BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Tokoh agama di Riau dibutuhkan peran dan keaktifan langsung dalam upaya penanganan Karhutla. Pandangan ini memungkinkan sebab, sebagian besar selalu berkumpul dalam jumlah banyak di tempat ibadah atau dalam acara keagamaan lainnya.Â
“Kondisi seperti itu bisa dimanfaatkan untuk sosialisasi kepada masyarakat agar tidak membakar lahan. Lagi pula selama ini pelaku perusak hutan, menurut saya juga mereka yang punya agama, kan,” ujar pengamat lingkungan dari UIN Suska Riau, Elviriadi, kepada bertuahpos.com, Kamis 30 Agustus 2018.
Atas dasar pertimbangan itu, maka dia menilai cukup efektif jika pemerintah melibatkan para tokoh agama dalam kasus lingkungan. Penekanannya lebih kepada bagaimana agama yang selama ini menjadi sumber norma berubah menjadi sumber pergerakan.Â
“Agama jangan sampai (dalam prakteknya) berkutat dalam soal ritual ibadah dan imbauan fatwa saja. Tampil dong, ketika kondisi darurat asap seperti tahun 2015 lalu,” sambungnya.Â
Elviriadi yang juga menjabat sebagai Kepala Departemen Perubahan Iklim Majlis Nasional KAHMI ini menjelaskan, saat ini dari total 4,3 juta hektare gambut Riau, 70 persen dalam kondisi rusak.Â
Kerusakan gambut yang memicu kebakaran lahan di Indonesia terjadi karena pembukaan lahan gambut mengabaikan kaedah-kaedah konservasi dan reservasi tanah.
Dalam pandangannya, lahan gambut sebaiknya tidak saja direkayasa agar survive ekonomi (perkebunan/HTI), tetapi juga berkelanjutan (sustainable) secara ekologi dan sosial budaya.
Pembukaan (reklamasi) saluran-saluran besar untuk menurunkan kadar air dan muka air tanah (water table) terutama di Semenanjung Kampar dan Inhil menimbulkan pengatusan (pembuangan air) yang berlebihan sehingga mendegradasi lahan.Â
“Bila musim panas seperti sekarang, gambut yang vegetasi dan pepohonannya gundul akan langsung dipapar sinar matahari akan menurunkan daya hidrofobisitas (memegang air) lalu mengering dan rawan terbakar,” ujar Dosen di Fapertapet UIN Suska Riau itu. (bpc3)