BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau ( Jikalahari), mencatat sepanjang tahun 2015 adalah catatan hitam tentang musibah kebakaran hutan dan lahan di Riau.
“Belum hilang diingatan kita bagaimana asap membatasi jarak pandang. Sekolah ditutup, pesawat tidak bisa terbang. ISPU dalam level bahaya selama berbulan-bulan,” kata Koordinator Jikalahari, Woro Suoartinah, Rabu (24/08/2016).
Jikalahari melaksanakan diskusi publik untuk partisipasi publik dalam mencegah dan memberantas Karhutla di Riau, acara ini berlangsung di Aula Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Jalan Diponegoro, Pekanbaru.
Data yang dihimpun Jikalahari, asap mulai nampak pada awal Agustus 2015. Dirangkum dari data satelit Tera dan Aqua Modis yang ada di Riau periode Agustus saja ada sebanyak 687 titik hotspot dengan confidence 70 persen. Terus bertambah sampai bulan September pada tahun itu menjadi 1.862 hotspot.
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mencatat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau sepanjang tahun 2015, membakar hutan dan lahan sekuat 4.040,50 hektar. Akibat kejadian tersebut Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) mengestimasi kerugian yang diderita oleh Provinsi Riau sejumlah Rp20 triliun.
“Baik kerugian yang ditimbulkan di sektor ekonomi, sosial, dan kesehatan. Ini belum termasuk kerugian ekologis yang mestinya juga harus diperhitungkan,” tambahnya.
Bagaimana ancaman asap 2016?
Woro Suoartinah mengatakan tentu saja ancaman akan kebakaran hutan dan lahan atau hadirnya asap akan terus ada. Mengingat masih 50 persen hutan dan lahan di Riau adalah tanah gambut. Serta pola pengelolaan lahan dan hutan di Riau belum secara signifikan membaik.
“Kondisi cuaca kering dan faktor manusia sangat memungkinkan untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun ini,” sambung Woro.
Jikalahari mencatat sepanjang bulan Maret 2016 terdapat 961 hotspot di Riau, dan dibilang Agustus pada Minggu ke dua sudah terjadi lonjakan sampai 632 hotspot di Riau. Angka ini mestinya sudah menjadi alarm untuk semua pihak agar mulai berfikir dan bertindak bagaimana mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan yang sangat memungkinkan kembalinya asap.
“Berkaca pada kasus Karhutla ditahun 2015, publik menyayangkan ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi Karhutla, supaya musibah ini tidak meluas. Asap dan Karhutla adalah masalah reguler yang terjadi setiap tahun terutama di musim panas,” sambungnya.
Namun angin segar akan dihukumnya para pelaku yang menyebabkan masyarakat Riau sengsara harus menghirup asap akibat kebakaran tersebut tak berhembus lama. Polda Riau merilis informasi pada 20 Juli 2016, bahwa telah menerbitkan SP3 terhadap 15 dari 18 perusahaan korporasi tersangka Karhutla tersebut.
“Hal itu tentu menjadi pertanyaan besar bagi publik yang menuntut agar para pelaku perusak lingkungan dapat diberikan ganjaran hukum yang berat,” tambahnya.
Penulis: Melba