BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Gubernur Riau Syamsuar Curhat ke DPR RI di Senayan mengenai kebijakan PI 10% untuk daerah penghasil Migas, hingga kini belum berbuah manis.
Dia mengungkapkan hingga kini belum semua daerah — yang seharusnya mendapatkan hak dari PI 10% — bisa menikmati kebijakan itu. “Padahal secara jelas amanah UU menyatakan bahwa jatah PI 10% merupakan hak bagi daerah penghasil migas,” ungkapnya.
Hal itu diungkapkan Gubri Syamsuar saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin, 5 April 2021.
“Contohnya kami di Riau ada namanya Blok Siak. Kontraknya sudah sejak 2014. Seharusnya kami sudah terima PI 10% itu. Tapi kami masih bolak-balik (mengurus dan Riau sampai saat ini belum terima),” ucap Syamsuar.
Pada kesempatan itu, Syamsuar juga menyinggung soal tidak adanya transparansi terkait lifting migas bagi daerah. Daerah-daerah penghasil migas seolah dipaksa menerima informasi berapapun lifting menurut pihak kontraktor.
“Kalau kita daerah penghasil bertanya, alasannya rahasia. Kenapa kok antar pemerintah rahasia-rahasiaan,” tuturnya.
Selain itu Syamsuar juga protes atas tingginya biaya pemotongan-pemotongan. Sehingga DBH yang diterima daerah, akhirnya hanya dalam jumlah kecil.
Terkait soal RUU Energi Baru dan Terbarukan, Syamsuar menyebut bahwa Riau sebenarnya punya potensi yang sangat besar. Sayangnya belum dapat dimaksimalkan karena belum mendapat dukungan yang serius dari Pemerintah Pusat.
Bukan hanya Gubernur Riau Syamsuar, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil — yang juga Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) — juga pertanyakan soal komitmen Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian ESDM terkait PI 10%.
Sejuah ini, menurutnya, baru dua daerah di Indonesia yang dianggap berhasil mendapatkan PI 10%, yakni Jabar dan Kaltim. “Jabar berhasil karena saya gedor-gedor, saya tongkrongin Kementerian ESDM itu,” ulasnya.
Menurutnya, upaya seperti itu harus dilakukan, jika hanya ikut dalam prosedur biasa, dia meyakini daerah akan sulit mendapat PI 10%, padahal itu merupakan hak daerah penghasil migas. “Kalau bersurat dari bawah, susah,” katanya.
Hal lain yang juga menjadi keluhan Pemda, yakni soal Dana Bagi Hasil [DBH] untuk daerah penghasil migas.
Dalam pertemuan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga ikut disentil, karena penyaluran DBH sejauh ini tak berjalan mulus. “Bahkan cenderung kadang tidak jelas. Ada ketidakadilan untuk daerah,” kata Ridwan Kamil.
Di sisi lain, dia mengungkapkan ada banyak ladang-ladang minyak berskala kecil yang seolah sengaja dibiarkan oleh Pertamina. Padahal jika diserahkan ke daerah, tentu akan sangat bermanfaat untuk menambah pemasukan bagi daerah.
“Bagi Pertamina mungkin itu tak ada artinya. Tapi bagi daerah yang skala-skala kecil seperti itu sangat berarti,” tegasnya lagi. (bpc2)