Kicauan Dr. drh. H. Chaidir, MM
BERTUAHPOS.COM – PEMILU 2024 yang mendebarkan tinggal menghitung hari. Itu satu hal. Hal lain yang juga mendebarkan, mencemaskan dan menakutkan, kita berhadapan dengan fenomena VUCA yang semakin menjadi-jadi, datang menyambar cepat seperti kilat. Gerangan makhluk apakah VUCA itu? VUCA akronim dari Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity, yang bila dimaknai lebih dalam membuat kita bimbang. Rasanya ‘nano-nano’, yang ada jadi tiada, yang jauh jadi dekat yang dekat jadi jauh, yang benar bisa jadi salah yang salah bisa jadi benar.
Ringkasnya, Volatility atau volatilitas bisa diartikan bergejolak, mudah menguap, cepat berubah dan mudah meledak, membuat kita takut tak sudah-sudah. Uncertainty berarti ketidakpastian, susah diprediksi, membuat kita harap-harap cemas berkepanjangan. Complexity atau kompleksitas, dimaknai sebagai situasi rumit ibarat benang kusut, tak jelas mana ujung mana pangkal. Ambiguity atau ambiguitas diartikan sebagai keadaan yang tidak jelas, membingungkan atau menyesatkan.
Frasa VUCA muncul dalam teori kepemimpinan Warren Bennis dan Burt Nanus pada 1987, yang kemudian digunakan dalam pelatihan kepemimpinan militer (Amerika) di US Army War College untuk menggambarkan geopolitik yang berubah cepat di era 1990-an mulai dari keruntuhan Soviet hingga Perang Teluk dan Afghanistan. Pada masa itu, pasukan Amerika tengah berada di medan tempur gelap, posisi lawan dan kawan tidak jelas, sementara dukungan informasi sangat terbatas. Ini tentu sangat menyulitkan dan memerlukan strategi khusus untuk mengatasinya. VUCA kemudian menjadi fenomena gambaran masa depan yang menghantui pola pikir manusia dalam era perubahan cepat yang sedang melanda dunia.
Namun dalam pemahaman insaniyah, sketsa VUCA itu sebenarnya sudah ada, in-heren, laten, dalam masyarakat atau dalam diri kita masing-masing, baik-buruk, positif-negatif, apa bedanya dengan serigala-serigala yang ada dalam diri kita? Kalau selama ini belum menampakkan diri, itu karena dia terlelap indah di sana, atau menunggu sampai situasi sesuai bagi mereka untuk menampakkan diri. Tidak sulit dipahami, situasi dan kondisi kekinian yang terbentuk sebagai akibat politisasi kehidupan masyarakat yang terlalu berlebihan dan menimbulkan instabilitas politik (di tengah kebebasan, keterbukaan, dan keperkasaan media), menjadi momentum yang sesuai untuk bangkitnya segala bentuk perilaku kontraproduktif itu: perubahan yang liar, ketidakpastian, tak menentu, pemasalahan rumit dan kondisi yang menyesatkan.
Bila fenomena VUCA ini dibiarkan merajalela, maka masyarakat kita akan menjadi tak ubahnya ibarat Sisyphus yang terkena kutukan dewa dalam mitologi Yunani kuno. Sisyphus dikenakan hukuman mendorong sebongkah batu besar ke puncak bukit, menggelondongkannya ke lembah, kemudian mendorongnya kembali ke punak bukit, begitu selamanya. Dengan kata lain, setiap kali kita melangkah maju ke depan memperoleh capaian, setiap kali pula kita kembali lagi kilometer nol, selamanya jalan di tempat.
Kita tentu tidak mau dicap dungu seperti itu. Bukankah manusia diberi akal budi? Maka, tak ada pilihan lain, kita terpaksa harus bertempur berdarah-darah melawan VUCA ini. Hanya ada dua pilihan, menang tidak mungkin, kalah itu pasti. Manusia diberi akal budi atau kecerdasan emosional, memilih jalan tengah: beradaptasi dengan bijak. Pertanyaannya, bagaimana cara beradaptasi di lapangan yang telah dipenuhi serigala-serigala liar?
Beberapa pakar menyebut, cara yang tepat untuk beradaptasi dengan VUCA, gunakan kecerdasan emosional (Emotional Quotient – EQ). Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Demikian mujarabnya kecerdasan emosional ini, satu studi menemukan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting dari kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient – IQ). Dalam buku Daniel Goleman “Kecerdasan Emosional” ditulis, kecerdasan emosional bertanggung jawab atas keberhasilan sebesar 80%, dan 20% ditentukan oleh IQ. Nah lho!
Howard Gardner (1983) menyebut lima pokok utama dari kecerdasan emosional seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara bijak, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri. Kita sebagai makhluk yang berorganisasi seperti diistilahkan oleh filsuf Aristoteles sebagai zoon politicon, harus mengubah mind-set, bertransformasi menjadi orang-orang yang fleksibel, lincah, cepat dan cekatan. Tinggalkan kebiasaan ngotot dan kaku tak menentu dalam mempertahankan pendirian dengan konsep lama.
Pemilu serentak 14 Februari 2024 yang diselimuti fenomena VUCA terlihat seperti permainan roller coaster yang membawa penumpangnya melaju berputar cepat meliuk-liuk memabukkan. Pastikan sabuk pengaman Anda tetap terpasang dengan baik dan jangan hilang kesadaran untuk tetap memiliki kecerdasan emosnional, dengan menggunakan hati dan akal budi. Ingat peribahasa, “ikut hati mati, ikut rasa binasa”.***
*Penulis: Dr. drh. H. Chaidir, MM, Ketua Umum FKPMR, Ketua DPRD Prov Riau 1999-2004 dan 2004-2008.