Pekan lalu Pemerintah Pusat/Pemerintah mengeluarkan keputusan heboh. Mencabut ribuan Izin tambang dan izin di sektor kehutanan/konsesi kawasan hutan. Salinan keputusan menyebar begitu cepat melalui pesan grup Whatsapp anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau. Kalangan dewan memperoleh salinan Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam bentuk softfile bernomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022.
Kendati informasi pencabutan izin sudah terlebih dulu diketahui melalui pemberitaan media massa, namun baik pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau maupun DPRD belum menerima dokumen resmi atau pemberitahuan dari pusat tentang pencabutan izin tersebut. Apalagi perizinan yang dicabut sepenuhnya kewenangan pusat.
Apalagi tak seperti dokumen resmi kenegaraan lazimnya, SK beredar tidak didapati logo/simbol kenegaraan di halaman depan SK sebagaimana pedoman penyusunan produk hukum atau SK pemerintah. Juga belum dibubuhi tandatangan oleh Menteri terkait. Makanya wajar semula agak ragu.
SK tadi jelas jadi perbincangan hangat di kalangan anggota DPRD Riau. Selain keabsahan surat, paling utama perihal lampiran yang memuat daftar SK izin konsesi kawasan hutan yang dicabut selama periode september 2015 s/d juni 2021, daftar perizinan/perusahaan konsesi kehutanan yang dilakukan pencabutan dan daftar perizinan/perusahaan konsesi kehutanan untuk dilakukan evaluasi. Melihat isi daftar, sebagian berada di wilayah Provinsi Riau.
Secara pribadi menyambut baik upaya Pemerintah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam konferensi pers lewat kanal Youtube Sekretariat Presiden Kamis (6/1) menyatakan bahwa, pencabutan izin merupakan langkah memperbaiki tata kelola Sumber Daya Alam (SDA). Demi pemerataan, transparansi, mengoreksi ketimpangan dan ketidakadilan serta aspek lingkungan.
“Hari ini, sebanyak 2.078 izin perusahaan penambangan Minerba kami cabut, karena tidak pernah menyampaikan rencana kerja. Izin yang sudah bertahun-tahun telah diberikan, tapi tidak dikerjakan dan ini menyebabkan tersanderanya pemanfaatan SDA untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Untuk Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang ditelantarkan seluas 34.448 hektare hari ini juga dicabut, 25.128 hektare adalah milik 12 badan hukum, sisanya 9.320 hektare merupakan bagian dari HGU yang terlantar milik 24 badan hukum,” demikian kutipan diperoleh dari Setkab RI.
Misi UUD 1945
Langkah Pemerintah boleh dibilang tepat. Berangkat dari semangat menegakkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang secara garis besar menghendaki kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun sebagai unsur daerah perlu menagih konsistensi pusat agar perbaikan tata kelola pemberian izin pertambangan dan kehutanan serta reformasi agraria dapat terwujud sepenuh hati. Sekaligus menepis asumsi miring dibalik kebijakan pencabutan izin.
Apalagi narasi Presiden secara gamblang menyebut implikasi dari evaluasi menyeluruh izin pertambangan, kehutanan dan penggunaan lahan negara adalah bisa dialihkan ke pihak lain jika izin tidak dijalankan, tidak produktif, tak sesuai peruntukan dan peraturan. Entah itu ke kelompok masyarakat dan organisasi sosial keagamaan yang produktif, termasuk kelompok petani, pesantren dan lain-lain yang bisa bermitra dengan perusahaan kredibel dan berpengalaman.
Dari segi tujuan patut diacungi jempol. Namun pencabutan bisa bias jika tidak konsisten dan transparan serta tanpa pengawasan ketat. Para ahli hukum khawatir keputusan mencabut ribuan izin bisa jadi ajang sekedar “tukar pemain” atau pemodal.
Kekhawatiran bukan tanpa alasan. Mengingat keberpihakan Pemerintah terhadap pengelolaan SDA seringkali dipertanyakan. Banyak kebijakan diterbitkan rentan ditunggangi kepentingan kelompok tertentu dan berpihak ke pengusaha/pemodal kakap. Contoh perubahan UU Minerba yang menjamin perpanjangan izin otomatis bagi pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Ujungnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Begitupula UU Cipta Kerja yang diputus inkonstitusi.
Kita selaku unsur daerah punya kepentingan. Terutama Riau dengan keunggulan SDA. Keinginan dibalik pencabutan izin patut didukung bila tujuannya menunaikan amanat konstitusi. Disamping itu ada alasan lain menyertai. Diawali isu paling penting ketimpangan kepemilikan tanah/lahan. Dari segi indeks gini rasio pertanahan cukup memprihatinkan yakni 0,59 persen, dimana 1 persen penduduk menguasai 59 persen lahan di negeri ini. Sementara yang 99 persen hanya menguasai 41 persen. Fakta tersebut jelas tak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Fenomena sama juga dialami Riau.
Alasan berikutnya kerugian Negara dan daerah atas penguasaan dan pemanfaatan SDA yang tidak sesuai ketentuan berlaku. Relevansi dengan Riau adalah sektor perkebunan subsektor kelapa sawit. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terdapat ratusan perizinan, sertifikasi dan implementasi pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku. Dalam IHPS II/2019, BPK menemukan lima pelanggaran utama oleh perusahaan sawit tersebar dari Sumatra hingga Kalimantan.
Pertama, tidak ada kepemilikan hak atas tanah atau Hak Guna Usaha (HGU). Akibatnya negara kehilangan potensi penerimaan. Kedua, penggunaan kawasan hutan dan kawasan gambut tanpa dilengkapi dokumen persyaratan perizinan. Konsekuensi dari praktik lancung tersebut terganggunya fungsi kawasan hutan dan sudah terbukti menyebabkan kebakaran hutan dan lahan serta kerusakan kawasan hidrologis gambut.
Ketiga, Didapati perusahaan tak memenuhi kewajiban pembangunan kebun masyarakat, pabrik pengolahan dan 20 persen pembangunan kebun inti. Keempat belum memenuhi persyaratan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sangat berpengaruh terhadap daya saing komoditas sawit nasional. Selain itu ketiadaan sertifikat ISPO menyimpulkan perusahaan belum menerapkan asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi berkeadilan hingga kearifan lokal. Kelima, perusahaan yang mempunyai izin tumpang tindih. Ini pemicu konflik disebabkan sengketa kewilayahan.
Kontraproduktif
Paparan kasus di atas butuh perhatian. Jika Pemerintah benar-benar komit dan konsisten dengan alasan pencabutan izin, maka daerah sangat berharap dapat diberlakukan lebih luas. Teruntuk Riau tak terhitung lagi kerugian bagi daerah dan masyarakat yang menderita akibat pemanfaatan SDA tak bertanggungjawab bahkan ilegal. Setakad ini memang sudah ada upaya tata kelola sawit lebih baik. Seperti pencabutan HGU salah satunya di Kabupaten Siak oleh KLHK karena penyalahgunaan izin.
Perusahaan pun diharuskan mengembalikan ke negara. Dari lahan dikembalikan, diantaranya jadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan sudah dibagikan kepada masyarakat. Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar turut mengingatkan masyarakat tak menjual tanah TORA-nya. Disamping itu, Gubri juga membentuk Satuan Tugas Terpadu Penertiban Perkebunan Ilegal diketuai langsung oleh Wakil Gubernur Riau (Wagubri) yang dibagi tiga tim, yaitu tim pengendali, tim operasi dan tim yustisi. Wagubri secara tegas menyatakan bakal menindak perusahaan tak punya izin dan menertibkan kawasan ilegal sesuai instruksi Presiden dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun itikad daerah bisa membentur tembok. Beberapa regulasi dari pusat disinyalir justru membuka peluang bagi perusahaan pelanggar memperoleh legalitas. Seperti UU Ciptaker diberlakukan mekanisme “keterlanjuran” dan prinsip ultimum remedium yaitu mengedepankan pengenaan sanksi administratif bagi perusahaan yang selama ini tak mematuhi ketentuan atau ilegal.
“Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku,” begitu kutipan pasal 110 A ayat 1. Di ayat 2 dijelaskan jika setelah lewat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang tersebut tidak menyelesaikan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi administratif, berupa: pembayaran denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha.
Harapan kita, harusnya Pemerintah mem-blacklist atau beri sanksi keras berupa penghentian usaha atau pencabutan izin. Bukan malah membuka peluang melengkapi legalitas/administrasi. Apalagi jika perusahaan tersebut punya rekam jejak menyebabkan kerugian negara, kerusakan alam dan konflik. Selain itu, daerah meminta Kementerian terkait juga tidak lagi menerbitkan izin baru di wilayah izin yang telah dicabut.
Disamping konsistensi, pencabutan izin juga diharapkan menjamin kepastian berusaha di daerah. Kembali ke awal tulisan, pencabutan izin dan proses selanjutnya mesti dilandasi transparansi dan keterbukaan. Karena selaku pihak penyelanggara pemerintah daerah tentu tak ingin muncul riak-riak baru paska keputusan pusat.
Jangan sampai perusahaan yang telah memenuhi aspek legalitas dan telah berproduksi juga turut dicabut dengan alasan izin terbengkalai. Atau muncul kekhawatiran nantinya perusahaan skala menengah atau kecil yang tak punya koneksi dan proteksi dari lingkaran kekuasaan jadi “korban”. Apabila pencabutan perizinan dilakukan dengan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, secara tak langsung berdampak terhadap kondusifitas daerah yang ujungnya berpengaruh ke perekonomian.
Terakhir, paradigma Pemerintah bisa dibilang sangat rasional: melakukan pembenahan dengan memberikan kemudahan izin usaha yang transparan dan akuntabel namun bila izin-izin yang diberikan disalahgunakan maka Pemerintah perlu mencabutnya.
Dengan begitu menegaskan posisi kita terbuka tetapi hanya bagi para pelaku usaha dan investor yang kredibel, dengan rekam jejak dan reputasi baik serta berkomitmen ikut menyejahterakan rakyat dan menjaga kelestarian alam. Supaya itikad baik tersebut terlaksana, harus berjalan di atas rel. Sehingga implementasi membawa perubahan ke arah lebih baik terutama dalam konteks pemanfaatan SDA. Namun jika ditunggangi kepentingan lain, alamat muncul masalah baru yang malah memperkeruh suasana. Ujungnya daerah lagi terkena imbasnya.
Penulis H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM | Anggota DPRD Provinsi Riau