutuhan konsumsi keluarganya. Harga per tabungnya sekitar Rp25 ribu. Artinya, Sudarman perlu merogoh kocek sebesar Rp100 per bulan untuk membeli gas melon isi ulang.
Sejak menggunakan biogas, penghematannya mencapai Rp80 per bulan. “Sekarang saya cuma beli satu tabung gas melon, itupun untuk cadangan. Penghematan ini termasuk satu lampu teras yang menggunakan biogas. Sekarang, saya juga alirkan gas ke dapur tetangga. Artinya, satu reaktor biogas saya, bisa untuk kebutuhan 2 kompor gas,” tuturnya.
Peluang ekonomi lain yang sangat potensial untuk dikembangkan, yakni dari limbah biogas atau bio-slurry. Limbah itu ditampung dalam bak besar di belakang kandang sapi milik Sudarman. Di bagian atasnya adalah limbah padat. Bentuknya seperti bubur hijau tua yang mengapung. Sedangkan di bagian bawah adalah limbah cair. Warnanya hijau muda.
Sudarman menuang bio-slurry cair dari jerigen ke ember kecil, lalu dituangkan ke bak kolam yang berisi bibit ikan nila merah. Saat bercampur dengan air, limbah cair itu menyebar dari dasar kolam. “Inilah yang membedakan limbah cair biogas dengan yang lainnya,” ujar dia.
Sedangkan limbah padat dari kotoran sapi, juga efektif untuk dijadikan pakan organik ikan, ayam maupun bebek. Sudarman sudah mencobanya di bak kolam peternakan lele miliknya. “Kemarin saya baru panen,” tuturnya.
Biasanya, kata dia, pakan lele yang dibutuhkan hingga panen sekitar tiga karung. Sejak memakai limbah padat, dia bisa menghemat dua karung pakan ikan.
“Satu karung, harganya sekitar Rp300 ribuan lah. Setelah menggunakan limbah padat, saya cuma beli sekarung pakan sampai panen. Itu pun nggak habis. Penghematannya sekitar Rp700 ribu hingga Rp800 ribuan,” jelasnya.
Di desa ini, Sudarman punya satu kapling kebun sawit. Pupuk organik dari limbah biogas ini telah menggantikan pupuk kimia untuk kebun sawitnya.
Biasanya, dalam sebulan dia butuh sekitar 10 karung pupuk kimia untuk kebutuhan dua hektar kebun sawit itu. Harga per karungnya Rp680 ribu. Artinya, Sudarman harus merogoh kocek hingga Rp6,8 juta per bulan untuk membeli pupuk kimia.
Sejak menggunakan pupuk organik dari limbah biogas, Sudarman hanya cukup membeli sekarung pupuk kimia untuk mempercepat pertumbuhan akar sawit. Dengan kata lain, dia mampu menghemat sembilan karung pupuk kimia, atau sekitar Rp6,1 juta per bulannya.
“Hematnya luar biasa, Mas. Hasilnya panennya juga luar biasa. Kalau biasanya pakai pupuk kimia, hasil panen sawit saya di bawah satu ton. Sejak pakai pupuk organik dari bio-slurry, hasil panen sawit saya normal di satu ton untuk satu kapling. Kadang-kadang bisa lebih,” jelasnya.
Dari penuturan Sudarman, tergambar jelas seberapa besar potensi penghematan biaya keluar yang bisa dia tekan, yakni sekitar Rp6,9 juta per bulannya. Angka yang fantastis, untuk ukuran ekonomi sebuah keluarga.
“Hitungan ini belum termasuk potensi ekonomi dari sayur mayur yang kita tanam sendiri, Mas. Karena memang untuk konsumsi kita aja, bukan untuk dijual,” jelasnya.
Cerita lain tentang potensi ekonomi dari pupuk organik ini, juga datang dari kenalan saudara Sudarman. Beberapa waktu lalu, ada seorang pengusaha padi dari Pangandaran, Jawa Barat, tertarik ingin mencoba produk pupuk organik limbah biogas yang dihasilkan dari Kelompok Tani Bhina Mukti Sari ini.
Di luar dugaan. Setelah mencobanya, rumpun padi itu tumbuh lebih kokoh, lebih tinggi, hasil panen meningkat hingga 30%, kualitas beras lebih padat dan tingkat kepatahan beras jauh lebih minim.
Manfaat pupuk organik dari limbah biogas juga dirasakan oleh Muliardi. Pria berusia 78 tahun ini akrab disapa Mbah Suhada. Dia bergabung dengan program DEB berbasis biogas sejak akhir 2022.
Dulu, dia punya tujuh ekor sapi. “Tapi sekarang tinggal empat ekor,” katanya dengan logat khas lansia.
Selain punya empat ekor sapi yang diternakkan di kandang belakang rumahnya, Suhada juga punya satu kapling kebun sawit dan sebidang sawah.
Kapasitas reaktor untuk kebutuhan rumah tangganya juga terbilang kecil, hanya 6 meter kubik. Tapi, sejak lama, dia sudah meninggalkan gas melon dari untuk kebutuhan dapurnya. “Kalau untuk kebutuhan masak, sudah sangat cukup. Bahkan berlebih,” tuturnya.
Suhada juga memanfaatkan pupuk organik dari limbah biogas untuk kebutuhan sawah dan kebun sawitnya. Dari sisi ekonomi, penghematan biaya keluar begitu terasa.
Misalnya, penghematan untuk pembelian pupuk. Rata-rata per bulan cuma sekitar Rp1 jutaan, sejak menggunakan bio-slurry. Perbedaan dari sisi fisik pohon sawitnya begitu terlihat.
“Dulu waktu saya masih pakai pupuk kimia, daunnya sering agak menguning. Sekarang lebih hijau, dan lebih rimbun dengan pupuk organik,” ujar Suhada.
Sedangkan dari jumlah panen, saat menggunakan pupuk kimia hanya sekitar 700 kilogram. “Kini sudah stabil di 1 ton,” sambungnya. “Kalau padi, sejak saya pakai pupuk organik, kualitas berasnya lebih terasa. Lebih padat.”
Menjajaki Potensi Ekonomi Bio-slurry
Sebagai penerima manfaat, Sudarman sadar betul bahwa Program DEB bukan hanya bicara soal biogas. Tapi ada produk lain, yakni bio-slurry. Limbah dari biogas ini menjadi bahan baku untuk pembuatan Pupuk Organik Cair atau POC, dan Pupuk Organik Padat atau POP. Potensi ekonominya sangat menjanjikan.
Saat ini, upaya produksi bio-slurry menjadi POP dan POC dalam skala besar sedang dijajaki. Kelompok Biotama Agung Lestari—merupakan turunan dari Kelompok Tani Bhina Mukti Sari—dipercaya untuk pengelolanya.
Menurut Manager Corporate Social Responsibility (CSR) PHR WK Rokan, Pinto Budi Bowo Laksono, masyarakat penerima manfaat mampu menghasilkan rata-rata 773,3 liter POC per bulan. Dalam tiga kali produksi jumlahnya bisa mencapai 2.000 liter.
“Potensi pengembangannya masih sangat besar,” katanya saat Aktivasi DEB, di Desa Mukti Sari, pada Juni lalu.
Hal ini benar adanya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Yayasan Rumah Energi (YRE)—mitra PHR untuk pendampingan Program DEB di Desa Mukti Sari—per Agustus 2024, total produksi POC mencapai 1.000 liter per bulan. Sedangkan total produksi POP menyentuh angka 4 ton per sekali produksi.
Kedua produk ini memang sudah dilepas ke pasaran, meski belum optimal. Sebab, ada beberapa administrasi yang masih berproses. POC dengan merek; Prima Bioslurry ini dijual Rp30 ribu per liter. Sedangkan POP dengan merk; Kompos Prima bioslurry Padat, dijual Rp3 ribu per kilogram.
“Kendalanya sejauh ini hanya pada peralatan produksi yang masih kurang. Solusinya masih mencoba mencari bantuan,” ujar kata Community Development Officer YRE, Femi Rianto saat dihubungi Bertuahpos.com, Selasa, 27 Agustus 2024.
Sedangkan para pengguna biogas, atau masyarakat penerima manfaat dari Program DEB ini, dapat menggunakan bio-slurry secara langsung ke tanaman mereka. Pengembangan demi pengembanganpun terus dilakukan.
Kini, DEB berbasis biogas di Desa Muktisari, tak mentok di kotoran sapi saja, melainkan sudah dikembangkan dari limbah organik pasar, limbah tahu, limbah dari santri Ponpes, dan kotoran kambing.
Bukan Sekadar Ketahanan Energi
Program DEB masuk ke Desa Mukti Sari pada tahun 2022 lalu. Program ini merupakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) WK Rokan, sebagai salah satu unit usaha PHE.
Hadirnya DEB tak lain untuk membangun kemandirian energi dan ekonomi mayarakat desa berbasis energi bersih dan terbarukan, seperti matahari, air, angin dan biogas. Tujuannya, untuk mengurangi emisi karbon, percepatan transisi energi masyarakat, dan mendukung target pemerintah terwujudnya Net Zero Emission (NZE) tahun 2060.
Adapun program DEB berbasis biogas diharapkan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat demi mendorong pemanfaatan energi terbarukan biogas, lewat limbah organik.
“Selain itu, masyarakat penerima manfaat juga diajarkan cara memanfaatkan bio-slurry sebagai pupuk secara mandiri, maupun dipasarkan sebagai pupuk organik, sehingga berdampak terhadap ekonomi masyarakat,” kata Pinto.
Hingga saat ini, total sudah ada 21 reaktor biogas dibangun PHR WK Rokan. Sebanyak 20 rektor berdiri di Desa Mukti Sari, dan satu reaktor dibangun di Kelurahan Maharani, Kecamatan Rumbai Barat, Pekanbaru. Jumlah ini meningkat seiring dengan tingginya minat masyarakat untuk menjadi bagian dari penerima manfaat.
“Program ini mencatatkan potensi reduksi emisi karbon hingga 56,8 ton CO2 equivalent per tahun, dan pengelolaan limbah organik sebesar 319,38 ton pada tahun 2023,” kata Pinto.
Adapun DEB Mukti Sari, merupakan satu dari 28 DEB di seluruh Indonesia. Mukti Sari merupakan DEB berbasis biogas terbesar dengan total kapasitas reaktor mencapai 165 meter kubik.
Reaktor biogas di desa ini telah memberikan manfaat kepada 150 orang, termasuk anggota Kelompok Tani Biotama Agung Lestari, peternak, santri pondok pesantren, dan masyarakat umum.
PHR bekerja sama dengan YRE dalam memberikan pelatihan pembangunan konstruksi reaktor. Selain menyediakan energi, kata Pinto, instalasi biogas juga memberikan efek berganda dengan menghasilkan bio-slurry, yaitu ampas biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.
Program DEB telah menjadi akses energi yang terjangkau bagi masyarakat desa, meningkatkan kualitas hidup melalui manfaat ekonomi tambahan, serta mengurangi pencemaran udara dan polusi lingkungan.
Dia menekankan bahwa Program DEB masih akan terus berkembang. Tahun 2024, PHR memperluas jangkauan program ini ke daerah operasi PHR WK Rokan bagian utara, khususnya di Kabupaten Rokan Hilir.
“Melalui implementasi teknologi biogas yang ramah lingkungan, program ini tidak hanya berfokus pada ketahanan energi, tetapi juga berkontribusi dalam mewujudkan ekonomi sirkular untuk kesejahteraan masyarakat desa,” ujarnya.
Semangat Percepatan Transisi Energi
Di tengah isu krisis energi global, transisi energi menjadi sebuah keniscayaan. Desa Mukti Sari adalah bukti, bahwa kemandirian energi secara nyata bisa diwujudkan.
“Keberadaan reaktor biogas telah memberikan nilai tambah yang signifikan dan mendorong masyarakat memanfaatkan lahan pekarangan untuk berkebun sayur dan buah-buahan,” kata Kepala Desa Mukti Sari, Waryono.
Selain itu, berbagai bentuk penghematan yang diperoleh, menjadi indikator bahwa program ini memberikan dampak nyata kepada masyarakat. Tak hanya dari sisi kemandirian energi, melainkan juga di sektor ekonomi. “Ini adalah hal baik bagi desa kami,” ujar Mulyono.
Apa yang sudah dilakukan PHR di Desa Mukti Sari, telah membuka akses harapan baru bagi masyarakat setempat dan meringankan beban negara, di tengah isu krisis energi global yang mendera saat ini.
Faktanya, transisi energi bukan bukan hal mustahil untuk diwujudkan, dan harus terus dilakukan. “Walaupun secara bertahap,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya saat upacara Hari Lahir Pancasila, pada 1 Juni 2024, di Lapangan Lapangan Garuda PHR, Kota Dumai.
Presiden menekankan, bahwa transisi energi bukan cuma jadi motor penggerak, tapi mempercepat terwujudnya energi hijau di Tanah Air. Seluruh pihak didorong untuk memanfaatkan semua potensi yang ada, demi terwujudnya energi hijau, sebagaimana dicita-citakan.
“Dampaknya tak hanya di sektor lingkungan, tapi juga menjadi nilai tambah dalam negeri untuk tujuan kesejahteraan masyarakat,” ucap Presiden.***