BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Sudah sejak lama, STPDN dilebur menjadi IPDN. Pendidikan untuk mencetak para birokrat ini juga sudah sejak lama dikenal dengan pendidikan semi militernya.
Pengakuan seorang alumnus, pendidikan semi militer harus tetap ada di lembaga ini tidak lain untuk memaksimalkan karakter disiplin. “Disiplin dalam hal apapun tetap nomor satu,” kata Syamsuir yang juga mantan Camat, Tampan Pekanbaru.
Meski demikian, dia tidak memungkiri ada ‘penyimpangan’. “Salam pendidikan juga tidak harus lembek. Calon pimpinan harus punya kuat fisik dan mental. Keras, memang keras,” sambungnya, saat bercerita dengan Bertuahpos.com.
Pendidikan semi militer di lembaga pendidikan ini, diakuinya, atas dasar pertimbangan kondisi riil yang akan dihadapi oleh seorang praja saat dia lulus. Saat menghadapi massa, menghadapi tantangan di lapangan. “Maka semuanya di sekolah praja diajarkan termasuk bela diri.”
Latihan Fisik atau Tekanan Fisik?
“Soal tekanan fisik, sebetulnya defiasi,” ujar Syamsuir. Menurutnya, sejak awal memang sudah ada protap standar, dan dia meyakini bahwa tidak ada pembinaan yang ngawur di IPDN. Walau banyak orang di luar sana dengan ragam persepsi terhadap hal ini.
Dia juga memaklumi bahwa para senior praja juga muda-muda. Kecenderungan masih dalam tahapan proses mengendalikan emosi. “Kalau dulu jumlah pengasuh dengan praja tak imbang, 1 banding 50. Kadang-kadang tengah malam tetap harus dilakukan pembinaan,” kenangnya.
Sebagai alumnus IPDN — soal latihan fisik yang lebablasan — juga sepakat bahwa hal itu tidak dibenarkan. Lagi pula tak semua senior yang lepas kendali. Dia juga mengaku, sampai ada yang meninggal, ada juga yang dikeluarkan dengan berbagai faktor penyebab
“Meninggal juga persoalan ajal, kedua bisa saja kesalahan diseleksi, mungkin ‘titipan’, kemungkinan terjadi. Tapi angkatan kami tak ada sogok-menyogok. Sekarang nggak ada juga, kalau peserta percaya diri. Kalau tak pendidikan keras seperti itu tak bisa kita bayangkan, tamat STPDN umur 22 tahun mereka menjadi Kades, Lurah, Kasi Kecamatan, mereka mampu dan percaya diri. Mereka siap. Fisik, mental, dan intelektual,” sambungnya.
Karakter Diri Membuat Praja Larut
“Alumni STPDN itu ada yang keras. Ada juga jadi penyanyi. Tapi itu situasional sebenarnya. Kalau dia memahami tugas pemimpin seperti apa, tentu harus tahu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ada saatnya kita marah, karena pemimpin juga harus bisa marah.”
“Ketika salah diberi punishment, dan reward jika sebaliknya. Apa yang kita terima selama pendidikkan, itulah kita terima di lapangan”, terang Syamsuir.
Pendidikan di STPDN/IPDN katanya sudah dikaji sedemikian rupa. Bahkan ketika masa PKL sudah dipraktekkan sebagai camat atau lurah. Siapa yang jadi lurah, dialah yang menyelesaikan masalah misalnya batas desa. Juga diajarkan bagaimana berkomunikasi dengan publik.
Alasan Syamsuir jelas, karena selama pendidikan mulai bangun tidur sampai tidur lagi penuh dengan adab. Mulai shalat subuh berjamaah, jiwa korsa ditanamkan. Sakit satu sakit semua, gembira satu gembira semua.
Mandi juga ber-training lengkap, memakai sandal kemudian memakai pakaian dinas lengkap, sepatu mengkilap.
“Emblem kita harus di-braso tiap hari. Tampat tidur harus rapi. Duit koin harus melinting di tempat tidur. Itu di cek senior dan pengasuh. Saat kuliah tak boleh terlambat, sebelum dosen masuk, kita sudah siap menerima pelajaran,” ungkapnya.
Dilema Perpolitikan dan Karakter Praja
Politik dan karakter praja, menurut Syamsuir merupakan masalah yang sebelumnya pernah dibahas dalam sebuah forum pertemuan alumni. Hal ini memang selalu bikin dilema.
“Yang membuat kita miris, karena dia larut mengejar karir, melakukan pendekatan sana sini. Pendidikan memang ada pengaruh saat bertugas, tapi karakter kembali ke orangnya. Tak sedikit pejabat yang seperti itu. Sebetulnya saat pertemuan ikatan alumni ada dibahas soal ini. Namun, ruhnya berkurang.”
Sebagai catatan penting, kata Syam, di IPDN tidak ada yang dikeluarkan gara-gara bodoh. Karena secara akademis itu sudah teruji. Kalau yang tinggal tingkat, lebih kepada nakal.
“Seorang pejabat pada dirinya melekat fungsi atributif, dan delegatif. Dia harus tahu itu. Sayangnya sekarang praja tidak ada lagi yang turun ke desa. Tapi saya tetap optimis, Pesannya siswa ketika dididiki sedemikian rupa dengan sistem Jarlatsu, 30:30:40. Tapi saling mendukung. Praja tak boleh tertidur di kelas, bersorak di kelas, semua diarahkan,” ungkapnya. (bpc2)